Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Made in sumberwetan

Usaha keluarga sumberwetan menghasilkan barang-barang perkakas seperti kompor, lampu teplok dll. produksinya awet, tahan lama, pemasaran lewat tengkulak. pengrajin perlu dilindungi organisasi koperasi.

24 September 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DESA Sumberwetan termasuk kawasan kecamatan Wonoasih. Sekitar 12 Km di sebelah selatan kota Probolinggo. Tanahnya kekuning-kuningan. Lengket bagaikan dodol. Ini menyebabkan tanah tersebut tidak bisa digolongkan pada tanah yang subur yang mudah dihidupi oleh tumbuhtumbuhan yang bermantaat. Tanah yang begitu toh tidak menghambat kehidupatl. Desa ini terkenal akan hasil barang-barang perkakas seperti kompor, ceret (tempat masak air) lampu teplok, tempat kuwe, parut, sendok nasi, dan sebagainya. Kemasyhuran made in Sumberwetan tentang barang-barang tersebut melejit sampai di luar batas kabupaten. Orang-orang pasar menyebutkan bahwa produksi Sumberwetan bisa diandalkan ampuhnya, awet dan tahan lama. Usaha Keluarga Modal pabrik ukuran mini ini sederhana sekali: lembaran seng, bungkalan kecil timah, air raksa, areng dan tungku, dan alat-alat seperti gunting seng, palu, penjepit dan sebagainya. Tenaga dan bahan bakar tidak perlu mereka beli. Sebab tenaga melimpah dan bahan bakar berupa kayu atau areng, bisa mereka cari sendiri di hutan. Biasanya, kalau kepala keluarga produsen barang-barang dapur, isteri dan anaknya adalah pegawai yang turut menjaga kelestarian produksi dan isi perut sekaligus. Seperti Pak Hanapi misalnya. Umurnya masih setengah baya. Tapi isteri dan anak-anaknya yang kemudian berhenti sekolah (paling banter sekolah dasar), bekerja menggeluti seng dan timah. Sang ayah biasanya yang mengelola disain. Kemudian sang anak yang membentuk body ceret, menggunting mulut ceret dan tangan ceret. Anak yang lain kemudian merekatkan semua itu dalam cairan timah yang dibaurkan dengan sentuhan air raksa. Nyonya rumah mempunyai kehormatan untuk mengadakan test terakhir. Ceret dijungkir-balikkan. Di isi air, bocor tidaknya. Kalau ada yang bocor, dia tidak lantas teriak kepada anaknya untuk minta diulang. Tapi diambilnya sendiri sebatang tangkai besi yang ujungnya sudah merah. Coos, diciumkan ke timah, untuk kemudian dia tempelkan ke badan ceret yang masih bocor. Bagaimana cara membuang barang produksi ke pasaran? Sunapi dan konco-konconya di Sumberwetan tidak perlu kuatir. Tengkulak-tengkulaklah yang biasanya berdatangan, mencari dari rumah kc rumah, siapa yang barangnya sudah siap tnenumpuk untuk diekspor dari Sumberwetan. Bagi tengkulak yang telah mereka kenal, biasanya berlaku sistim: ambil barang dulu, bayar belakangan, kalau laku. Sementara jutaan rumah tangga masih memerlukan barang keperluan dapur a la Sumberwetan ini -- dan belum mengenal stelan panci made in Belanda atau Jepang - dagangan mereka memang cepat laku. "Tapi sekali waktu kita jadi menganggur, Pak," ujar Sunapi. Sebab, barang produsen yang tengkulak bawa itu adalah modal mereka juga. Artinya, mereka tidak mempunyai uang iagi untuk membeli bahan baku. Jadi pabrik sementara berhenti. Tidak jelas apakah ada tengkulak yang pernah lari bawa barang, tapi ijon ceret atau kompor ini rupanya susah untuk dihindari. Apalagi pemerintah setempat tidak melindungi industri rumah dan mini ini dengan organisasi semacam koperasi. Candak-kulak pun mungkin belum dikenal di kawasan ini. Pengrajin-pengrajin mini seharinya bisa menelorkan 20 buah ceret kwalitas tinggi, artinya tahan tidak bocor. Biasanya, demikian mereka terima uang dari tengkulak, berbelanjalah mereka ke Probolinggo. Setelah pembelian seng dan peranti pabrik telah komplit, tidak lupa mereka membeli barang idaman mereka. Mulai dari bahan baju dengan warna menyolok, sampai anting-anting emas, dari lampu petromak sampai ke radio transistor atau tape recorder kecil. Mereka, sama dengan kebanyakan rakyat Indonesia pada umumnya. Terpukau sekali oleh barang-barang luks dan tidak memikirkan hari esok. Biarpun jumlah nasi hanya cukup dari piring ke mulut saja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus