Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Tap-Tap Khilaf

Tap no iii/mprs/1963 merupakn tap khilaf, yang mengangkat bung karno sebagai presiden seumur hidup. begitu pula bunyi pasal 3 tap no. x/mpr/1973, seolah-olah presiden bertanggungjawab tehadap mpr yang belum bubar.

24 September 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SIDANG MPRS tahun 1960 hasilkan dua Tap. Tahun 1963 empat Tap. Tahun 1966 melompat 600%, duapuluhempat Tap. Tahun 1967 empat Tap. Tahun 1968 delapan Tap. Dan Sidang MPR tahun 1973 sebelas Tap. Seluruhnya 53 Tap, mestinya. Tapi, berhubung di antara mereka para Tap itu ada yang main sepak dan main telan sesamanya, jumlah yang tinggal selamat tidaklah sebanyak itu lagi. Ada Tap yang dibatalkan, teriring kutuk serapah. Ada yang dibatalkan dengan hormat, karena materinya sudah dianggap tertampung GBHN. Ada Tap yang dipersilahkan jalan terus, dengan catatan supaya disempurnakan. Misalnya Tap No. XXIX/MPRS/1966 tentang "Pengangkatan Pahlawan Ampela." Disempurnakan bagaimana, tidak jelas. Ini bisa dipaham. Sebab, kalau demonstran mahasiswa tewas di tahun 1966 bisa dianggap "Pahlawan Ampera," sukar dibayangkan hal semacam itu bisa berulang sekarang. Maklum, demonstrasinya saja tidak diperbolehkan, apalagi ada pasukan Anti Huru-hara. Ada Tap yang bertabiat sungkan, alon-alon asal kelakon seperti orang menghela seutas benang dalam terigu. Itulah dia Tap No. XVII/MPRS/1966 yang menghadapi julukan Pemimpin Besar Revolusi. Maunya dalam hati sih pukul habis saja, karena buat apa lagi revolusi-revolusian. Tapi, sesudah tengok kiri kanan, cukuplah menyatakan gelar Pemimpin Besar Revolusi itu "tidak membawa wewenang hukum." Setahun kemudian, lewat Tap No. XXXV/MPRS/1967 barulah gelar itu tamat riwayatnya. Ada Tap yang ditilik menurut ukuran jaman sekarang, tampak ganjil. Ini Tap No. XV/MPRS/1966. Mengapa? Karena pasal 1-nya berbunyi: "MPRS tidak mengadakan pemilihan Wakil Presiden "Padahal sudah lama nian, terhitung sejak Bung Hatta pergi meninggalkan Merdeka Selatan, orang tidak pernah melihat ada isinya lagi. Kesan ganjil ini akan segera berganti terang benderang begitu terbaca bunyi pasal 2 berikutnya. "Apabila Presiden berhalangan, maka pemegang Surat Perintah 11 Maret memegang jabatan Presiden." Bung Karno Belum Terima Dan ada Tap yang boleh dibilang "Tap khilaf." Ini Tap No. III/MPRS/1963 yang mengangkat Bung Karno selaku Presiden Seumur Hidup. Soalnya. Tap orla ini yang dicabut lewat Tap No. XVIII/MPRS/1966, tidaklah teriring kutuk serapah, melainkan teriring permintaan maaf. Perlukah minta maaf segala macam? Memang perlu. Sebab si pembikin Tap dan si pencabut Tap orangnya itu-itu juga. Tambah lagi, Bung Karno sendiri sebetulnya belum sepenuhnya terima pengangkatan itu, terbukti dari pidatonya di alun-alun Bandung, agar ketetapan itu dibahas lagi oleh MPR hasil Pemilihan Umum. Akan hanya masalah pertanggungan jawab Presiden yang termaktub di dalam Tap No. I/MPR/1973, apakah ada usul khilafnya atau tidak, perlu sama-sama diperiksa. Sebab, hari belakangan ini timbul dua macam pendapat: ada yang bilang Presiden mesti beri pertanggungan jawab sekarang-sekarang ini, ada yang bilang nanti saja tahun 1978, di depan MPR baru. Kalaulah tidak ada beda tafsir terhadap bunyi Tap, tidak bakalan ada silang selisih seperti itu. Buat apa sih mengadaada, menambah kerepotan baru, kurang kerjaan, makan tempo. Memang, konstitusi hanya mengharuskan Presiden beri pertanggungan jawab kepada MPR selaku lembaga. Begitu pula bunyi pasal 3 Tap No. X/MPR/1973 tentang Pelimpahan Tugas Dan Kewenangan Kepada Presiden/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Untuk Melaksanakan Tugas Pembangunan. Cukup kepada MPR begitu saja. Tapi, kalau orang simak pasal-pasal Tap No. I/MPR/1973, pastilah ada kesan lain. Rasa-rasanya dikehendaki supaya Presiden bertanggung jawab kepada MPR yang ada sekarang ini, yang belum bubar. Pasal 1-nya berbunyi "Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dimaksud dalam Peraturan Tata-Tertib ini ialah Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil Pemilihan Umum yang anggota-anggotanya diresmikan tanggal 1 Oktober 1972, yang selanjutnya disebut Majelis." Sedangkan pasal 110-nya berbunyi "Pelaksanaan Garis-Garis Besar Haluan Negara dipertanggung jawabkan oleh Presiden/Mandataris kepada majelis pada akhir masa jabatannya, kecuali apabila Dewan Perwakilan Rakyat meminta Persidangan Istimewa." Jadi, perkataan majelis dalam pasal 110 itu bisa pula dibaca MPR yang diresmikan tanggal 1 Oktober 1972, bukan MPR hasil Pemilu 1977. Berhubung eksekutif kepinginnya bertanggung jawab nanti pada tahun 1978, dan berhubung MPR atau Badan Pekerjanya tenang-tenang saja menghadapi beda tafsir yang terjadi di masyarakat, bisa jadi Tap No. I/MPR/1973 yang dianggap ada unsur khilafnya, oleh situasi dan kondisi akan menjadi Tap yang biasa-biasa saja. Tap Hak Asasi Sekedar bumbu tulisan, ada pula calon Tap yang ujung-ujungnya urung jadi Tap. Ini menyangkut perihal Hak Asasi! Kisahnya begini. Karena tahun 1966 merupakan tahun yang lagi semangat-semangatnya bicara soal keadilan dan kebenaran, segalanya mesti murni dan konsekwen, yang hak mesti naik yang bati mesti turun, dan penduduk jangan lagi diteror dan disia-sia, maka keluarlah Tap No. XIV/MPRS/1966 yang memerintahkan tersusunnya perincian jaminan Hak-hak Manusia. Karena segala sesuatu mesti ada panitianya, maka lewat Keputusan Pimpinan MPRS No. A3/1/23/MPRS/1966 dibentuk Panitia pimpinan Abdul Haris Nasution. Dirancanglah bagaimana itu hak dan kewajiban warganegara. Jangan cuma kewajibannya melulu, hak asasinya dianggap angin lalu. Dirancangkan supaya ihwal hak asasi ini disebar luaskan di masyarakat, supaya mereka tahu harga diri jangan jual borongan begitu saja. Bahkan dirancangkan jadi mata pelajaran di sekolah-sekolah. Sesudah semuanya tersusun rapi, bahkan sudah disepakati oleh Rapat Badan Pekerja MPRS 10 Agustus 1966 buat jadi Rancangan Tap, ternyata urung jadi Tap di sidang MPRS 1968. Sidang itu sendiri secala keseluruhan tentu tidak gagal, sebab berhasil mengangkat Jenderal Suharto selaku Presiden.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus