Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENGADAAN helikopter AgustaWestland AW101 menuai polemik antara Panglima Tentara Nasional Indonesia Jenderal Gatot Nurmantyo dan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu. Kontroversi itu mengemuka saat rapat dengan Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat, awal Februari lalu.
Kepada anggota Dewan, Gatot mengaku tidak mengetahui ihwal pembelian helikopter buatan perusahaan Italia-Inggris itu. Adapun Ryamizard meminta masalah tersebut tak diungkit lagi. Heboh pembelian alat utama sistem persenjataan militer pernah ditulis majalah Tempo edisi 10 November 1979 dengan judul "Maunya Murah Tapi Menghebohkan".
Saat itu, pemerintah membeli pesawat Skyhawk dari Amerika Serikat, yang ditengarai dibeli ulang dari Israel. Kisahnya dimulai pada awal Oktober 1979, ketika surat kabar WashingtonPost memberitakan Indonesia telah membeli 1 skuadronpesawat terbang A 4-E Skyhawk dari Israel. Menteri Luar Negeri (1978-1988) Mochtar Kusumaatmadja, yang kebetulanmenghadiri sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, segera memberipenjelasan kepada para menteri luar negeri negara-negara Islam yang hadir disidang itu. "Berita itu sama sekali tidak benar. Memang betul Indonesia membeli pesawat terbang tempur, tapi itu dari Amerika Serikat,"katanya saat itu.
Di dalam negeri, reaksi cukup keras. Yang dipersoalkan karena Skyhawk itu bekas pakai Israel. Untukbisa memenuhi permintaan pembelian dari Indonesia, pemerintah Amerikatelah membeli kembali 1 skuadron pesawat itu, yang pernah dijualnya kepada Israel. Undang-undang Amerika kabarnya melarang negarapembeli untuk menjual kembali langsung persenjataan yang telahdibeli kepada negara ketiga. "Melakukan hubungan langsung atau tidak dengan Israel jelassalah. Jangankan menyangkut pembelian pesawat tempur, kerja samailmiah atau main bola sekalipun tidak bisa dibenarkan," kataanggota DPR dari F-PP, Ridwan Saidi, November 1979.
Soal ini dianggapnya seriuskarena menyangkut hubungan Indonesia dengan negara-negara TimurTengah. "Kita jangan berpikir simplistis. Karena Israel sudahberdamai dengan Mesir, bila kita berhubungan dengan Israel lalumerasa tidak ada masalah," tuturnya.
Rencana pembelian Skyhawk ini dirundingkanpertama pada 1977, sewaktu Wakil Presiden Amerika (1977-1981) Walter Mondaleberkunjung ke Jakarta. Pada waktu yang sama, disetujui jugapembelian 12 pesawat F-4 Tiger serta sejumlah senapan M-16. Pada31 Maret 1978, ditandatangani suatu letter of offer and acceptance,yakni perjanjian ketetapan harga yang disepakatisyarat-syaratnya. Artinya, Indonesia akan membayar US$ 25,8 jutayang disetujui dan tidak diwajibkan membayar tambahan bilaterjadi kenaikan harga. "Persoalannya waktu itu ada duit ngepas dan ada pesawatmurah.Ya, ditubruk saja," kata seorang perwira tinggi Hankam kepadaTempo.
Israel berencana mengganti Skyhawk-nya dengan pesawat F-15 Tomcat, yang dibelinya dari Amerika karena Iran membatalkanpembelian 80 pesawat F-15 ini. Tidak jelas kapan Skyhawk yangdibeli Indonesia itu dibikin, tapi suatu sumber menjelaskannilai ekonomis Skyhawk yang dibeli ini "kurang menguntungkan" karena diperhitungkan hanya bisa bertahan sampai 1985.
Keterangan bahwa Skyhawk yang baru sudah tidak dibikinlagi memang benar. Awal 1979, Skyhawk A-4 yangterakhir dibuat oleh McDonnell Douglas keluar daripabriknya. Tapi suku cadang akan terus diproduksi. Selama 27tahun telah dibuat 2.930 buah Skyhawk untuk Angkatan Laut Amerika.Ada enam negara lain yang menggunakan pesawat jenis ini: Australia,Argentina, Israel, Kuwait, Selandia Baru, dan Singapura. Ditambahsekarang Indonesia, yang membeli bekas pakai. Malaysia dikabarkanjuga akan membeli 80 pesawat jenis ini dari Amerika dan sudahmenyediakan dana US$ 131 juta.
Pembelian itu tampaknya tak mungkin dibatalkan. "Sudah saya cekke Departemen Keuangan. Pembayaran sudah dilakukan langsung kepemerintah Amerika," kata Mochtar, November 1979. Apakahkemungkinan reaksi dalam negeri sudah diperhitungkan sewaktu hendak membeli Skyhawk ini? "Jelas sudah," jawab Mochtar.
Ketua Komisi I DPR (1977-1982) Chalid Mawardi menyebutkan pembelian Skyhawk ini bisamenyulitkan ribuan tenaga Indonesia yang bekerja di negara Arab.Juga buat para kontraktor dan pengusaha Indonesia yang sedangberusaha merebut pasaran di kawasan ini. Ia menganggapsatu-satunya keuntungan pembelian ini adalah syarat pembayaranyang ringan. "Tapi saya anggap ini suatu kebodohan. Pembelanjaansenjata kok hanya didasarkan pada pragmatisme," katanya, November 1979.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo