DESA Sumberwetan termasuk kawasan kecamatan Wonoasih. Sekitar 12
Km di sebelah selatan kota Probolinggo. Tanahnya
kekuning-kuningan. Lengket bagaikan dodol. Ini menyebabkan tanah
tersebut tidak bisa digolongkan pada tanah yang subur yang mudah
dihidupi oleh tumbuhtumbuhan yang bermantaat.
Tanah yang begitu toh tidak menghambat kehidupatl. Desa ini
terkenal akan hasil barang-barang perkakas seperti kompor, ceret
(tempat masak air) lampu teplok, tempat kuwe, parut, sendok
nasi, dan sebagainya. Kemasyhuran made in Sumberwetan tentang
barang-barang tersebut melejit sampai di luar batas kabupaten.
Orang-orang pasar menyebutkan bahwa produksi Sumberwetan bisa
diandalkan ampuhnya, awet dan tahan lama.
Usaha Keluarga
Modal pabrik ukuran mini ini sederhana sekali: lembaran seng,
bungkalan kecil timah, air raksa, areng dan tungku, dan
alat-alat seperti gunting seng, palu, penjepit dan sebagainya.
Tenaga dan bahan bakar tidak perlu mereka beli. Sebab tenaga
melimpah dan bahan bakar berupa kayu atau areng, bisa mereka
cari sendiri di hutan.
Biasanya, kalau kepala keluarga produsen barang-barang dapur,
isteri dan anaknya adalah pegawai yang turut menjaga kelestarian
produksi dan isi perut sekaligus. Seperti Pak Hanapi misalnya.
Umurnya masih setengah baya. Tapi isteri dan anak-anaknya yang
kemudian berhenti sekolah (paling banter sekolah dasar), bekerja
menggeluti seng dan timah. Sang ayah biasanya yang mengelola
disain. Kemudian sang anak yang membentuk body ceret,
menggunting mulut ceret dan tangan ceret. Anak yang lain
kemudian merekatkan semua itu dalam cairan timah yang dibaurkan
dengan sentuhan air raksa. Nyonya rumah mempunyai kehormatan
untuk mengadakan test terakhir. Ceret dijungkir-balikkan. Di isi
air, bocor tidaknya. Kalau ada yang bocor, dia tidak lantas
teriak kepada anaknya untuk minta diulang. Tapi diambilnya
sendiri sebatang tangkai besi yang ujungnya sudah merah. Coos,
diciumkan ke timah, untuk kemudian dia tempelkan ke badan ceret
yang masih bocor.
Bagaimana cara membuang barang produksi ke pasaran? Sunapi dan
konco-konconya di Sumberwetan tidak perlu kuatir.
Tengkulak-tengkulaklah yang biasanya berdatangan, mencari dari
rumah kc rumah, siapa yang barangnya sudah siap tnenumpuk untuk
diekspor dari Sumberwetan.
Bagi tengkulak yang telah mereka kenal, biasanya berlaku sistim:
ambil barang dulu, bayar belakangan, kalau laku. Sementara
jutaan rumah tangga masih memerlukan barang keperluan dapur a la
Sumberwetan ini -- dan belum mengenal stelan panci made in
Belanda atau Jepang - dagangan mereka memang cepat laku. "Tapi
sekali waktu kita jadi menganggur, Pak," ujar Sunapi. Sebab,
barang produsen yang tengkulak bawa itu adalah modal mereka
juga. Artinya, mereka tidak mempunyai uang iagi untuk membeli
bahan baku. Jadi pabrik sementara berhenti.
Tidak jelas apakah ada tengkulak yang pernah lari bawa barang,
tapi ijon ceret atau kompor ini rupanya susah untuk dihindari.
Apalagi pemerintah setempat tidak melindungi industri rumah dan
mini ini dengan organisasi semacam koperasi. Candak-kulak pun
mungkin belum dikenal di kawasan ini. Pengrajin-pengrajin mini
seharinya bisa menelorkan 20 buah ceret kwalitas tinggi, artinya
tahan tidak bocor.
Biasanya, demikian mereka terima uang dari tengkulak,
berbelanjalah mereka ke Probolinggo. Setelah pembelian seng dan
peranti pabrik telah komplit, tidak lupa mereka membeli barang
idaman mereka. Mulai dari bahan baju dengan warna menyolok,
sampai anting-anting emas, dari lampu petromak sampai ke radio
transistor atau tape recorder kecil. Mereka, sama dengan
kebanyakan rakyat Indonesia pada umumnya. Terpukau sekali oleh
barang-barang luks dan tidak memikirkan hari esok. Biarpun
jumlah nasi hanya cukup dari piring ke mulut saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini