Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagaimana Anda melihat reaksi anti-AS yang tengah marak di Indonesia? Kalau menurut saya, itu adalah reaksi orang atau pihak yang lemah terhadap pihak yang kuat. Pihak kuat itu, karena kekuatannya, selalu merasa menjadi pengatur segalanya. Hukum adalah hukumnya, benar adalah benarnya, karena dia memiliki segalanya. Sementara itu, yang lemah tidak memiliki apa-apa. Ibaratnya, dalam satu rumah ada anak kecil yang tidak bisa melawan kakak-kakaknya, akhirnya si anak kecil mengambil batu. Lalu, orang dewasa itu mengatakan anak kecil itu ngawur. Tidak pernah orang kuat melihat dirinya dan melakukan introspeksi. Itu watak orang kuat di mana-mana. Sekarang mau apa kalau negara Amerika dan sekutunya kuat dalam segala macam? Dia bisa membentuk opini, dia punya pers yang bisa memerahbirukan opini dunia. Ya, tidak usah contoh yang jauh. Ketika orang Jakarta melawan orang-orang desa, yang kalah orang desa. Akhirnya mereka negori wit (menebangi pohon). Sebab, orang Jakarta punya pers yang bisa mengatakan apa saja, termasuk menayangkan orang-orang desa yang menebangi pohon-pohon, yang tampak anarkis. Nah, tindakan orang lemah ini macam-macam. Ada yang ngamuk, ada yang mengadu ke Gusti Allah dengan menjaga ketenteraman dan memasrahkan ke Gusti Allah. Intinya, hampir selalu yang kuat yang zalim terhadap yang lemah. Sedangkan bila yang kuat terkena sedikit saja, ia lalu merasa terhina sehingga membabi buta menghajar yang lemah. Artinya gerakan anti-AS ini merupakan reaksi balik terhadap sikap Amerika? Jelas. Sebab, ya itu tadi, yang kuat seperti Amerika membuat aturan sendiri. Tidak peduli dengan aturan umum. Padahal yang diharapkan kan ada pembuktian dulu di pengadilan keputusan. Apa yang mendorong kelompok-kelompok yang disebut "garis keras" bertindak seperti itu? Karena merasa terzalimi. Orang Islam di Indonesia ataupun di dunia selalu dianggap yang paling lemah, yang kalah, dan memang demikian adanya. Yang lemah dipinggirkan dan disalah-salahkan oleh yang kuat. Masalah Israel dan Palestina, misalnya. Bagaimanapun dunia mengatakan Israel yang salah, Amerika selalu membela Israel. Bayangkan saja, ada orang yang saking jengkelnya sampai berani mengorbankan nyawanya untuk sekadar menyakiti. Orang yang menyerang WTC dan Pentagon itu kan menyakiti dirinya sendiri. Anda bayangkan, ada orang yang karena jengkel sampai "mati pun matilah, enggak opo-opo", yang penting bisa sedikit menyakiti orang itu. Itu kan dahsyat sekali, kejengkelan yang dahsyat. Ini yang sebenarnya harus dipikirkan oleh orang yang kuat, "Kok, ada orang yang jengkel sampai sedemikian rupa. Apa kesalahan saya?" Bush dulu menyerang Irak, sekarang anaknya menyerang Afganistan, nanti cucunya nyerang Indonesia, ha-ha-ha. Jadi, sebenarnya kasus ini bukan masalah Islam yang balas dendam, melainkan masalah kemanusiaan? Iya, masalah kemanusiaan. Tapi Islam itu universal. Jadi, bisa saja dikaitkan dengan Islam karena memang Islam menentang kezaliman. Sampai seberapa jauh dampak aksi-reaksi ini? Bila Amerika tidak melakukan introspeksi, dia akan dilawan orang lemah sedunia. Bila AS dilawan hanya dengan cara teriak sambil bakar bendera, itu enggak apa-apa. Tapi bila yang tertindas mengadu kepada Allah, yang tidak masuk akal bisa terjadi pada orang-orang kuat. Goliath saja dilawan dengan ketapel oleh Nabi Luth. Apakah pengiriman "pasukan" Indonesia ke Pakistan itu bisa benar-benar terjadi? Itu bisa saja terjadi, seperti yang saya analogikan berkali-kali tentang cara orang lemah membalas kepada orang kuat. (Jadi) mereka tidak akan mempertimbangkan apa-apa kecuali melawan kezaliman. Kalau menurut hitungan kondisi obyektif, apakah memungkinkan mereka berangkat berjihad ke Afganistan? Mereka tidak mempertimbangkan itu semua. Kalau kita menghitung obyektif, untuk apa? Wong bukan kita yang berangkat. Harap kita arifi bahwa yang akan melaksakanan semua ini adalah orang yang marah. Yang harus dilihat, mengapa marah sedemikian rupa. Jadi, kita jangan hanya memfokuskan diri pada reaksi, tapi juga pada aksi. Bagaimana pendapat Anda tentang sikap pemerintah Indonesia terhadap Tragedi 11 September yang dibalas dengan serangan AS ke Afganistan? Saya memahami kesulitan pemerintah, karena pemerintah butuh bantuan Amerika. Apalagi pemerintah baru saja dijamu. Masa, terus mau melawan. Apalagi kita ini kadang dipengaruhi budaya Jawa. Tapi, menurut saya, seharusnya pemerintah menjelaskan kepada Amerika tentang kaum lemah yang selama ini dizalimi Amerika. Itu kan (secara politik) masih nonblok, tapi bersikap. Kalau pemerintah diam, disangka setuju saja. Jadi, sebagai negara muslim terbesar, sedilematis apa pun pemerintah Indonesia tetap harus bersikap? Menurut saya, tidak sulit untuk bersikap. Pemerintah tinggal menjelaskan bahwa ada rakyat Indonesia yang berpandangan tertentu, yang melihat AS sebagai pihak kuat yang tidak membela yang lemah dan selalu mendiskreditkan pihak lemah dengan segala cara. Apakah kita didengar? Ada dua keuntungan bila pemerintah mau bersikap seperti itu. Pertama, mereka yang sekarang bereaksi itu terwakili oleh pemerintah karena aspirasinya tersampaikan. Kedua, sikap pemerintah juga bisa dihargai oleh Amerika karena kita sudah menjelaskan duduk persoalannya. Jadi, semua reaksi radikal yang menuju sikap anarkis disalurkan secara diplomatis oleh pemerintah. Apa yang sudah Anda lakukan untuk mengerem radikalisasi seperti ini? Ini pertanyaan klasik. Setiap kali ada persoalan, larinya ke ulama. Sebenarnya, tidak usah diminta, sudah pekerjaan ulama mendamaikan. Itu sudah dilakukan sejak dulu. Hanya, para politisi sering kali menggunakan ulama untuk kepentingan mereka. Bila ada keributan di masyarakat, mereka berpaling ke ulama agar menenangkan massa. Padahal politisi juga yang ngomporin. Tapi, bila mereka ngomporin terus, ya capai kita. Lalu, bagaimana agar ulama tidak dimanfaatkan? Ulama harus tidak punya kepentingan. Intinya, kalau benar-benar ulama, dia harus tidak dijajah oleh siapa pun kecuali oleh Allah. Selama seorang itu tidak mau dijajah kecuali hanya oleh Allah, dia akan dijajah oleh siapa saja. Oleh kepentingan, oleh pangkat, oleh harta, oleh gengsi, oleh prestise. Apakah kaum nahdliyin juga ikut berjihad ke Afganistan? Warga nahdliyin meyakini konsep jihad sebagai yang akbar dan agshor. Mana yang diprioritaskan, itu ada ukuran-ukurannya. Yang menjadi pegangan dalam warga NU, ada yang namanya khittah, sikap i'tidal, tawasut, tawazun (proporsional), yaitu yang salah disalahkan dan yang benar dibenarkan. Warga NU rata-rata marah kepada Amerika, tapi persoalan jihad ya nanti, wong punya organisasi. Artinya belum sampai akan berangkat berjihad ke Afganistan? Tergantung pimpinannya. Jadi, misalnya saya bilang saja "bismillah", berangkat semua. Bagaimana cara Anda mendinginkan masyarakat yang sedang marah? Memang sulit. Tapi untungnya saya relatif didengarkan oleh mereka. Bila saya tidak didengar, susah. Sebab, sebetulnya sudah banyak yang sangat marah, karena setiap kezaliman mengakibatkan kemarahan. Kiai-kiai di NU yang sungguhan itu memegang dawuh-nya (perkataan) Kanjeng Nabi (Muhammad), undzur akoka, dzoliman auman: bantulah saudaramu yang zalim ataupun yang dizalimi. Ketika itu, sahabat Rasulullah bertanya, "Sementara membantu yang dizalimi itu masuk akal kami, membantu yang zalim itu maksudnya bagaimana?" Nabi menjawab, "Membantu yang zalim adalah untuk mencegah supaya tidak zalim dan menghentikan kezaliman yang biasa dilakukan oleh pihak yang kuat terhadap yang lemah." Orang lemah bertindak ngawur karena lemah dan tidak bisa berbuat apa-apa. Tetapi orang kuat bertindak ngawur karena dia terlalu sadar akan kekuatannya. Intinya, janganlah kezaliman dibalas dengan kezaliman, karena itu tidak akan menyelesaikan masalah. Kita kan punya Tuhan, kita adukan saja kepada Tuhan. Bagaimanapun kuasanya mereka, Allah lebih kuasa. Indonesia kan negara berpenduduk Islam terbesar. Nah, menurut Anda, bagaimana sih pandangan negara-negara Barat tentang "kekuatan" Islam di Indonesia? Bermacam-macam, tapi pada umumnya mereka memandang Islam yang paling baik itu di Indonesia. Sebab, Islam di sini toleran dan menerima aliran apa saja. Yang selalu membuat persoalan kan justru pemerintah. Di masa Orde Baru, persoalan suku, agama, dan ras selalu didengung-dengungkan, meskipun sebenarnya tidak ada persoalan. Akhirnya masyarakat jadi terkotak-kotak. Tapi, setelah ada pembakaran gereja-gereja? Hal itu membuat mereka kaget. Mereka tidak bisa mengerti mengapa orang Indonesia tiba-tiba begini. Tentu ada hal faktor X-nya. Kalau saya mencari kambing hitam, Orde Baru-lah yang saya tuduh. Sebab, rezim itu selalu mengembuskan isu SARA, padahal tidak ada apa-apa. Akhirnya orang terus berpikir tentang itu. Bagaimana Anda bersikap tentang serangan AS ke Afganistan? Menurut saya, itu teror yang dilakukan Amerika terhadap warga Afganistan. Mengapa jaringan terorisme selalu dikaitkan dengan kelompok Islam radikal? Yang mengaitkan adalah yang tidak senang terhadap Islam. Itu biasa. Sampean tidak senang saya, lalu sampean mengait-ngaitkan semua hal yang buruk dengan saya. Tergantung sampean punya kekuatan atau tidak. Nah, mereka yang tidak suka Islam itu kuat, punya jaringan komunikasi, bisa membentuk opini. Tapi tuduhan mereka pada gilirannya malah menyebabkan orang-orang Islam tambah marah, yang semula tidak radikal jadi radikal. Apa pendapat Anda terhadap Usamah bin Ladin? Maaf, saya tidak begitu kenal Usamah. Saya mendengar nama itu, ya, ketika usai penyerangan WTC dan Pentagon. Dalam sejarah pemimpin Islam, tidak ada nama itu. Jangan-jangan Usamah yang dimaksud itu tidak ada. Menurut Anda, bagaimana melihat pemimpin-pemimpin seperti Usamah di dalam Islam? Pemimpin itu tergantung pengikutnya. Bila Anda mampu menjelaskan kepada pengikut-pengikut Anda bahwa Anda membawa aspirasi mereka, membela mereka, Anda akan diikuti. Orang lain mungkin menganggap dia pemberontak, tapi pengikutnya menganggap dia pahlawan. Orang-orang yang jengkel pada Amerika pasti mengatakan Usamah pahlawan besar bila yang berada di balik Peristiwa 11 September itu Usamah. Tapi kan enggak jelas siapa yang melakukannya. Usamah sendiri membantah. Bagaimana Anda mendudukkan persoalan seperti itu? Kita harus obyektif dan tidak bisa hitam-putih. Bila sampean ber-kelahi dengan orang lain, tidak bisa sampean yang salah total dan lawan sampean benar total. Mungkin Anda ada salahnya dan ada benarnya sedikit. Dalam kasus ini, kita tidak bisa mengedepankan emosi. Makanya, dalam Islam, orang yang emosional tidak boleh jadi hakim. Bagaimana menangkal ketersinggungan umat Islam dengan prinsip "satu bagian badan sakit, semua terasa sakit"? Kalau sesuatu yang menyebabkan satu sakit lalu semua ikut sakit, itu prinsip-prinsip agama, seperti keadilan diinjak-injak, Tuhan dihina, nabi dihina. Tapi, bila dengan perkara yang relatif bisa dicarikan mana yang benar dan mana yang salah, tidak harus dengan prinsip itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo