SIDANG MPRS tahun 1960 hasilkan dua Tap. Tahun 1963 empat Tap.
Tahun 1966 melompat 600%, duapuluhempat Tap. Tahun 1967 empat
Tap. Tahun 1968 delapan Tap. Dan Sidang MPR tahun 1973 sebelas
Tap. Seluruhnya 53 Tap, mestinya. Tapi, berhubung di antara
mereka para Tap itu ada yang main sepak dan main telan
sesamanya, jumlah yang tinggal selamat tidaklah sebanyak itu
lagi.
Ada Tap yang dibatalkan, teriring kutuk serapah. Ada yang
dibatalkan dengan hormat, karena materinya sudah dianggap
tertampung GBHN. Ada Tap yang dipersilahkan jalan terus, dengan
catatan supaya disempurnakan. Misalnya Tap No. XXIX/MPRS/1966
tentang "Pengangkatan Pahlawan Ampela." Disempurnakan bagaimana,
tidak jelas. Ini bisa dipaham. Sebab, kalau demonstran mahasiswa
tewas di tahun 1966 bisa dianggap "Pahlawan Ampera," sukar
dibayangkan hal semacam itu bisa berulang sekarang. Maklum,
demonstrasinya saja tidak diperbolehkan, apalagi ada pasukan
Anti Huru-hara.
Ada Tap yang bertabiat sungkan, alon-alon asal kelakon seperti
orang menghela seutas benang dalam terigu. Itulah dia Tap No.
XVII/MPRS/1966 yang menghadapi julukan Pemimpin Besar Revolusi.
Maunya dalam hati sih pukul habis saja, karena buat apa lagi
revolusi-revolusian. Tapi, sesudah tengok kiri kanan, cukuplah
menyatakan gelar Pemimpin Besar Revolusi itu "tidak membawa
wewenang hukum." Setahun kemudian, lewat Tap No. XXXV/MPRS/1967
barulah gelar itu tamat riwayatnya.
Ada Tap yang ditilik menurut ukuran jaman sekarang, tampak
ganjil. Ini Tap No. XV/MPRS/1966. Mengapa? Karena pasal 1-nya
berbunyi: "MPRS tidak mengadakan pemilihan Wakil Presiden
"Padahal sudah lama nian, terhitung sejak Bung Hatta pergi
meninggalkan Merdeka Selatan, orang tidak pernah melihat ada
isinya lagi. Kesan ganjil ini akan segera berganti terang
benderang begitu terbaca bunyi pasal 2 berikutnya. "Apabila
Presiden berhalangan, maka pemegang Surat Perintah 11 Maret
memegang jabatan Presiden."
Bung Karno Belum Terima
Dan ada Tap yang boleh dibilang "Tap khilaf." Ini Tap No.
III/MPRS/1963 yang mengangkat Bung Karno selaku Presiden Seumur
Hidup. Soalnya. Tap orla ini yang dicabut lewat Tap No.
XVIII/MPRS/1966, tidaklah teriring kutuk serapah, melainkan
teriring permintaan maaf. Perlukah minta maaf segala macam?
Memang perlu. Sebab si pembikin Tap dan si pencabut Tap orangnya
itu-itu juga. Tambah lagi, Bung Karno sendiri sebetulnya belum
sepenuhnya terima pengangkatan itu, terbukti dari pidatonya di
alun-alun Bandung, agar ketetapan itu dibahas lagi oleh MPR
hasil Pemilihan Umum.
Akan hanya masalah pertanggungan jawab Presiden yang termaktub
di dalam Tap No. I/MPR/1973, apakah ada usul khilafnya atau
tidak, perlu sama-sama diperiksa. Sebab, hari belakangan ini
timbul dua macam pendapat: ada yang bilang Presiden mesti beri
pertanggungan jawab sekarang-sekarang ini, ada yang bilang nanti
saja tahun 1978, di depan MPR baru. Kalaulah tidak ada beda
tafsir terhadap bunyi Tap, tidak bakalan ada silang selisih
seperti itu. Buat apa sih mengadaada, menambah kerepotan baru,
kurang kerjaan, makan tempo.
Memang, konstitusi hanya mengharuskan Presiden beri
pertanggungan jawab kepada MPR selaku lembaga. Begitu pula bunyi
pasal 3 Tap No. X/MPR/1973 tentang Pelimpahan Tugas Dan
Kewenangan Kepada Presiden/Mandataris Majelis Permusyawaratan
Rakyat Untuk Melaksanakan Tugas Pembangunan. Cukup kepada MPR
begitu saja. Tapi, kalau orang simak pasal-pasal Tap No.
I/MPR/1973, pastilah ada kesan lain. Rasa-rasanya dikehendaki
supaya Presiden bertanggung jawab kepada MPR yang ada sekarang
ini, yang belum bubar.
Pasal 1-nya berbunyi "Majelis Permusyawaratan Rakyat yang
dimaksud dalam Peraturan Tata-Tertib ini ialah Majelis
Permusyawaratan Rakyat hasil Pemilihan Umum yang
anggota-anggotanya diresmikan tanggal 1 Oktober 1972, yang
selanjutnya disebut Majelis." Sedangkan pasal 110-nya berbunyi
"Pelaksanaan Garis-Garis Besar Haluan Negara dipertanggung
jawabkan oleh Presiden/Mandataris kepada majelis pada akhir
masa jabatannya, kecuali apabila Dewan Perwakilan Rakyat meminta
Persidangan Istimewa." Jadi, perkataan majelis dalam pasal 110
itu bisa pula dibaca MPR yang diresmikan tanggal 1 Oktober 1972,
bukan MPR hasil Pemilu 1977. Berhubung eksekutif kepinginnya
bertanggung jawab nanti pada tahun 1978, dan berhubung MPR atau
Badan Pekerjanya tenang-tenang saja menghadapi beda tafsir yang
terjadi di masyarakat, bisa jadi Tap No. I/MPR/1973 yang
dianggap ada unsur khilafnya, oleh situasi dan kondisi akan
menjadi Tap yang biasa-biasa saja.
Tap Hak Asasi
Sekedar bumbu tulisan, ada pula calon Tap yang ujung-ujungnya
urung jadi Tap. Ini menyangkut perihal Hak Asasi! Kisahnya
begini. Karena tahun 1966 merupakan tahun yang lagi
semangat-semangatnya bicara soal keadilan dan kebenaran,
segalanya mesti murni dan konsekwen, yang hak mesti naik yang
bati mesti turun, dan penduduk jangan lagi diteror dan
disia-sia, maka keluarlah Tap No. XIV/MPRS/1966 yang
memerintahkan tersusunnya perincian jaminan Hak-hak Manusia.
Karena segala sesuatu mesti ada panitianya, maka lewat Keputusan
Pimpinan MPRS No. A3/1/23/MPRS/1966 dibentuk Panitia pimpinan
Abdul Haris Nasution. Dirancanglah bagaimana itu hak dan
kewajiban warganegara. Jangan cuma kewajibannya melulu, hak
asasinya dianggap angin lalu. Dirancangkan supaya ihwal hak
asasi ini disebar luaskan di masyarakat, supaya mereka tahu
harga diri jangan jual borongan begitu saja. Bahkan dirancangkan
jadi mata pelajaran di sekolah-sekolah. Sesudah semuanya
tersusun rapi, bahkan sudah disepakati oleh Rapat Badan Pekerja
MPRS 10 Agustus 1966 buat jadi Rancangan Tap, ternyata urung
jadi Tap di sidang MPRS 1968. Sidang itu sendiri secala
keseluruhan tentu tidak gagal, sebab berhasil mengangkat
Jenderal Suharto selaku Presiden.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini