Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Pengumuman putri toba

Lagenda betara guru sahala, bercinta dengan boru deak parujar. karena sahala melanggar sumpah terjadi kubang besar danau toba. agar putri tidak marah, jangan berbuat tidak senonoh di danau.

24 September 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENURUT sahibul hikayat, dahulu kala bermukimlah seorang penjala ikan di sebuah lembah gersang di tanah Batak. Pada suatu hari, jalanya mengena . Rezekinya hari itu: sebuah ikan emas terjerat dalam jala. Tapi mendadak saja, Batara Guru Sahala -- demikian nama si penjala ikan tadi -- terkejut. Ikan hasil jalanya bisa berkata-kata bagaikan seorang manusia. Ikan emas itu dengan penuh iba, minta agar dia dilepaskan. Sahala memenuhi permintaan sang ikan. Lebih mengejutkan lagi, ikan kemudian berobah jadi seorang perempuan yang cantik bukan kepalang. Singkat ceritera, Batara Guru Sahala pun jatuh cinta. Berjuta rasanya, hingga kontan Sahala melamar sang dara exikan emas. Karena sudah termakan jasa, artinya Sahala telah melepaskannya dari jaringan jala, lamaran si penjala diterimanya. Dengan mengajukan satu syarat saja setelah mereka nanti menikah, Sahala tidak boleh sekali-kali mengungkap asal usul calon isterinya. Sahala, yang tak pernah bermimpi bisa mengawini perempuan secantik itu, menyatakan ikrar setia dan akan memegang janji tersebut. Isterinya kemudian diberinya nama: Boru Deak Parujar. Menurut legenda ini, kehidupan suami isteri tadi cukup rukun damai. Mereka saling kasih mengasihi. Bahkan telah lahir pula dua anak perempuan mereka: Boru Sinuan Tunas dan Boru Sinuan Beu, Tapi dunia tak kekal. Setelah Batara Guru Sahala mengecap mawar dan madu hidupnya, timbullah suatu tragedi. Pada suatu hari, Batara Guru Sahala -- seperti kebiasaannya --pergi menebar jala. Biasanya pula, kedua anak perempuan Sahala akan datang mengantar makanan lepas tengah hari. Dasar anak-anak, di hari yang satu itu mereka tidak patuh pada orangtua. Mereka asyik bermain, lupa mengantar bontot buat sang ayah. Bahkan lauk pauk untuk ayahnya mereka habiskan. Setelah hari menjelang petang, dan perut si ayah bertambah nyaring keroncongannya, akhirnya anak-anak itu baru muncul. Sahala naik pitam. Kedua anaknya ditempeleng dan disepaknya. Sumpah serapah pun, tanpa disadarinya terhambur dari mulut sang ayah: "Huuh, dasar anak ikan! Pantas begini!" Gadis cilik itu menangis dengan kencangnya. Juga tidak mengerti, mengapa ayahnya mengatakan mereka adalah anak ikan. Hal ini kemudian mereka tanyakan pada sang ibu yang ada di rumah. Boru Deak Parujar menjadi amat tersinggung. Sang ibu tidak keberatan kalau ayahnya memukul anaknya, tapi sumpah serapah yang dia lontarkan itu, cukup membikin keadaan parah. Begitu suaminya pulang, Boru Deak Parujar kontan bertanya pada sang suami. Sahala yang terkejut, mencoba membela diri. Emosi, begitu alasannya, karena tingkah laku anak. Sahala, melihat isteri cantiknya marah besar, kemudian sempat minta maaf. Tapi Deak Parujar sudah bertekad bahwa tidak ada maaf bagi Sahala. Bukankah Sahala telah melanggar sumpah? Tiba-tiba saja, bumi pun menggelegar. Gunung meletus, batu besar beterbangan dan terjadilah kubang besar yang sekarang diberi nama Danau Toba. Di akhir legenda, tidaklah jelas diterangkan bagaimana nasib keempat orang tersebut. Yang jelas sekarang, di danau Toba selalu penuh dengan ikan emas (sebelum seseorang melepaskan ikan mujair yang lebih ganas ketimbang ikan emas). Dan legenda ini pun bukan satu-satunya legenda yang hidup di penduduk sekitar danau Toba tersebut. Ada ceritera lain, bahkan ada yang menyang kal bahwa legenda ikan emas pernah ada di sana dan kemudian memberikan versi dongeng lain. Tapi yang populer cumalah legenda Batara Guru Sahala dan Boru Deak Parujar. Karena ceritera ini kini telah diabadikan dalam kaset . . . Jangan di Danau Sampai sekarang, masih terasa pengaruh berbagai legenda bagaimana terjadinya danau Toba bagi penduduk setempat. "Puteri penunggu danau berhati baik," ucap Camat Prapat, Kumpul Sinaga kepada Amran Nasution dari TEMPO. Sinaga kemudian menjelaskan bahwa sang Puteri Penunggu Danau tidak mau mengganggu rezeki masyarakat setempat. Misalnya di hari Sabtu dan Minggu, danau jarang garang airnya oleh besarnya tiupan angin, karena hari-hari itu adalah hari libur dan Toba banyak mendapat kunjungan turis. "Ini menurut pengamatan saya selama 5 tahun jadi Camat," ujarnya lagi. Artinya mungkin sang Puteri mengerti hari-hari akhir minggu penduduk rezekinya akan berlebih kalau banyak pengunjung. Sesekali memang, sang Puteri timbul marahnya pula. Ini kalau manusia telah berbuat tidak senonoh dan tidak patut. Misalnya, di tahun 1976, enam orang wisatawan tenggelam. Menurut Pak Camat, keenam orang tersebut telah berbuat tidak senonoh di dalam danau. "Maunya, kalau mau begituan, ya di darat sajalah, jangan di danau," ucap Camat Kumpul Sinaga. Karena itu, untuk mencegah timbulnya korban lagi, Camat dan aparatnya sibuk memberikan penerangan terutama kepada para WTS yang banyak menggelimangkan diri di hotel-hotel: jangan layani langganan untuk begituan di danau. Tampaknya, peringatan ini manjur juga. Semua orang mengerti untuk tidak tertangkap basah di tempat basah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus