Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wilayah perbatasan kembali menjadi perhatian. Presiden Joko Widodo beraksi menaiki menara intai marinir di Pulau Sebatik, Kalimantan Utara, untuk melihat kondisi perbatasan pekan lalu. Presiden masygul karena infrastruktur di wilayah perbatasan minim. Salah satunya jaringan telekomunikasi yang masih tertinggal dibanding Malaysia.
Dalam program Pembangunan Lima Tahun (Pelita) II di era Presiden Soeharto, masalah perbatasan juga menjadi perhatian. Sebuah tim dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional diterjunkan ke wilayah Kalimantan Barat yang berbatasan dengan Sarawak, Malaysia. Saat itu militer menyebut wilayah itu sebagai "daerah gawat". Majalah Tempo edisi 29 Juni 1974 membuat laporan tentang pembenahan daerah perbatasan tersebut.
Tak banyak orang mengetahui bahwa panjang daerah perbatasan Kalimantan Barat dengan Sarawak adalah 1.200 kilometer alias sepanjang Pulau Jawa. Pada awal Mei 1974, satu tim dari Bappenas Jakarta pimpinan Profesor Madjid Ibrahim mengadakan peninjauan ke sana. Kunjungan itu dilakukan sehubungan dengan rencana pembangunan daerah tersebut, yang telah disodorkan ke pusat untuk Pelita II: "perlu segera diambil langkah mengatasi situasi khusus, setelah baru saja menyelesaikan operasi keamanan yang berat". Itu mencakup 20 kecamatan yang memanjang dari barat ke timur (dari Tanjung Datuk sampai Gunung Para), yang menurut istilah militer termasuk kategori "daerah gawat".
Niat membangun daerah perbatasan yang sebagian besar penduduknya suku Dayak dan masih terbelakang itu timbul semasa Mayjen Sumadi menjabat Pangdam XII/Tanjungpura. Kemudian ia menyerahkan tugas ini kepada pemerintah daerah. Maka, pada triwulan ketiga 1971, dibuat suatu rencana pembangunan daerah perbatasan Kalimantan Barat oleh pemerintah daerah bersama pelaksana khusus setempat.
Atas dasar itu diperjuangkan biaya ke pusat dan setelah melewati pembahasan cukup lama, akhirnya pusat menyetujui dan memberi biaya Rp 10 miliar. "Khususnya untuk menyelenggarakan usaha-usaha pemulihan kehidupan ekonomi masyarakat perbatasan". Hasilnya? "Belum mencapai sasaran yang dapat dirasakan oleh masyarakat perbatasan secara luas," kata Gubernur Kalimantan Barat Kadarusno.
Ganjalannya, konon, adalah masalah administrasi. Juga karena "situasi terakhir dari operasi pemulihan keamanan dan ketertiban, sehingga perlu penyesuaian keadaan dengan rencana semula". Karena itu, seperti ditulis dalam "buku putih" Gubernur Kalimantan Barat setebal 36 ketik folio, "Pemerintah daerah menyampaikan kembali rencana proyek dan kegiatan beserta dukungan biaya yang diperlukan untuk masa lima tahun mendatang, dimulai 1974-1975 sampai 1978-1979". Menunjuk tak lepasnya masalah perbatasan Kalimantan Barat ini dengan kepentingan nasional—terutama aspek pertahanan dan keamanan—Kadarusno sampai pada taksiran biaya Rp 24 miliar. "Tapi biaya ini benar-benar di luar kemampuan daerah untuk memikulnya," ujar Kadarusno, sembari menunjuk, "APBD Kalbar tak lebih dari Rp 6 miliar setahunnya."
Berbeda dengan pemda, tim Bappenas itu menaksir biayanya adalah Rp 17 miliar. "Tapi ini baru kira-kira," ujar Profesor Madjid Ibrahim, "karena program tersebut masih akan dibahas lagi di Jakarta." Ada kemungkinan sumber biaya dibayangkannya dari tiga sumber: bujet pembangunan nasional, bujet pembangunan daerah, dan, "Bila itu belum mencukupi, akan dimintakan tambahan khusus dari Bappenas," ujar Profesor Madjid. Sementara itu hasil peninjauan tersebut masih digodok dengan departemen yang ada sangkut-pautnya dengan pembangunan daerah perbatasan, dalam garis besar telah dikaji pendekatan kemakmuran—menyangkut pertanian dan pendekatan keamanan yang menyangkut prasarana perhubungan.
Penduduk di sana memang terpencil. "Faktor geografis, tipisnya jumlah penduduk dan pemencaran tempat tinggal, serta masih langkanya sarana komunikasi merupakan sederetan panjang masalah yang menghambat pelaksanaan kegiatan pemerintahan," kata Kadarusno.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo