MENURUT sahibul hikayat, dahulu kala bermukimlah seorang penjala
ikan di sebuah lembah gersang di tanah Batak. Pada suatu hari,
jalanya mengena . Rezekinya hari itu: sebuah ikan emas terjerat
dalam jala. Tapi mendadak saja, Batara Guru Sahala -- demikian
nama si penjala ikan tadi -- terkejut. Ikan hasil jalanya bisa
berkata-kata bagaikan seorang manusia. Ikan emas itu dengan
penuh iba, minta agar dia dilepaskan. Sahala memenuhi permintaan
sang ikan. Lebih mengejutkan lagi, ikan kemudian berobah jadi
seorang perempuan yang cantik bukan kepalang.
Singkat ceritera, Batara Guru Sahala pun jatuh cinta. Berjuta
rasanya, hingga kontan Sahala melamar sang dara exikan emas.
Karena sudah termakan jasa, artinya Sahala telah melepaskannya
dari jaringan jala, lamaran si penjala diterimanya. Dengan
mengajukan satu syarat saja setelah mereka nanti menikah, Sahala
tidak boleh sekali-kali mengungkap asal usul calon isterinya.
Sahala, yang tak pernah bermimpi bisa mengawini perempuan
secantik itu, menyatakan ikrar setia dan akan memegang janji
tersebut. Isterinya kemudian diberinya nama: Boru Deak Parujar.
Menurut legenda ini, kehidupan suami isteri tadi cukup rukun
damai. Mereka saling kasih mengasihi. Bahkan telah lahir pula
dua anak perempuan mereka: Boru Sinuan Tunas dan Boru Sinuan
Beu, Tapi dunia tak kekal. Setelah Batara Guru Sahala mengecap
mawar dan madu hidupnya, timbullah suatu tragedi.
Pada suatu hari, Batara Guru Sahala -- seperti kebiasaannya
--pergi menebar jala. Biasanya pula, kedua anak perempuan Sahala
akan datang mengantar makanan lepas tengah hari. Dasar
anak-anak, di hari yang satu itu mereka tidak patuh pada
orangtua. Mereka asyik bermain, lupa mengantar bontot buat sang
ayah. Bahkan lauk pauk untuk ayahnya mereka habiskan. Setelah
hari menjelang petang, dan perut si ayah bertambah nyaring
keroncongannya, akhirnya anak-anak itu baru muncul. Sahala naik
pitam. Kedua anaknya ditempeleng dan disepaknya. Sumpah serapah
pun, tanpa disadarinya terhambur dari mulut sang ayah: "Huuh,
dasar anak ikan! Pantas begini!"
Gadis cilik itu menangis dengan kencangnya. Juga tidak mengerti,
mengapa ayahnya mengatakan mereka adalah anak ikan. Hal ini
kemudian mereka tanyakan pada sang ibu yang ada di rumah. Boru
Deak Parujar menjadi amat tersinggung. Sang ibu tidak keberatan
kalau ayahnya memukul anaknya, tapi sumpah serapah yang dia
lontarkan itu, cukup membikin keadaan parah.
Begitu suaminya pulang, Boru Deak Parujar kontan bertanya pada
sang suami. Sahala yang terkejut, mencoba membela diri. Emosi,
begitu alasannya, karena tingkah laku anak. Sahala, melihat
isteri cantiknya marah besar, kemudian sempat minta maaf. Tapi
Deak Parujar sudah bertekad bahwa tidak ada maaf bagi Sahala.
Bukankah Sahala telah melanggar sumpah? Tiba-tiba saja, bumi pun
menggelegar. Gunung meletus, batu besar beterbangan dan
terjadilah kubang besar yang sekarang diberi nama Danau Toba.
Di akhir legenda, tidaklah jelas diterangkan bagaimana nasib
keempat orang tersebut. Yang jelas sekarang, di danau Toba
selalu penuh dengan ikan emas (sebelum seseorang melepaskan ikan
mujair yang lebih ganas ketimbang ikan emas). Dan legenda ini
pun bukan satu-satunya legenda yang hidup di penduduk sekitar
danau Toba tersebut. Ada ceritera lain, bahkan ada yang menyang
kal bahwa legenda ikan emas pernah ada di sana dan kemudian
memberikan versi dongeng lain. Tapi yang populer cumalah legenda
Batara Guru Sahala dan Boru Deak Parujar. Karena ceritera ini
kini telah diabadikan dalam kaset . . .
Jangan di Danau
Sampai sekarang, masih terasa pengaruh berbagai legenda
bagaimana terjadinya danau Toba bagi penduduk setempat. "Puteri
penunggu danau berhati baik," ucap Camat Prapat, Kumpul Sinaga
kepada Amran Nasution dari TEMPO. Sinaga kemudian menjelaskan
bahwa sang Puteri Penunggu Danau tidak mau mengganggu rezeki
masyarakat setempat. Misalnya di hari Sabtu dan Minggu, danau
jarang garang airnya oleh besarnya tiupan angin, karena
hari-hari itu adalah hari libur dan Toba banyak mendapat
kunjungan turis. "Ini menurut pengamatan saya selama 5 tahun
jadi Camat," ujarnya lagi. Artinya mungkin sang Puteri mengerti
hari-hari akhir minggu penduduk rezekinya akan berlebih kalau
banyak pengunjung.
Sesekali memang, sang Puteri timbul marahnya pula. Ini kalau
manusia telah berbuat tidak senonoh dan tidak patut. Misalnya,
di tahun 1976, enam orang wisatawan tenggelam. Menurut Pak
Camat, keenam orang tersebut telah berbuat tidak senonoh di
dalam danau. "Maunya, kalau mau begituan, ya di darat sajalah,
jangan di danau," ucap Camat Kumpul Sinaga.
Karena itu, untuk mencegah timbulnya korban lagi, Camat dan
aparatnya sibuk memberikan penerangan terutama kepada para WTS
yang banyak menggelimangkan diri di hotel-hotel: jangan layani
langganan untuk begituan di danau. Tampaknya, peringatan ini
manjur juga. Semua orang mengerti untuk tidak tertangkap basah
di tempat basah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini