BEBERAPA waktu lalu Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengobral tuntutan maksimal. Itu tentunya mematuhi seruan petinggi hukum - begitu istilah TEMPO 13 April, Hukum - Ali Said, S.H., agar untuk kasus-kasus tertentu hukuman di jatuhkan pada maksimumnya. Taat kepada atasan boleh-boleh saja. Tetapi karena kita bangsa berbudaya, tentunya punya aturan permainan, seyogyanya aturan itu juga diperhatikan. Sewaktu berevolusi fisik pun kita selalu dipesan: hati boleh panas, kepala harus tetap dingin. Apalagi pada 1985 ini "revolusi belum selesai" tak terdengar lagi, dan aparatur yang menangani baik perkara maupun lembaga pendidikan hukum sudah makin teratur administrasinya - seyogyanya dalam mematuhi atasan, yakni menuntut hukuman maksimal, terlebih dulu pengadilan meneliti apakah proses sebelumnya sudah dilakukan menurut peraturan. Hendaknya hal-hal berikut diteliti: 1. Sudahkah para penyidik atau penyidik pembantu disumpah khusus untuk jabatan itu sebagaimana ditetapkan dalam pasal 75 (2) dan 76 KUHAP jo UU Nomor 11 Prps 1959 tentang sumpah jabatan bagi pegawai negeri sipil dan anggota Angkatan Perang. 2. Sudahkah penyidikan dilakukan menurut cara yang benar, yaitu berdasarkan pasal 50, 52, dan 117 KUHAP, bukan menurut kebiasaan lama yakni berdasarkan pasal 62, 76, 83a, dan 83b (3) HIR. 3. Benar-benarkah pasal-pasal yang dituduhkan terbukti, ataukah sekadar anggapan saja, yang dilarang oleh baik yurisprudensi maupun ilmu hukum. Sebab-sebabnya antara lain: a. Bentuk kesengajaan yang disyaratkan oleh pasal 56 KUHP tidak dapat disimpulkan dari keharusan terdakwa untuk menduga atau mencurigai bahwa akan dilakukan delik yang dituduhkan (putusan kasasi Mahkamah Agung 22 Januari 1975), b. Harus ada hubungan seketika dan langsung antara kelakuan terdakwa dan akibat yang timbul (penetapan Raad van Justitie Batavia 23 ur 1937 mengenai teori sebab-akibat yang dipakai di Indonesia). 4. Apakah untuk menuntut perampasan barang memang sudah dipahami bunyi pasal 39 KUHP maupun bunyi putusan kasasi Mahkamah Agung 22 Desember 1964 mengenai tindak pidana ekonomi yang tidak mengharuskan adanya perampasan barang. 5. Sudahkah dihayati kebijaksanaan nasional yang termaktub dalam buku Repelita IV jilid III mengenai: a. Bidang penegakan hukum: tindakan ditingkatkan terhadap delik tertentu dan yang menghambat pembangunan (halaman 444) b. Bidang pembinaan badan peradilan: agar kekuasaan kehakiman bebas dari pengaruh luar, putusan dapat dijatuhkan berdasarkan hukum dan keyakinan serta rasa keadilan (halaman 445). Jawaban terhadap rangkaian pertanyaan itu negatif semua - agaknya karena para penyidik/penyidik pembantu belum disumpah sebelum memangku jabatan itu pemeriksaan masih menurut cara HIR adanya kesengajaan dan hubungan kausal juga berdasarkan pada kesimpulan, tanpa memperhatikan yurisprudensi dan ilmu hukum perampasan barang juga sekadar guna dapat melepaskannya dari si pemilik dan, last but not least, sama sekali mengabaikan Keputusan Presiden Mandataris Nomor 21 Tahun 1984 tanggal 19 Maret 1984, yang sangat penting itu. Lebih celaka lagi bila tuntutan itu didasarkan pada pemeriksaan di luar sidang, yang dianggap terbukti karena terdakwa kurang berhasil mencabut pengakuannya dalam BAP di depan sidang pengadilan. Padahal, sebenarnya BAP yang dipakai di pengadilan tak mempunyai kekuatan hukum, karena pemeriksa belum disumpah sebagai penyidik dan anggapan "kalau terdakwa tak berhasil mencabut BAP di depan sidang, maka tuduhan dalam BAP (pemeriksaan di luar sidang) benar," sekarang sudah tidak dapat dibenarkan. Yang terakhir itu karena pasal 309 HIR (yang membenarkan hal itu, dan didukung putusan kasasi Mahkamah Agung pada 1960) sudah diganti dengan pasal 189 (2) KUHAP. Memaksakan tuntutan pada ancaman maksimal dengan cara begitu pasti punya dampak negatif, karena sebab-sebab berikut: 1. Menimbulkan citra pengadilan kurang baik, mengingat: a. Peristiwanya terjadi di tengah pusat ibu kota Rl, bukan di pelosok tanah air b. Surat kabar dan media massa tertentu sengaja memuat jalannya sidang pengadilan secara benar. 2. Akan menyangsikan berhasilnya penegakan hukum dan kebenaran, karena para pelaksana yang berstatus pegawai negeri tampaknya tak suka mempraktekkan ilmu yang diperolehnya dari fakultas hukum dan memperhatikan kebijaksanaan nasional, melainkan mengutamakan kepatuhan tanpa reserve kepada atasannya. Marilah Repelita IV, yang konon mencanangkan dimulainya penegakan hukum, kita isi dengan tindakan-tindakan bertanggung jawab - bukan dengan tindakan serampangan seperti pada 1960-an. JOEWONO, S.H. (Pengacara) Jalan Prof. Supomo 52 Jakarta Selatan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini