Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Membendung Pendatang Ilegal

18 Januari 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Malaysia masih menjadi magnet bagi orang perdesaan Indonesia mencari nafkah. Tingkat pendapatan rata-rata penduduk negeri jiran itu memang tinggi sehingga mereka enggan bekerja sebagai buruh di sektor konstruksi, perkebunan, dan sektor informal.

Walhasil, sejak 1982, pemerintah Malaysia memutuskan mendatangkan buruh dari India, Bangladesh, Sri Lanka, dan negara-negara ASEAN. Sejak itulah ratusan ribu warga asing, termasuk dari Indonesia, membanjiri Malaysia. Dalam prakteknya, banyak di antara mereka masuk melalui jalur ilegal sehingga dikenal sebagai pendatang haram.

Beberapa kali Tempo menurunkan tulisan mengenai tenaga kerja Indonesia di Malaysia. Pada edisi 19 Mei 1984, Tempo menurunkan tulisan dengan judul "Membendung Arus Pendatang Haram".

Tulisan itu mengupas perjanjian penyediaan tenaga kerja Indonesia (TKI) untuk Malaysia, yang ditandatangani Menteri Tenaga Kerja Sudomo dan Wakil Perdana Menteri Malaysia Datuk Musa Hitam. Disusul kemudian penandatanganan persetujuan lintas batas RI-Malaysia oleh Musa Hitam dan Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Jenderal L.B. Moerdani. Keduanya adalah Ketua General Border Committee RI dan Malaysia.

Jenderal Moerdani menjelaskan bahwa kedua persetujuan itu merupakan "langkah maju" sejak dirintisnya persetujuan lintas batas yang ditandatangani di Jakarta pada 1967. Makin mantapnya keamanan di perbatasan, kata dia, memungkinkan pemberian kemudahan kepada masyarakat—terutama yang secara tradisional mencari hidup di perbatasan—untuk saling mengunjungi. Kemudahan itu diwujudkan dalam penyederhanaan sistem dan prosedur lintas batas.

Menurut persetujuan itu, Indonesia akan membuka 22 check point di Sumatera timur, sedangkan Malaysia akan membuka 24 pos serupa di Semenanjung Malaysia. "Adanya perjanjian ini akan meningkatkan hubungan di antara kedua bangsa hingga persahabatan kedua negara lebih kukuh," ujar Duta Besar Malaysia di Indonesia, Datuk Muhammad Rahmad.

Yang lebih penting tampaknya perjanjian penyediaan TKI untuk Malaysia. Datuk Musa Hitam mengakui mereka lebih mengutamakan pendatang dari Indonesia ketimbang dari India dan Bangladesh, karena adat istiadat dan kulturnya lebih dekat dengan Malaysia.

Menurut taksiran Menteri Sudomo, di Sabah saat itu terdapat sekitar 130 ribu TKI gelap, sedangkan di Semenanjung Malaysia—menurut perkiraan Far Eastern Economic Review—ada 200-300 ribu TKI gelap. Dari hampir 20 ribu imigran gelap yang tahun lalu ditangkap polisi Malaysia, dua pertiganya orang Indonesia.

Menurut Duta Besar RI di Malaysia, Rais Abin, ada sindikat orang-orang Indonesia dan Malaysia yang memasukkan tenaga kerja itu secara gelap. Sindikat itu pula yang mengatur pendapatan mereka. "Upah mereka sebenarnya Rp 6.000 sehari, tapi yang dibayarkan cuma Rp 2.000. Sisanya masuk kantong sindikat," ucapnya.

Dari berbagai sumber, terpetik juga banyak cerita tentang para calo tenaga kerja yang merampas paspor para buruh atau tentang centeng perkebunan yang menekan dan menyiksa. Status mereka sebagai "pendatang haram", yang bisa sewaktu-waktu ditangkap polisi dan diusir kembali ke Indonesia, lebih memojokkan mereka. Namun tak kurang juga banyaknya laporan yang menyebutkan terlibatnya pendatang haram Indonesia dalam berbagai tindak kriminalitas.

Berbagai hal ini, Datuk Musa Hitam menyebutnya "perkara yang membuat kedua pemerintah tak enak hati", rupanya akan diselesaikan dengan penandatanganan persetujuan itu. Dengan adanya perjanjian penyediaan tenaga kerja itu, selain diharapkan tak ada lagi TKI yang datang ke Malaysia secara "haram", hak mereka akan lebih terjamin.

Perjanjian itu juga menyebutkan jumlah TKI yang diizinkan masuk Malaysia akan ditentukan berdasarkan kebutuhan dan bakal dibatasi dengan kontrak yang berlaku dua tahun. Ada dugaan, pemerintah Malaysia membuka keran tenaga kerja untuk memperbesar imbangan masyarakat Melayu. Waktu itu jumlah penduduk Malaysia sekitar 14 juta dengan perimbangan Melayu 50 persen, Cina 40 persen, dan sisanya berasal dari keturunan lain, seperti Tamil.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus