Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMILIHAN Umum baru digelar pada 7 April 2019, tapi nama-nama calon pendamping Joko Widodo-diperkirakan maju kembali sebagai calon presiden-mulai muncul. Survei Indo Barometer yang diselenggarakan pada pertengahan November lalu memunculkan sejumlah calon wakil presiden potensial, seperti Agus Harimurti Yudhoyono dan Panglima Tentara Nasional Indonesia Jenderal Gatot Nurmantyo.
Dukungan terhadap tokoh politik lain juga mulai timbul. Di sejumlah daerah, seperti Solo dan Yogyakarta pada akhir November lalu, muncul dukungan terhadap Ketua Dewan Tanfiz Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar. Muhaimin mengatakan bakal mengambil keputusan akhir tahun ini. Sedangkan Agus berkata, "Saya ingin berproses sebaik mungkin tanpa harus memikirkan hasil survei."
Selama pemilu digelar di negara ini, bursa calon wakil presiden tak kalah ramai dibanding calon presiden. Majalah Tempo edisi 15 April 1972, dalam tulisan berjudul "Soal Ban Serep Kedua", mengulas siapa yang bakal menduduki kursi RI-2 mendampingi Presiden Soeharto. Nama yang muncul adalah Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Ketua Umum Nahdlatul Ulama sekaligus Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, Idham Chalid.
Meskipun Majelis Permusyawaratan Rakyat belum terbentuk, soal siapa yang akan jadi presiden rupanya sudah beres. Golkar selaku pemegang suara mayoritas telah berketetapan memilih Soeharto, dan tak bisa dibayangkan ada partai lain mampu menggoyahkan maksud Golkar. Yang agaknya belum selesai adalah siapa yang akan dicalonkan untuk menduduki lowongan yang sudah kosong sejak Wakil Presiden Mohammad Hatta mundur pada 1956.
Yang sudah jelas menginginkan jabatan itu adalah NU, seperti dikatakan Sekretaris Jenderal NU Jahja Ubaed. Khalayak politik otomatis mengarahkan pandangan kepada Idham Chalid, nama yang sudah disebut-sebut bahkan sebelum pemilihan umum tahun lalu. Waktu itu, ada juga suara dari Partai Nasional Indonesia yang menokohkan Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Pemimpin Golkar yang juga Duta Besar RI untuk Kanada, Letnan Jenderal Sukowati, mengatakan syarat wakil presiden nanti harus non-Jawa, non-Golkar, dan nonmiliter. Syarat-syarat itu konon sesuai dengan kemauan Presiden Soeharto sendiri yang ingin wakilnya berasal dari Kalimantan. Nama yang paling dekat dari Kalimantan adalah Idham Chalid. Tapi Idham berkata kepada Tempo, "Saya tidak pernah berpikir ke arah itu. Saya telah berikrar ingin berkhidmat kepada DPR saja."
Idham tampaknya berhati-hati memberikan keterangan terbuka soal itu, dan hal itu bisa dimengerti karena partai-partai lain memendam keinginan mengambil jabatan tersebut. Anggota DPR dari Partai Muslimin Indonesia, Sudardji, malah menyatakan kursi wakil presiden tak usah diisi karena toh seluruh kekuasaan ada di tangan presiden. Alasan yang masuk akal meskipun yang masuk akal belum berarti benar. Undang-Undang Dasar 1945 tegas menyebutkan presiden dibantu satu orang wakil presiden. Kolega Sudardji, J. Naro, yang juga Wakil Ketua DPR, mengatakan partainya tak mempersoalkan pasangan Presiden Soeharto. "Yang penting bisa bekerja sama dengan Presiden."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo