Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Angka

Memburu pasar baru

Industri property tumbuh subur, berbagai model bangunan ditawarkan. ini tak lain karena adanya perubahan segmentasi pasar dan menurunnya suku bunga bank.

16 Oktober 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nirwan Bakrie tidak menduga bahwa antrian calon pembeli Apartemen Taman Rasuna akan begitu panjang, dipertengahan Agustus kemarin. Juga tak diduganya bahwa yang ikut antri banyak yang datang dari luar Jakarta dan pagi pagi sekali mereka sudah datang . Sebuah pemandangan yang jarang kelihatan: orang orang berdasi dan wanita dengan rok mewah membentuk antrian panjang. Mereka memang golongan kelas menengah. yang masih mencari tempat tinggal, yang tak terlalu jauh dari tempat bekerja. Mereka juga tulang punggung konsumen developer apartemen , segmen pasar industri properti yang tumbuh cepat akhir akhir ini. Kelompok Bakrie Investindo, developer yang membangun Apartemen Taman Rasuna Jakarta, berhasil mengumpulkan dana Rp 15 miliar dari uang muka para calon pembeli, yang apartemennya baru akan dibangun Januari 1994. Mereka mesti menunggu satu setengah sampai dua tahun lagi, sebelum apartemen yang dipesannya selesai dan ditempati. Sebuah era baru buat properti di Indonesia ? Atau sebuah "marketing trick" yang berhasil ? Atau sebuah fakta bisnis biasa, dimana harga apartemen Taman Rasuna lebih rendah dibanding dengan apartemen lain yang setaraf, karena Pemda DKI menjual tanah dengan harga yang agak miring kepada Kelompok Bakrie ? Apapun yang anda sebutkan, industri properti di Indonesia kelihatannya memasuki babak baru, memperkenalkan beberapa terobosan, ditengah masih menggebunya permintaan untuk tempat tinggal, disebuah kota mega, seperti Jakarta, yang pertambahan penduduknya, dua kali lipat pertambahan secara nasional. Industri properti adalah industri yang peka terhadap suhu perekonomian. Dia menghangat, bersamaan dengan panasnya suhu perekonomian, seperti yang terjadi di Indonesia pada 1990-1991, dan di Cina sekarang ini. Sebaliknya, bila terjadi resesi ekonomi seperti di AS dan Jepang, dimana resesi masih berlangsung, yang paling parah terpukul adalah sektor properti. Dimanapun juga , industri properti banyak mengandung unsur spekulasi. Karena itu lonjakan jatuh bangunnya, lebih tajam dibanding industri lain. Pada 1990-91, ekonomi Indonesia mengalami "boom", dimana kegiatan investasi meningkat pesat, dan pertumbuhan ekonomi mencapai puncaknya. Industri perbankan, yang baru saja mendapat tambahan deregulasi melakukan ekspansi besar besaran, dan berhasil meningkatkan mobilisasi dana dari masyarakat. Konsekwensinya, mereka harus bisa menyalurkan dana dananya, dan dalam situasi yang penuh persaingan, bank-bank banyak yang terpaksa mengobral kredit. Melonjaknya permintaan akan gedung perkantoran, menyebabkan tingkat hunian gedung-gedung kantor di Jakarta hampir mencapai 100%. Melihat keadaan ini, para developer didorong oleh dana dana lebih bank-bank memborong tanah-tanah yang masih kosong, teruma dilokasi yang strategis. Di Indonesia, dimana banyak sektor industri masih tertutup, dan praktek monopoli masih meluas, industri properti relatif terbuka untuk siapa saja, bagi yang punya nyali untuk memasukinya. Disini persaingan berjalan lebih wajar. Para pemain, harus lebih banyak mengandalkan kepintarannya dalam bersaing. Peran pasar sangat dominan. Sekali masuk, anda harus berani bertarung dengan kekuatan sendiri. Tak ada yang bisa menolong, dan anda tak bisa mengharapkan proteksi, fasilitas dan beking, yang mungkin bisa anda dapatkan untuk industri lain. Kekuasaan pemerintah, yang di industri lain bisa merusak persaingan, dalam industri properti terbatas pada pemberian ijin. Lewat dari situ, pemerintah tak bisa berbuat banyak untuk campur tangan dalam industri properti. Industri properti di Indonesia masih terus melaju, sekalipun tidak secepat dua tahun lalu. Wajah Jakarta dan kota-kota besar lain, masih terus berobah tiap hari dari kegiatan industri properti. Perumahan, dari rumah paling sederhana sampai rumah mewah masih terus bermunculan. Dan sebuah fenomena baru telah muncul. Melonjaknya pembangunan apartemen mewah terutama di Jakarta. Ini sebuah segmen baru, yang ikut meramaikan industri properti. Tanpa maraknya sektor apartemen mewah, industri properti mungkin akan terhuyung huyung seperti ruang perkantoran yang masih sarat dengan ruang yang masih kosong , yang belum laku. Dari satu segi, ramainya bisnis apartemen dan perumahan, menunjukkan masih besarnya daya beli kelas menengah keatas. Kebutuhan mereka terhadap rumah kedua, yang terletak diluar kota, apalagi dekat lapangan golf, dengan cepat bisa dipenuhi oleh developer yang memang jeli melihat adanya hasrat yang tertekan selama ini. Meningkatnya jumlah tenaga ekspatriat, yang kurang senang tinggal di hotel, atau yang kurang senang kontrak rumah di Kebayoran atau Menteng, telah mendorong pembangunan apartemen mewah, dimana mereka bisa tinggal dengan nyaman, dan dengan fasilitas yang tak kalah dengan rumah biasa yang mereka kontrak selama ini. Dilain pihak, sektor gedung perkantoran dan hotel, umumnya masih menghadapi masalah kelebihan supplai. Tarip sewa kantor di daerah Segi Tiga Emas di Jakarta (Jl. Sudirman, Gatot Subroto, Thamrin ) saat ini turun 20% dari tarip dua tahun lalu. Dengan tarip serendah itupun, masih banyak gedung yang kosong. Developer gedung ini harus menunggu samapai 1996, saat diperkirakan akan terjadinya keseimbangan antara supplai dan permintaan. Sementara itu, sebuah terobosan dilakukan beberapa developer untuk menjaring konsumen. Mereka menjual ruang gedung perkantoran. Satu kiat yang didasari oleh satu undang undang yang mulanya diperuntukkan untuk penjualan rumah susun, satu program pemerintah untuk mengurangi daerah kumuh di kota kota. Industri properti boleh jatuh bangun, tapi supplai yang tidak elastis akan mengakibatkan permintaan akan selalu lebih tinggi dari persediaan. Dalam jangka panjang, industri ini, khususnya di Jakarta akan tetap menarik. Jumlah rumah yang dibangun developer, terus ketinggalan dari yang diminta. Permintaan tak hanya datang dari pertambahan penduduk. Yang sudah mempunyai rumah juga masih ingin punya rumah lagi, kalau bisa diluar kota. Kelebihan daya beli, dan makin sumpeknya Jakarta, telah menciptakan sebuah gaya hidup dan selera. Model Rumah dan Gaya Hidup Kondisi fisik kota-kota dan munculnya gaya hidup yang baru, menimbulkan peningkatan permintaan terhadap rumah yang khas. Ketika berlangsung pameran perumahan di ruang sidang Hilton beberapa waktu lalu di Jakarta, dalam waktu seminggu terjual 2000 unit yang terdiri dari meliputi rumah, rukjo, apartemen, dan kaveling, dengan nilai transaksi Rp 205 miliar, atau hampir Rp 30 miliar sehari. Bahwa permintaan rumah masih kuat, semua orang mengetahuinya. Tingkat pertambahan supplai masih jauh ketinggalan dari jumlah pertambahan penduduk. Tapi fenomena yang baru muncul adalah kuatnya permintaan terhadap apartemen, terutama apartemen mewah dan kondomonium. Pembangunan apartemen mewah, bagi beberapa developer semula hanya merupakan eksperimen. Faktor kultural, bahwa orang Indonesia tidak betah tinggal di apartemen, dan lebih betah tinggal di rumah tinggal biasa, menyebarkan ketidak pastian prospek bisnis ini. Karena itu banyak yang terkejut, ketika melihat bisnis apartemen mewah meledak di Jakarta pada 1992. Mereka yang telah berani mengambil risiko terjun ke bisnis ini, bagaikan penambang yang menemukan tambang emas. Beberapa developer, berhasil menjual apartemennya, dalam keadaan proyek belum selesai.Bahkan yang masih berupa gambarpun sudah laku terjual. PT Procon Indah, salah satu agen penjualan apartemen ini, tak jarang menerima seratus telepon sehari dari para calon pembeli. Meledaknya penjualan apartemen mewah membuka mata para developer, bahwa sebuah perobahan sedang berlangsung di industri properti di Jakarta. Pembangunan apartemen selama ini tidak pernah dipikirkan serius karena adanya asumsi pada tradisi, dan nilai kultural.Tapi dengan perkembangan cepat yang terjadi di Jakarta, para developer mulai yakin bahwa golongan menengah dan atas yang makin mengalami kesulitan mencari tempat tinggal yang memadai, akan dipaksa menembus hambatan kultural. Lalu lintas di Jakarta yang makin semrawut akan memaksa mereka mencari lokasi tempat tinggal yang praktis, yang tak terlalu jauh dari tempat bekerja. Mereka telah menderita dari kemacetan lalu lintas yang melelahkan dan menegangkan. Satu hal yang bisa menimbulkan "stress" dan mengakibatkan penurunan produktivitas. Semula, pembangunan apartemen terpusat di kawasan Jakarta Selatan, karena disinilah sebagian besar para eksekutip dan golongan profesional, domestik dan asing bertempat tinggal. Tapi kemudian, pembangunan apartemen ini menyebar ke daerah lain. Daerah bisnis "Chinatown", seperti Mangga Dua, Pasar baru, Pecenongan, mulai menandingi dominasi Jakarta Selatan. Berbeda dengan Jakarta Selatan, daerah ini dekat dengan kawasan bisnis. Didaerah ini, kelompok perusahaan Agung Sedayu sedang membangun apartemen Sea View Park. Kelompok Sinar Mas, akan hadir dengan apartemen Mangga Dua Court dan Green View. Di Juanda sudah muncul Juanda Regency. Di Jakarta Barat akan hadir Westwood Tower dan Meruya Grand Villa. Jakarta Timur akan memiliki Kelapa Gading Apartment. Dan dikawasan Menteng sudah hadir Menteng Park Apartment. Namun kekuatan dibelakang meledaknya pasar apartemen mewah adalah pembeli, yang melakukan investasi dengan harapan memperoleh imbalan yang merarik. Mereka membeli apartemen untuk disewakan lagi, syukur bisa disewakan kepada orang -orang asing. Jaman orang-orang asing mengontrak rumah di daerah Menteng atau Kebayoran nampaknya makin berlalu. Apartemen memberi sesuatu yang lebih menarik kepada orang-orang asing ini. Fasilitas pokok, seperti listrik, telepon, dan keamanan lebih terjamin. Beberapa apartemen juga memberi fasilitas olahraga. Kuatnya permintaan untuk menyewa apartemen, tentu saja menyebabkan tingkat sewa dan tingkat hunian cukup tinggi. Para developer umumnya menikmati tingkat hunian 90-95% sekarang ini. Ini lebih tinggi dari tingkat hunian yang dicapai gedung perkantoran.Tergantung dari kualitas dan lokasi, tarip sewa apartemen sekitar $ 19- $27 per meter pesegi per bulan. Tarip ini lebih tinggi dibanding tarip sewa kantor yang rata rata berkisar $ 13-$15 per mp per bulan.Tarip sewa sekarang ini dilaporkan 15% lebih tinggi dari tarip tahun lalu, yang merupakan indikasi masih kuatnya permintaan sewa apartemen. Di Palm Court, misalnya, apartemen yang terletak dekat Senayan, anda harus membayar $ 2850 untuk menyewa apartemen satu kamar, satu bulan, untuk masa sewa dua tahun. Tahun lalu sekitar 360 unit apartemen masuk pasar. Tahun 1993 ini, jumlah yang selesai untuk dipasok ke pasar naik sekitar 630 unit, tapi jumlah ini diperkirakan belum cukup untuk memenuhi pertambahan permintaan. Baru tahun depan, pasar apartemen mungkin akan melemah, karena jumlah apartemen yang selesai dibangun cukup besar. Menurut survei yang dilakukan Jones Lang Wooten, pada 1994 nanti, jumlah apartemen yang selesai akan mencapai 2575 unit, dan tahun berikutnya akan selesai 640 unit. Hal baru yang muncul dari bisnis apartemen ini adalah timbulnya sistim jual (strata title), yang mungkin muncul tanpa sengaja. Developer, yang waktu itu menanggung beban bunga pinjaman bank 23-25% harus segera memperoleh penghasilan dari unit yang dibangunnya untuk mengurangi beban bunga ini. Bahkan ketika kebijaksanaan kredit ketat (TMP) diberlakukan, suku bunga untuk beberapa saat sempat mencapai 34%. Sistim penjualan ini dimulai pada 1991, ketika 17 proyek terdiri dari 3200 unit menawarkan untuk menjual apartemen yang selesai dibangunnya. Harga yang ditawarkan, memang diatas jangkauan golongan menengah. Disamping itu, sejumlah 1500 unit dilaporkan terjual dari Juanda Regency dan Palace View, didaerah kota, dan dari Emerald apartment, Nash Imperial, Parkway Apartment yang terletak dijalan arteri, Seaview Apartment di Mangga Dua, dan Park View Apartment di Slipi. Bagi developer, sistim menjual apartemen merupakan cara yang tercepat untuk memperoleh pengembalian. Atas dasar kalkulasi harga jual yang direalisir, investor mempunyai kesempatan untuk memperoleh tingkat perolehan 9-11% per tahun, sedang jangka waktu kembali modal ("pay back period ") diperkirakan hanya 3 tahun. Sebenarnya sistim penjualan (strata title sale) memperoleh peluang dari UU No 16/1985 tentang rumah susun, dan diperinci lagi dalam peraturan pemerintah nomor 4 /1988. Dalam peraturan ini disebutkan bahwa memiliki satu unit rumah susun, sudah dianggap memiliki hak atas tanah seluas bangunan rumah susun tersebut. Dan kepada pemilik bisa diberikan sertifikat. Yang menarik adalah bahwa sertifikat ini statusnya sama dengan sertifikat rumah biasa, dan bisa dijadikan agunan untuk mendapatkan kredit dari bank. Meningkatnya sistim penjualan ini juga didorong unsur spekulasi. Pembeli hanya membayar sekitar 10% uang muka, sisanya dengan kredit untuk jangka waktu selama pembangunan proyek. Surat pembelian ini bisa dijual lagi ke pihak lain, dan untuk beberapa saat, karena menghangatnya spekulasi, uang muka Rp 5 juta, bisa dijual Rp 6 juta, yang berarti keuntungan 20%, hanya dalam satu atau dua bulan. Faktor lain yang membantu perkembangan pasar apartemen ini berasal dari kondisi makro ekonomi. Suku bunga deposito makin turun, dan makin kurang menarik. Suku bunga deposito, sekarang ini rata rata hanya 12-13%. Dengan inflasi yang diperkirakan tahun ini sekitar 6-7%, berarti pemilik uang menerima bunga riil sekitar 6-7%. Itulah sebanya, sektor properti mulai menarik minat para investor. Penggunaan sistim jual (strata title sale) ini, diperkirakan akan berkembang lagi bila orang asing diperkenankan untuk memiliki tanah dan bangunan seperti di Singapura. Sekarang ini, orang asing tidak bisa mempunyai hak milik tanah dan bangunan. Mereka hanya bisa menyewa. Beberapa lobi memang sudah dilakukan untuk meninjau kembali peraturan ini, sekalipun realisasinya akan makan waktu yang lama sekali, karena seperti kepemilikan tanah, misalnya, akan menyangkut pengubahan UU Pokok Agraria 1960. Para developer mengharapkan pemerintah bertindak cepat untuk menghapuskan larangan kepemilikan asing ini. Sebab kalau tidak, jumlah apartemen yang akan membanjir tahun depan, akan menekan harga jual. Nampaknya para developer sudah memperkirakan gejala melemahnya pasaran apartemen ini. Karena itu, sudah ada beberapa developer seperti Pavilion Park, Marina Towers, Menteng Park Apartment, Metro Sunter Apartement sudah memberikan potongan sekitar 20- 50 %. Persaingan akan bertambah sengit, dan para developer harus menambah daya tarik buat calon pembeli. Pada saat itu, bukan tidak mungkin, sektor apartemen, akan menghadapi situasi yang sama dengan yang dihadapi sektor gedung perkantoran. Dalam enam bulan pertama 1993, supplai apartemen bertambah dengan 333 unit termasuk Le Cristal ( Tower 2 ), 180 unit, Mampang Arcadia Apartemen, 57 unit, Permata Hijau Townhouses, 51 unit, dan Botanic Grove ,45 unit. Sementara itu, bila proyek-proyek yang dibangun selesai pada 1994 dan 1995, akan menambah jumlah apartemen dengan 5800 unit, atau pertambahan 50% dari jumlah yang ada pada Desember 1992. Disektor persewaan, dengan bertambahnya supplai, tingkat hunian turun 3% menjadi 91%. Survei Pasar Properti untuk Juli 1993 yang diterbitkan PT Procon Indah/JLW mengungkapkan bahwa selama semester satu 1993, sejumlah 250 unit laku disewa, 30% diantaranya berasal dari sewa ekspatriat. tapi dengan menurunnya menurunnya penurunan modal baik PMDN maupun PMA tahun ini, permintaan ekspatriat terhadap apartemen akan berkurang. Dilain pihak, semangat pembeli yang menggebu tahun lalu nampaknya mulai mereda, ketika mereka mulai menyadari berbagai masalah hukum yang timbul, seperti ijin bangunan yang harus dipisah, apakah harus diselesaikan sebelum atau sesudah transaksi. Tapi pengaruh ini mungkin akan dinetralisir, dengan bertambahnya likwiditas bank, dan turunnya suku bunga. Tunggu sampai 1996 Sektor perkantoran masih sarat dengan kelebihan suplay. Perkembangannya karena itu paling seret dibandingkan dengan sektor lain. Perkembangan bisnis gedung perkantoran masih memberi gambaran yang agak kontras. Disatu pihak, kelebihan ruang kantor masih berlangsung, dan tarip sewapun sudah diobral. Dilain pihak, pembangunan gedung-gedung perkantoran masih terus berlangsung, sekalipun jumlah ruang yang ditawarkan , tidak sebanyak tahun tahun sebelumnya. Apabila semua developer, menyelesaikan jumlah bangunan seperti yang direncanakan, maka Jakarta akan banjir ruang kantor sampai 1996. Tapi ini tak akan terjadi. Kesulitan dana akibat kebijaksanaan uang ketat, dan kurangnya permintaan, akan memaksa beberapa developer mengurangi kegiatannya. Tarip sewa kantor sekarang ini rata rata $13-$15 per meter pesegi satu bulan. Ini jauh dibawah $ 25 , yang terjadi pada 1990-91, ketika permintaan ruang kantor mencapai puncaknya, akibat "boom" investasi di Indonesia. Bahkan ada beberapa gedung yang menawarkan tarip lebih rendah, karena kualitas yang lebih rendah, lokasi yang kurang menarik, dan juga karena ketatnya persaingan. Salah satu akibat positip dari jatuhnya tarip sewa ini adalah banyak perusahaan yang semula merencanakan untuk pindah lokasi karena kontrak sewanya sudah habis, berobah pikiran, dan memutuskan untuk memperpanjang masa sewa, hingga tidak mengurangi tingkat hunian gedung . Dengan masih adanya kelebihan ruang kantor sekitar 200.000 meter pesegi atau 20% dari jumlah ruang yang tersedia, maka tarip yang rendah ini diperkirakan akan terus berlangsung untuk beberapa tahun lagi. Tahun lalu, jumlah ruang kantor yang masuk pasar mencapai jumnlah rekor 316.000, dengan selesainya beberapa pembangunan gedung, diantaranya, New Summitmas (20.500 mp), Ariobimo Central (20.000 mp), Kodel House (16400 mp), dan Permata Plaza (13300 mp). Tingkat hunian tidak merata, karena beberapa gedung, masih mempunyai banyak ruang yang kosong belum laku, sementara beberapa gedung sudah seluruhnya laku disewa. Gedung perkantoran lama didaerah Segi Tiga Emas umumnya mempunyai tingkat hunian yang cukup tinggi , 85-90%, bahkan beberapa gedung seperti gedung BNI, Wisma Nusantara, dan World Trade Center sudah 100% dihuni. Sedangkan gedung-gedung yang baru selesai umumnya masih 40-60% terhuni. Jumlah ruang kantor yang akan selesai pada 1993 menurut Procon Imdah/JLW berjumlah 168.000 mp, pada 1994, 156.000 mp dan 133.000 mp pada 1995. Beberapa proyek yang akan selesai pada 1993 diantaranya adalah Niaga Tower, milik Bank Niaga, dijalan Sudirman, dengan jumlah ruang 55.000 mp. Gedung 27 tingkat ini, sekarang sudah mencapai tingkat hunian 85%, termasuk 40% digunakan oleh Bank Niaga sendiri. Gedung yang dirancang oleh arsitek Kohn Pedersen Fox Associates, perancang gedung Proctor & Gamble di Cincinati, AS, merupakan salah satu gedung yang tidak dijual, tapi disewakan. Beberapa gedung lain yang akan selesai adalah Gedung Bank Bali (36.000 mp), Wisma Eka Life, milik Sinar Mas grup (33.500 mp) , BCD Tower (27800 mp) dan Sudirman Tower, milik grup Lippo (20.000 mp). Pada 1994, jika pembangunan berjalan sesuai jadwal, beberapa proyek "raksasa" akan selesai, diantaranya adalah Bapindo Tower, unit kedua, yang dikelelola oleh Duta Anggada ( 98.500 mp) dan Senayan Square milik Era Persada ( 81.800 mp). Pada tahun-tahun berikutnya Jakarta akan menyaksikan selesainya pembangunan beberapa proyek raksasa, seperti Sudirman Square (95.000 mp), BNI City ( 90.000 mp), perluasan Chase Plaza ( 117200 mp) oleh Duta Anggada, dan Kuningan Superblock (95.000 mp) milik grup Salim. Menurut Colliers Jardine, permintaan kantor mencapai tingkat tertinggi pada 1992, dengan jumlah pengambilan 248.000 mp. Jumlah permintaan ini diperkirakan akan menurun menjadi 177.000 mp tahun ini, dan jumlah ini tak akan meningkat banyak sampai 1996, sekitar 190.000 mp. Pada 1992, kelebihan pemasokan mencapai tingkat tertinggi 13%. Berkurangnya pemasokan pada tahun-tahun berikutnya akan mengurangi kelebihan pasok ini menjadi 10% tahun ini, dan turun lagi menjadi 5% pada 1995. Pada 1996, diperkirakan akan terjadi keseimbangan, dan jumlah kelebihan pasok hanya sekitar 1%. Tarip sewa kantor sekarang ini diperkirakan sudah mencapai titik dasar. Didaerah Segi Tiga Emas Jakarta, para pemilik gedung perkantoran tak akan bisa menaikkan tarip sewa dari $13-$15 sekarang ini, sekalipun mereka menghadapi kenaikan biaya biaya operasional, dengan meningkatnya harga barang dan jasa. Tapi bagi proyek-proyek yang membeli tanahnya pada 1992, akan mengalami keuntungan dari turunnya harga tanah, hingga menekan biaya investasi. Harga tanah di jakarta mencapai puncaknya pada 1990, tapi dengan melemahnya bisnis properti, harga tanah juga ikut turun. Antara 1989, harga tanah melonjak 3 kali lipat, ketika praktek para calo tanah melakukan spekulasi meluas. Harga tanah sangat tidak normal, dan tidak mencerminkan nilai riil pasarnya. Harga tanah di jalan Sudirman pada 1990 mencapai puncaknya dengan harga $ 3500 per mp, sekalipun kemudian turun menjadi $ 3200 pada 1991 dan $ 3000 pada 1992. Didaerah Kuningan, harga tanah pada 1990 mencapai $ 2500 per mp, tapi sekarang harga sekitar $ 2000 per mp. Tarip sewa diperkirakan akan bergerak naik lagi pertengahan 1994, dan akan mencapai puncaknya pada 1996, menurut Colliers Jardine. Beberapa lembaga riset properti meramalkan terjadinya "boom" bisnis perkantoran . Pada saat itu, pertambahan supplai berjumlah 180.000 mp, tapi jumlah permintaan 220.000 mp. Tingkat hunian akan meningkat menjadi 93%, dan tarip sewa diperkirakan bisa naik sampai $ 23 per mp. Karena untuk membangun tingkat tinggi, biasanya diperlukan waktu 24 bulan, maka pembangunan yang dimulai sekarang dan tahun depan akan pas dengan saat mulai ramainya bisnis perkantoran. Tb TINGKAT HUNIAN BEBERAPA GEDUNG PERKANTORAN DI JAKARTA JUNI 1993 A. JALAN JENDRAL SUDIRMAN SUMIMITMAS TOWER 93% NEW SUMMIT MAS 48% BRI TOWER I 100% BRI TOWER II 79% WORLD TRADE CENTRE 99% WISMA BANK DHARMALA 92% LIPPO PLAZA 98% TAMARA CENTRE 100% LANDMARK CENTRE I 99% LANDMARK CENTRE II 89% GEDUNG BNI 93% B. JALAN GATOT SUBROTO MULIA TOWER 87% KANINDO PLAZA 87% C. KUNINGAN KODEL HOUSE 50% SAMPOERNA PLAZA 97% MULIA CENTRE 77% BINA MULIA I 100% BINA MULIA II 100% ARIO BIMO CENTRAL 89% WISMA PUNCAK 61% Menyewa Atau Membeli Diperkenalkannya sistem penjualan ''Strata Title Sale'' ikut mendorong penjualan. Tapi sistem ini masih menimbulkan beberapa pertanyaan. Sistem penjualan gedung perkantoran ("Strata Title Sale") yang dilakukan beberapa developer belakangan ini merupakan sebuah fenomena baru yang penuh sensasi. Ini sebuah terobosan baru, ditengah masih lesunya bisnis sewa perkantoran yang masih menekan tarip sewa. Industri properti terbelalak matanya, ketika Sudirman Tower ditawarkan untuk dijual oleh pemiliknya PT Lippoland Development. Dalam waktu tiga bulan sejak peluncurannya pada Oktober 1992, 80% ruangnya laku terjual dengan harga bervariasi antara $ 2600 - $ 3000 per mp. Melihat keberhasilan yang tak diduga ini, beberapa developer lain segera mengikuti jejak. Times Square, sebuah gedung perkantoran di Jalan Rasuna Said milik grup Kalbe Farma dan Indorama, dalam masa pra-pemasaran laku 40%, dengan harga sekitar $ 2100 per mp. Century Center, dijalan Gatot Subroto milik grup Kanindo dan Yasonta pada malam peluncurannya, laku 80%. PT Procon Indah yang memasarkan Times Square menerima permintaan puluhan developer lain untuk menjualkan gedung-gedungnya. Sadar bahwa sistim penjualan ini masih baru, dan bisa menekan harga bila penawaran dilakukan terlalu cepat pada saat bersamaan, Procon Indah menasehatkan agar para developer ini tak buru-buru memasuki pasaran ini. Kalangan industri properti sendiri nampaknya masih ragu ragu tentang ampuhnya sistim STS. Mereka belum yakin bahwa sistim ini, bila dipakai meluas oleh developer lain, bisa merupakan obat yang merangsang bagi bagi pemulihan bisnis perkantoran. Keberhasilan STS di masa awal, belum menjamin bahwa sistim tersebut merupakan gelombang masa depan. Dan tidak semua yang menggunakan sistim STS berhasil. Kanindo Plaza yang menawarkan 11 lantai perkantorannya untuk dijual, sejauh ini baru berhasil menjual satu lantai. Keraguan terhadap sistim ini muncul, karena perhitungan matematis nilai perolehan bagi pembeli yang melakukan investasi masih belum meyakinkan. Ambillah contoh untuk pembeli ruang Sudirman Tower dengan harga $ 2600 per mp. Bila pembeli menyewakan ruang kantor yang dibelinya, dengan tarip $ 15 per mp per bulan, maka dia harus menunggu 15 tahun sebelum modal pokoknya kembali. Times Square menarik minat pembeli dengan sistim "ballon payments"dengan syarat yang ringan. Dengan sistim ini, pembeli hanya membayar 25% uang muka. Untuk pembayaran sisanya yang 75%, pembeli dapat memperoleh pinjaman dalam US$ dengan bunga 10% per tahun. Pembeli dibebaskan dari pembayaran cicilan pokok selama enam tahun. Dengan sistim inipun, ada dua risiko yang dihadapi pembeli. Pertama, bila suku bunga US dolar turun, maka dia akan rugi bunga, karena suku bunga yang dibayarnya tetap. Kedua, bila penghasilan pembeli dalam rupiah maka dia rawan terhadap perobahan kurs. Bagi developer, sistim STS menghasilkan uang tunai dengan cepat.Sistim sewa memberi masalah, karena dengan rendahnya tarip sewa sekarang ini, aliran kas tidak memadai dibanding dengan jumlah pembayaran kredit kepada bank. Dalam situasi dimana dana dari bank masih mahal, developer lebih menghargai aliran tunai yang cepat, sekalipun dengan keuntungan yang kurang. Bagi bank sendiri, sistim STS yang mempercepat arus uang, lebih disukai karena berarti bank bisa menghindarkan pemberian pinjaman jangka panjang yang penuh risiko. Sistim STS memungkinkan bank untuk mengkemas paket kreditnya sebagai kredit jangka pendek. Dari segi hukum, sistim STS memang dimungkinkan dengan ditetapkannya Undang Undang Rumah Susun (UURS) pada 1985.Oleh UU in, lembaga "Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun"memang diciptakan berdasarkan pengertian "strata title". Sedangkan yang dimaksud dengan rumah susun sebenarnya adalah bangunan bertingkat yang fungsinya bisa untuk hunian dan non-hunian. Non-hunian bisa meliputi, perkantoran dan pertokoan. Bagian dari bangunan rumah susun tersebut dapat distrukturkan untuk bisa dimiliki secara terpisah. Sekalipun pemilikannya terpisah, tapi sebenarnya mengandung hal-hal yang dimiliki secara bersama seperti tanah bersama, dan bagian-bagian bangunan seperti atap bangunan, dinding, pagar, tangga, eskalator , lift, ruang parkir, dan juga taman. Bagaimana dengan sertifikat? Sertifikat Satuan Rumah Susun (SRS) terdiri dari salinan buku tanah, dan surat ukur atas hak tanah bersama, gambar denah rumah susun yang dimiliki, serta perincian mengenai besarnya bagian, hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama. Sifat kepemilikan sertifikat ini sama dengan sifat kepemilikan aset lain. Hak milik ini dapat diwariskan, dan dialihkan. Tapi bila hak milik ini diajukan sebagai agunan untuk mendapatkan kredit bank, masih merupakan tanda tanya. Bila timbul masalah, bank masih belum yakin bagaimana menghadapi unsur kepemilikan bersama dalam sertifikat tersebut. Dengan demikian, sekalipun dasar hukum hak milik tersebut cukup kuat, bank tidak otomatis bisa menganggap sama dengan status hak milik rumah tinggal biasa. Kenalkan: Mall dan Plaza ''Mall dan Plaza'', bukan sekedar tempat berbelanja lagi. Developer harus jeli melihat apa yang diharapkan pengunjung. Bisnis pembangunan pusat perbelanjaan (retail) makin menghadapi tuntutan konsumen kelas menengah yang kian meningkat, sehubungan dengan meningkatnya pendapatan dan perobahan selera. Konsep pembangunan pusat retail dengan sendirinya juga berobah. Para developer yang membangun dan lalu menawarkan kompleks perbelanjaan harus menyadari bahwa kompleks yang dibangunnya bukan sekadar tempat belanja. Kompleksnya harus nyaman, menyediakan berbagai keperluan barang dan jasa, ada tempat hiburan seperti bioskop dan permainan anak, dan -- buat Jakarta ini penting, -- tempat parkir yang luas dan enak. Barulah, orang diharapkan berduyun duyun mendatangi kompleks perbelanjaan tersebut. Supplai ruang bisnis eceran mencapai puncaknya pada 1991, ketika 105.000 meter pesegi (mp) masuk pasaran. Tapi ini tidak menurunkan tingkat hunian. Tingkat hunian malah naik pada 1992 menjadi 90%. Pada akhir tahun, tingkat hunian turun 2% dengan bertambahnya supplai 90.000 mp, pada saat ekonomi masih lesu. Dalam waktu dekat akan selesai pembangunan 3 "mall" yang akan menambah supplai menjadi 155.000 mp, dan menurut Procon Indah, ini bisa menurunkan tingkat hunian menjadi 70%, sekalipun menurut Colliers Jardine, tingkat hunian ini akan naik lagi pada 1994. Dari 3 "mall" yang akan rampung itu, dua diantara cukup besar, yaitu Citraland di Grogol, dan Pondok Gede Mall di Jakarta Timur. Perkembangan pembangunan pusat perbelanjaan menyebar, mengikuti arah perkembangan kompleks-kompleks perumahan. Disinilah kelas menengah bertempat tinggal. Disamping itu, banyak diantara mereka yang sudah melunasi cicilan utang rumahnya, hingga sisa penghasilan yang tersedia untuk dibelanjakan meningkat. Dengan demikian, kenaikan daya beli golongan menengah ini akan merupakan sumber yang potensial untuk digali. Mereka merupakan sasaran yang tak bisa diabaikan buat pusat perbelanjaan. Dulu pembangunan pusat-pusat pertokoan terpusat di apa yang disebut "Central Business District, CBD ", pusat -pusat daerah bisnis, seperti Glodok, Senen, Jatinegara. Tapi sekarang perkembangan pembangunan pusat perbelanjaan di daerah ini makin kurang menarik. Komplek pertokon Atrium didaerah Segitiga Senen misalnya, sampai sekarang belum sepenuhnya terisi. Disamping lokasi yang kurang mendukung, karena lalu lintas tidak memberi kenyamanan buat pengunjung, daerah pemukiman disekitar Senen merupakan daerah kelas bawah. Karena itu, bisa dimengerti kalau pembangunan pusat pertokoan sebagian besar berlangsung di daerah daerah pinggiran yang sedang tumbuh dengan cepat. Pertumbuhan yang cepat juga terjadi di kota kota satelit sekitar Jakarta seperti Bekasi dan Tanggerang dua kota yang sudah tumbuh menjadi sentra industri dan pemukiman. Di Bekasi misalnya akan hadir Metropolitan Mall yang cukup megah (83.000 mp). Menurut data yang dikumpulkan Colliers Jardine, dalam enam tahun terakhir ini, supplai ruang pusat perbelanjaan naik dari 29.000 mp menjadi sekitar 308.000 mp. Tapi tingkat pertumbuhan di daerah suburban adalah enam kali tingkat pertumbuhan di daerah CBD. Bagi developer yang membangunan pusat perbelanjaan ada beberapa hal yang mesti diperhatikan untuk menjamin keberhasilan. Yang pertama adalah pentingnya mendapatkan "anchor tenant", penyewa utama, yang mempunyai nama atau merek yang dikenal, dan yang menyewa ruang cukup luas. Penyewa utama ini diperlukan bukan saja untuk meningkatkan prestige pusat perbelanjaan, tapi juga perlu untuk menarik penyewa penyewa lain. Yang kedua, adalah potensi lahan yang akan dilayani ( "catchment area"). Sekalipun arus pembangunan pusat perbelanjaan mengikuti arah pembangunan perumahan, namun ternyata masih ada daerah daerah hunian yang dilewatkan, padahal daerah ini belum cukup dilayani oleh pusat pusat pertokoan yang ada. Ketika Arion Plaza 1 membangunan kompleks pertokoan di jalan Pemuda, Jakarta Timur, banyak yang merasa skeptis bahwa proyek ini akan laku. Tapi ternyata dalam waktu singkat plaza tersebut mencapai tingkat hunia 100%. Dan ketika Arion Plaza 2 dibangun, proyeknya laku pesat sekalipun belum seluruhnya selesai. Proyek ini berhasil menyewakan dengan tarip $ 25 per mp per bulan. Dibandingkan dengan tarip sewa kantor dan sewa apartemen, tarip yang diperoleh dari menyewakan ruang bisnis eceran lebih menarik. Dilokasi yang cukup bergengsi, taripnya berkisar antara $ 35 - $ 65 per mp per bulan untuk lantai dasar, sedang dilokasi yang kurang menarik, taripnya adalah $ 20-$30 per mp. Para developer umumnya minta perjanjian sewa menyewa untuk tiga tahun. Beberapa developer mencoba untuk menerapkan sistim persetase tertentu dari omset, yang umumnya dikenakan terhadap penyewa utama. Prospek akan adanya kenaikan tarip sewa nampaknya tak akan terjadi dalam waktu dekat ini, mengingat masih berimbangnya supplai ruangan dan permintaan. Tingginya tarip sewa yang terjadi telah mendorong beberapa perusahaan eceran yang beken untuk terjun dibidang properti. Hero, misalnya sudah membangun beberapa pusat pertokoannya sendiri, seperti yang mereka lakukan di jalan Gatot Subroto, di Ciledug, dan di Bekasi. Matahari, juga merencanakan untuk membangun kompleks pertokoannya sendiri. Karena investasi yang diperlukan sangat besar, jelas, perusahaan eceran yang kecil tak akan bisa mengikuti jejak saingannya yang lebih besar ini. Satu hal yang masih melegakan para developer pusat perbelanjaan adalah masih dilarangnya pengusaha asing memasuki bisnis retail.Keterlibatan mereka masih dibatasi dalam bentuk kerja sama manajemen dan tehnis. Kehadiran beberapa pengusaha luar negeri yang beken, seperti Soho, Yaohan, Makro, dan mungkin sebentar lagi Isetan masih terbatas pada pola kerja sama semacam ini. Kalau modal asing dibolehkan memasuki bisnis eceran, maka persaingan akan makin ketat. Persaingan diantara sesama pengusaha domestik sendiri sudah terasa ketat. Keberhasilan Pondok Indah Mall, pusat perbelanjaan yang mewah dikawasan Pondok Indah, telah membuka mata developer lain tentang konsep pembangunan pusat perbelanjaan yang berhasil. Dalam waktu dekat, Pondok Indah Mall telah menyedot ribuan pembelanja setiap minggu. Kehadirannya telah menyedot pengunjung yang semula merupakan pengunung tetap kompleks pertokoan lain yang bergengsi seperti Ratu Plaza di Jalan Sudirman, dan Melawai Plaza di jalan Melawai. Dilain pihak, keberhasilan Pondok Indah Mall telah mendorong pembangunan kompleks pertokoan didaerah lain, seperti Cipulir Plaza, Pondok Gede Plaza, BSD Plaza dan Modern Land. Kelas Menengah, Kurang Rumah Bel-Air adalah distrik dekat Los Angeles, yang terkenal dengan gaya arsitek rumah-rumahnya.Beverly Hills, kota yang berbatasan dengan Los Angeles, juga terkenal karena rumah-rumah tempat tinggal kelas elit yang gaya arsiteknya berciri "Anglo-Saxon". Tapi rumah-rumah di Bel-Air terkenal dengan gaya arsitek yang khas California, yang berbau "mediteranian". PT Dayabuana Swakarya, sebuah perusahaan properti sedang membangun "Bel-Air" dekat kota Bogor, sepuluh kilometer dari arena balap mobil Sentul. Pada malam peluncuran, 48 kaveling sudah terjual. Bila lengkap dengan bangunan, harga paling murah adalah Rp 400 juta. Apa yang dialami kompleks perumahan Bel- Air sudah menjadi cerita klasik industri properti di Jakarta belakangan ini. Pembeli berebut, mereka mau membayar uang muka, kavling sudah laku, padahal, tanah sedang diurug, dan bangunan masih berupa gambar. Dibalik berobahnya industri perumahan yang pasarnya menjadi milik penjual ( seller market), sejumlah perobahan memang sedang terjadi akibat perobahan yang terjadi dibidang ekonomi makro. Daya beli kalangan menengah dan atas di Indonesia terutama di Jakarta ternyata masih cukup besar. Sebaliknya, saluran investasi yang ada sekarang ini makin kurang menarik. Suku bunga deposito makin turun. Jual beli saham di Bursa Efek Jakarta masih rawan dengan risiko, karena peraturan yang belum sempurna. Tanah, merupakan lahan investasi yang menarik, tapi urusannya ruwet dan banyak risiko. Dengan demikian, pasaran rumah kelas menengah keatas yang semarak sekarang ini, merupakan akibat dari makin menurunnya daya tarik investasi disektor lain. Disamping itu beberapa faktor lain memang ikut berperan. Kawasan industri Jakarta-Bekasi dan Jakarta- Tangerang menjadi ajang perebutan para developer, karena industrialisasi yang berlangsung dikedua kawasan itu meningkatkan permintaan tempat tinggal. Puluhan komplek perumahan, beberapa diantaranya merupakan proyek mega, dan kota tersendiri, sedang dibangun oleh beberapa developer, termasuk developer yang merupakan bagian dari beberapa konglomerat. Disamping itu, tersedianya jalan tol dikawasan ini mempermudah akses lalu lintas ke Jakarta, sehingga jarak yang jauh tidak merupakan persoalan bagi penghuni perumahan didaerah ini. Beberapa riset memang menunjukkan adanya korelasi antara pembangunan kawasan industri dan kebutuhan perumahan. Korelasi ini tergantung dari derajat padat karya industri. Bila kawasan industri didominasi industri kimia, karena industri ini padat modal, dampaknya terhadap permintaan perumahan tidak begitu besar. Tapi bila sebagian besar industri yang ada dikawasan adalah industri garmen atau elektronik, maka kebutuhan akan perumahan cukup besar. Dari korelasi ini dapat diambil patokan, bahwa pembangunan tiap satu hektar kawasan industri akan memerlukan pembangunan perumahan antara 4 sampai 15 hektar. Disamping itu, ramainya pembelian rumah, mencerminkan kebutuhan bagi golongan menengah keatas untuk mempunyai rumah kedua diluar kota Jakarta, didaerah yang nyaman dan sepi. Sumpek dengan Jakarta yang hiruk pikuk, golongan ini katanya memerlukan rumah kedua, untuk "week end". Dan bagi mereka yang tinggal di apartemen, memiliki rumah kedua akan merupakan kompensasi, dari keterbatasan yang diberikan oleh apartemen. Sekarang ini jumlah yang tinggal di apartemen memang belum banyak, tapi jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah setiap tahun. Billabong Park View, adalah komplek perumahan di Parung, antara Jakarta-Bogor, yang merupakan salah satu perusahaan yang menangkap tren ini. Komplek yang dibangun oleh PT Misori Utama ini, sedang membangun lebih 300 unit rumah, diareal seluas 140 hektar. Konsep yang mereka gunakan adalah membangun rumah kebun. Kavlingnya terdiri dari 600 - 2500 mp, tapi luas rumah yang dibangun cuma 10-20%. Sisanya merupakan kebun, dengan segala macam tanaman, termasuk pohon buah buahan. Harganya diatas Rp 200 juta, dan dengan investasi Rp 75 miliar, PT Misori berharap bisa menerima kembali modal pada 1995. Belum cukup dengan daya tarik lingkungan kebun, PT Misori akan melengkapi kompleknya dengan lapangan golf, pusat kebugaran, dan lapangan olahraga. Ini adalah daya tarik yang mesti dibangun developer, bila ingin komoditinya cepat laku. Sejak dipasarkan pada Desember tahun lalu, lebih 50% rumah yang ditawarkan sudah laku. Henry Ongko, pemilik perusahaan ini mengharapkan akan menerima laba kotor antara Rp 13 miliar - Rp 22 miliar, tergantung jumlah sebenarnya yang terjual, atau sekitar 17-29% dari investasi. Apa yang dialami PT Misori merupakan gejala munculnya segmen pasar baru, yaitu keperluan adanya rumah kedua, yang istilah populernya dikalangan industri properti adalah rumah resor (resort home). Yang menjadi inceran developer untuk rumah resor ini bukan saja Bogor, tapi daerah yang lebih jauh dari Jakarta. Di Cipanas, lebih dari 20 developer sudah menyerbu untuk membangun rumah resor sejak 1991. Di kota ini bermunculan komplek perumahan resor seperti Green Aple Garden, Mountain Park Bungalow, Palm Garden, Green Hill Country Estate. Cipanas yang sudah padat dengan rumah resor itu sudah dijuluki Segitiga Cipanas, karena bentuknya memang segitiga. Akses jalan tol langsung ke Cipanas, kabarnya sedang disiapkan, bahkan status Cipanas, yang merupakan bagian dari kabupaten Cianjur ini akan dipromosikan menjadi kota administratip. Yang menjadi sasaran pembangunan rumah resor bukan saja daerah pegunungan Puncak. Daerah pantai juga sudah menjadi sasaran developer untuk membangun rumah resor. Pantai utara antara Jakarta-Tangerang dan antara Pandeglang-Carita, di kabupaten Banten sudah mulai ramai dengan pembangunan rumah-rumah resor. Didaerah ini, beberapa developer yang besar seperti Ciputra Grup dan Modern Group mulai mempertaruhkan investasinya dengan perhitungan, bahwa, bukan pegunungan saja yang menarik pemilik uang untuk memiliki rumah kedua, tapi daya tarik pantai, dan deburan ombaknya, tak kalah mempesona panorama pegunungan. Tapi, bisnis perumahan di Jakarta memang akan tetap ramai, selama faktor fundamental belum terpenuhi. Penduduk Jakarta, tiap tahun naik 4%, dua kali tingkat pertumbuhan penduduk secara nasional. Menurut perhitungan Ciputra, ini berarti kebutuhan rumah 200.000 unit tiap tahun. Untuk memenuhi kebutuhan ini, akan diperlukan investasi, dan upaya yang beberapa kali lipat dari yang mampu dikerjakan para developer sekarang ini. Ini berarti bahwa untuk beberapa waktu mendatang industri properti masih akan mengalami tekanan permintaan akan rumah tinggal. Perkembangan industri perumahan juga akan dipacu oleh tersedianya dana yang kian murah. Suku bunga untuk pembelian rumah, baik yang KPR maupun non-KPR makin turun. Bank-bank yang masih banjir likwiditas karena harus mengikuti prinsip kehati hatian (prudential banking practices), melihat bisnis perumahan sebagai lahan yang menarik untuk menyalurkan dananya. Risikonya, relatip kecil, karena didukung kepastian penghasilan pembeli rumah, dan didukung agunan yang jelas, yang berupa aktiva yang akan mengalami apresiasi nilai. Karena itulah pemberian KPR tidak lagi merupakan monopoli pemain lama seperti BTN dan Papan Sejahtera. Beberapa bank swasta terkemuka, seperti BII, BUN, Lippo , Unibank Bank Niaga dan Bank Bali telah terjun ke KPR. Bank Bali bahkan melihat peluang emas dari bisnis KPR ini, dan tak menutup kemungkinan, bisnis KPR akan merupakan salah satu bisnis intinya. Persaingan KPR menjadi lebih ramai lagi ketika Bank Bali menurunkan suku bunga KPRnya dari 20% menjadi 16,75%, untuk pembeli rumah yang membayar 40% uang muka. Ini akan merupakan pukulan buat BTN, pemain utama dalam bisnis KPR, karena pada saat yang sama suku bunga KPR BTN masih 19-20%. Bunga KPR Bank Bali akan lebih tinggi, bila jumlah uang muka lebih kecil dari 40%. Untuk mendukung langkahnya di KPR yang serius ini, Bank Bali memberi promosi yang cukup menarik, untuk menggaet para calon pembeli rumah dari bank-bank lain. Mereka akan menerima asuransi kebakaran cumu-cuma selama masa kredit, akan mendapat fasilitas "Automatic Teller Machine " (ATM) dan kartu kredit tanpa uang tahunan selama 3 tahun. Paket KPR yang diperkenalkan sebagai "Bali Home Plus " ini mempunyai jangka waktu 15 tahun. Untuk menghadapi langkah Bank Bali yang agresip dibidang KPR, Bank International Indonesia (BII) baru saja meluncurkan "KPR Ekspress. Dengan bunga 19%, persetujuan KPR ini, menurut Suryadi Purnama, Direktur Kredit BII, hanya memerlukan tiga puluh menit, bila syarat-syarat yang dipenuhi sudah lengkap. Sasaran BII dengan KPR Ekspressnya ini adalah kelas menengah ke bawah, terutama yang membeli rumah tipe T-70. Karena itu, batas kreditnya maksimal Rp 75 juta, dengan uang muka ('down payment") antara 10-20% dan masa pembayaran 10-20 tahun. Para developer lebih senang membangun rumah untuk golongan menengah -atas dari pada membangun rumah sangat sederhana (RSS), yang pembelinya golongan kelas bawah. Golongan ini hanya mampu membayar cicilan rumah Rp 30.000 sebulan. Karena itu sulit bagi developer untuk memasang harga yang tinggi. Padahal harga tanah terus naik. Karena itu, keuntungan developer dari membangun RSS kecil, sekalipun bunga untuk developer yang membangun RSS menerima subsidi yaitu 10%. Menurut beberapa developer, keuntungan membangun rumah untuk golongan menengah dan atas 4 sampai 10 kali membangun RSS. Tapi pemerintah tentu saja tak akan membiarkan semua developer lari ke pembangunan rumah buat rakyat menengah dan atas. Untuk mencegah para developer meninggalkan RSS, pemerintah mengeluarkan peraturan yang mengatur rasio jenis rumah yang dibangun developer. Rasio 1:3:6 harus dipenuhi para developer. Ini artinya, tiap developer membangun 1 rumah mewah, mereka harus membangun 3 rumah menengah, dan 6 rumag sederhana. Tapi peraturan ini nampaknya tak banyak dipatuhi oleh developer. Kelemahan birokrasi, dan makin ramainya kegiatan developer menyulitkan melakukan pengawasan terhadap peraturan ini. Dengan demikian Jakarta sudah dikelilingi kantong-kantong pemukiman yang terdiri dari komplek perumahan golongan menengah keatas. Disekitar Bogor, yang masih melimpah dengan bukit hijau beberapa komplek perumahan yang megah sedang dibangun. Bogor Lakeside, milik kelompok Aspac ,akan menawarkan 700-800 rumah yang dengan harga antara Rp 250 juta - Rp 750 juta. Sesuai dengan namanya, sebuah danau akan dibangun dekat komplek, disamping lapangan golf 18 holes. Agak keselatan, di Ciawi, Rancamaya Golf & Resort, sedang membangun 1200 unit rumah diatas lahan 350 ha. Kearah utara, di Cireurup, dekat arena balap mobil Sentul, PSP Group sedang membangun 1000 unit rumah diatas areal 250 ha yang akan juga dilengkapi dengan lapangan golf. Tak jauh dari situ, PT Karabha Digdaya, milik Judith Suryadjaya, puteri Willem Suryadjaya, juga sedang membangun kompleks perumahan yang eksklusif, yang dilengkapi dengan dua lapangan golf. Kearah utara lagi, di Cibubur, PT Pembangunan Perumahan akan menawarkan 250 unit rumah dengan harga diatas Rp 100 juta dalam komplek yang disebut Permata Puri. Di sebelah timur Jakarta, sekitar Bekasi, puluhan komplek perumahan mewah sedang dibangun. PT Wijaya Karya sudah hadir dengan dua komplek perumahan , Persada Kemala dan Persada Golf Garden yang masing meliputi areal 12 hektar. Harga rumah yang ditawarkan adalah Rp 60-Rp 250 juta, dan sebagian besar sudah terjual. Disana juga akan hadir Taman Modern, yang sedang dibangun Modernland. Komplek perumahan seluas 46 ha ini akan menawarkan rumahnya dengan harga sekitar Rp 90-Rp 300 juta. Juga akan berdiri komplek Pondok Pekayon Indah, milik Argha Indah Pratama, anak perusahaan Napan Grup. Diatas tanah 70 ha, mereka akan membangun 2700 rumah. Tapi komplek perumahan terbesar barangkali adalah komplek perumahan Kemang Pratama Regency. Komplek rumah mewah yang sebagian sudah selesai ini, merencanakan untuk membangun 5000 rumah. Harganya sekitar Rp 350 juta - Rp 1 miliar. Di Jakarta Barat, Intercom Enterprise sedang membangun komplek perumahan Taman Kebon Jeruk, yang akan ditawarkan dengan harga antara Rp 240 juta- Rp 2miliar. Kehadiran kelompok Ciputra nampaknya akan mendominasi Jakarta Barat. Lewat pembangunan Citra Garden, perusahaan ini akan menanam modal Rp 1,2 triliun untuk membangun 14.000 rumah diatas areal seluas 230 ha. Kearah selatan di Serpong, kelompok Ciputra yang sedang membangun proyek kolosal, Bumi Serpong Damai, juga sedang membangun komplek perumahan kelas atas, River Park View. Ini satu kiat BSB untuk mendongkrak penjualannya. BSB semula mengandalkan pemasaran rumah menengah kebawah, tapi citra yang terbentuk menghambat penjualannya. BSB kini menawarkan 209 kavling dengan 500 mp per kavlingnya dengan harga antara Rp 325.000 - Rp Rp 400.000 per mp, dengan tambahan fasilitas lapangan golf yang dirancang Jack Niklaus. Lebih ke barat lagi, di Pandeglang, PT Safiera Amalia mulai membangun 400 kavling untuk rumah resor, dimana 200 kavling diantaranya akan berada disekeliling sebuah lapangan golf yang akan dibangun. Tanah Ini Tanah Calo Tak mudah menggeser peran calo tanah. Gagasan untuk mendirikan ''bank tanah'' harus dilakukan dengan hati-hati. Developer, boleh memamerkan kekuatannya dengan kemegahan gedung apartemen, atau kompleks perumahan mewah yang dibangunnya. Tapi developer adalah sosok yang lemah dan tak berdaya dihadapan orang seperti Haji Hambali (bukan nama sebenarnya), jago tanah, yang merajai salah satu kawasan di Segi Tiga Emas, Jakarta. Profesinya, mengandung konotasi yang merendahkan, yaitu calo tanah. Tapi bagi rakyat di kawasan itu, Haji Hambali merupakan tokoh, yang kekuasaannya lebih besar dari Lurah, atau Ketua TR/RW. Dia mempunyai kekuasaan untuk menjual tanah milik rakyat, punya kekuasaan untuk membeli tanah dari mereka dengan harga yang ditentukan sendiri. Tak jarang dia hanya membayar rakyat pemilik tanah hanya dengan Rp 200.000 per mp, dan menjualnya ke developer dengan harga Rp 1,1 juta. Kalau yang dibebaskan dua sampai tiga hektar, anda bisa hitung sendiri, berapa ratus juta uang yang masuk kantong Haji Hambali. Untuk menjalankan profesinya itu, dia jelas punya anak buah dan kaki tangan. Dia punya beberapa mobil mewah. Seorang konglomerat ternama, pernah memberinya sebuah mobil BMW untuk "membereskan" tanah yang ingin dibebaskannya. Orang seperti Haji Hambali mempunyai jaringan informasi yang luas. Dia tahu, setiap ijin yang diperoleh developer, dan mempunyai informasi, kawasan mana yang akan menjadi sasaran developer. Mereka bergerak lebih cepat dari developer. Mereka membeli tanah rakyat sekitarnya. Tidak seluruhnya, hanya sebagian, dan hanya membayar uang muka. Tapi mereka memegang surat-suratnya. Percuma bagi developer untuk berhubungan langsung dengan rakyat pemilik tanah, karena mereka tak bisa membeli bagian tanah yang lain. Mereka terpaksa berhubungan dengan calo tanah. Bagi Enggartiasto Lukita , Dirut PT Bangun Tjipta Pratama, dan yang juga Ketua Real Estate Indonesia (REI), calo tanah memang merupakan kekuatan yang harus dihadapi. Menurut Enggartiasto, pendekatan yang paling baik bagi developer terhadap calo tanah adalah pendekatan yang akomodatif. "Lebih baik mereka dipelihara saja", katanya. Selama calo tanah masih merupakan bagian integral dari kegiatan industri properti, jangan berharap bahwa harga rumah atau gedung akan lebih rendah. Ide diadakannya Bank Tanah, dengan masih adanya kerancuan peraturan dan hukum yang menyangkut tanah, merupakan sesuatu yang masih jauh. Ide ini ingin adanya sebuah BUMN yang menyediakan tanah, hingga supplai dan harga tanah, sebagai komponen yang paling penting dalam industri properti mempunyai kepastian. Tapi dari mana BUMN ini memperoleh persediaan tanahnya ? Sebagian akan berasal dari tanah tanah milik negara, yang masih banyak diperkarakan dengan penghuni-penghuni yang menempatinya sekarang ini. Sebagian akan berasal dari tanah-tanah rakyat. Mungkin lewat satu mekanisme hukum dan perdagangan, seperti KUD dan Koperasi, rakyat pemilik tanah bisa menjual tanahnya ke lembaga pemerintah, seperti mereka menjual beras dan jagung -- tanpa rasa takut terhadap calo tanah. Tak usah ditegaskan lagi, betapa pentingnya pelaksanaan hukum disini. Kelebihan yang Berbintang Kegiatan bisnis dan jumlah wisatawan belum memerlukan jumlah kamar hotel yang sedang dibangun. Pembangunan hotel masih terus berlangsung sekalipun tingkat hunian terus menurun sejak 1990, terutama di Jakarta. Seperti developer gedung perkantoran, investor perhotelan, mencoba mengadu untung ditengah adanya kelebihan supply, dan berdoa bahwa ekonomi yang makin tumbuh akan meningkatkan jumlah wisatawan dan perjalan bisnis. Tingkat hunian hotel di Jakarta, turun dari 78,2% pada 1990 menjadi 62,3% pada 1992. Dan tingkat hunian yang rendah ini, masih terus berlangsung sampai tahun ini.Tingkat hunian ini memang tidak merata. Tingkat hunian hotel bintang tiga kebawah umumnya lebih baik dari tingkat hunian hotel bintang lima dan empat. Pada akhir 1992, Jakarta mempunyai 10.900, kamar hotel berbintang , naik 18% dari kamar yang tersedia pada 1990. Tahun lalu, beberapa hotel berbintang di Jakarta mengalami penurunan laba yang cukup besar. Laba Hotel Sahid, turun Rp 3,6 milyar dari 1991, menjadi Rp 14,4 milyar. Laba Grand Hyatt, turun dari Rp 3,4 milyar menjadi Rp 2,4 miliar, dan laba hotel Borobudur, turun dengn Rp 1,8 miliar. Sementara itu, persaingan akan bertambah keras dengan akan melonjaknya pertambahan jumlah kamar, dari beberapa pembangunan hotel dan perluasan yang akan selesai tahun ini. Ini pertanda bahwa kemungkinan perang tarip tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Perang tarip berarti tekanan terhadap laba. Tahun ini, Jakarta akan mempunyai tambahan 4000 kamar hotel. Sebagian berasal dari perluasan yang dilakukan oleh Hilton, yang menambah 540 kamar, hingga menjadi 1184 kamar. Pertambahan kamar juga berasal dari perluasan yang dilakukan oleh hotel Kartika Chandra dan hotel Horison. Tahun depan kamar hotel akan bertambah 2000, terutama dengan selesainya hotel Shangri-la dan Hotel Regent. Hotel Shangri-la adalah hotel berbintang lima yang dimiliki oleh Yayasan Dana Pensiun BNI, yang akan didirikan bersebelahan dengan gedung BNI di jalan Sudirman. Untuk investasi yang cukup besar ini (US$ 177 juta), YDP BNI berhasil menggaet Kuok Group, kelompok perusahaan properti yang cukup tangguh di Hongkong. Shangri-la akan merupakan hotel yang cukup mewah dengan bangunan 32 tingkat, mempunyai 669 kamar "delux", 38 kamar suite, dan satu Presidential suite. "Grand Ball Room" nya kalau dipakai resepsi cukup untuk memuat 2300 tamu. Shangri-la dapat dipastikan akan merupakan saingan berat bagi beberapa hotel berbintang yang sudah ada sekarang ini. Tahun 1995, Jakarta akan menyaksikan selesainya Holiday Inn, jaringan perhotelan yang cukup terkenal di dunia. Di Jakarta, Holiday Inn akan menempati lokasi yang cukup strategis, disudut antara jalan Sudirman dan Gatot Subroto, dekat jembatan Semanggi. Ditambah selesainya pembangunan dan perluasan beberapa hotel lain, pada 1995, kamar hotel di Jakarta akan bertambah dengan 1900 lagi. Pertambahan jumlah kamar hotel yang pada 1993 yang akan mencapai hampir 40%, dan pertambahan 18% pada tahun berikutnya akan berhadapan dengan jumlah wisatawan ke Jakarta yang rata rata hanya naik 12%. Maka bila kedatangan wisatawan dan perjalanan bisnis, tidak meningkat drastis, hotel-hotel di Jakarta akan menghadapi kelebihan kamar yang cukup gawat, karena tingkat hunian bisa merosot sampai 40-50%. Karena disamping persaingan diantara mereka sendiri, perlu diperhitungkan juga persaingan yang berasal dari apartemen yang tumbuh menjamur di Jakarta. Mereka menyediakan tempat tinggal untuk waktu pendek, dengan tarip yang lebih murah dan dengan fasilitas yang tidak kalah dengan yang diberikan hotel. Rendahnya tingkat hunian hotel kelas atas, dan makin sengitnya persaingan disektor itu, menyebabkan banyak investor mengalihkan usahanya ke hotel berbintang tiga kebawah. Hotel, yang sasarannya adalah kelas menengah kebawah, saat ini masih mempunyai tingkat hunian yang lebih baik, dan masih punya potensi lebih besar untuk menjaring lebih banyak tamu. Tak heran kalau sektor ini sudah ramai dijamah beberapa developer terkenal. Kelompok Kodel, sedang membangun Ibis Hotel di Jakarta Pusat, dengan investasi Rp 24 miliar. Jan Darmadi, mendapat kepercayaan dari Travelodge untuk membangun hotelnya di Ancol, dan Ciputra, juga akan akan membangun hotel lagi di Ancol. Di daerah Slipi, kelompok Putra Surya Perkasa (PSP) sedang mendirikan hotel kelas ini, dan didaerah Cikini, dibekas kolam renang, Priya Ramadhan, pemilik Radio Prambos, akan menanam Rp 20 miliar untuk membangun sebuah hotel. Pembangunan hotel berbintang tiga juga meluas ke kota-kota satelit di sekitar Jakarta. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi meningkatnya permintaan yang berasal dari meningkatnya pembangunan industri dikawasan pinggiran, terutama di Bekasi. Disini, Ciputra Grup, akan membangun hotel berbintang tiga dengan 200 kamar, dengan rencana investasi $ 65 juta. Hal yang sama juga sedang dilakukan oleh Sahid, Lippo, dan Sudwikatmono. Sahid menggandeng Lippo untuk mendirikan hotel berbintang tiga di Lippo City, Cikarang, Bekasi, dengan kapasitas 100 kamar yang akan memerlukan investasi $ 20 juta. Tak jauh dari situ, di Cikarang Industrial Estate, Sudwikatmono juga sedang membangun hotel berbintang tiga dengan kapasitas 240 kamar. Disebelah barat Jakarta, di Tanggerang, yang juga sedang tumbuh sebagi kawasan industri, belum banyak kegiatan pembangunan hotel. Yang ramai sebagai daerah perhotelan justru, didaerah Anyer, diujung barat pulau Jawa, daerah yang makin ramai dengan industri. Hotel Mambruk Quality Resort, yang melihat peluang pasar buat ekspatriat yang bekerja diberbagai proyek di Cilegon, memutuskan untuk meningkatkan kapasitasnya dari 90 kamar menjadi 130 kamar. Di Bali, tempat tujuan utama pariwisata, industri perhotelan dikabarkan sedang mengalami gejolak. Akibat pembangunan besar besaran diwaktu lalu, telah terjadi kelebihan kamar yang cukup besar. Perang tarip tidak bisa dihindarkan, dan banyak hotel yang memberi potongan sampai 50%. Promosi yang halus seperti " 2 in 1", (bayar satu malam, tinggal dua malam), diberikan oleh beberapa hotel, termasuk hotel berbintang lima dikawasan Nusa Dua. Hotel mewah ini masih memberi potongan antara 20-60%, sehingga tarip yang dibayar tamunya, menyamai tarip yang dipasang hotel berbintang dibawahnya. Dengan tarip yang hampir sama, jelas tamu akan memilih hotel di Nusa Dua dari pada di daerah lain. Akibatnya, hotel kelas menengah dan bawah terpukul dan di Kuta, dikabarkan banyak hotel yang ditawarkan untuk dijual. Persaingan terhadap hotel-hotel ini juga berasal dari perluasan yang dilakukan hotel-hotel lain yang tanpa ijin, yang jumlahnya diperkirakan cukup besar. Sekalipun pengusaha hotel sudah mengeluh tentang kelebihan kamar, pemda Bali tidak bermaksud untuk menghentikan pemberian ijin pembangunan hotel. Gubernur Ida Bagus Oka memperkirakan bahwa jumlah kamar hotel yang ideal di Bali adalah 30.000, satu jumlah yang masih diatas kamar yang tersedia sekarang ini. Menurut data terakhir, di Bali sudah ada 65 hotel berbintang, dengan jumlah kamar 11.100, separohnya terdiri dari kamar hotel berbintang lima dan hotel berbintang lima berlian. Tapi jumlah ini nampaknya masih berlebih untuk jumlah wisatawan ke Bali. Selama periode 1986-1990, jumlah wisatawan yang ke Bali naik pesat, dari 1,7 juta menjadi 2,5 juta. Atau kenaikan rata rata 19,5 % tiap tahun. Tapi pada 1991, dengan pecahnya perang Teluk, arus wisatawan ke Bali anjlog 10,5%. Arus kedatangan mereka belum pulih, karena masih berlangsungnya resesi di negara di negara-negara industri. Berbeda dengan di Jakarta, bisnis di hotel bintang lima di Bali masih cukup ramai. Beberapa hotel bintang lima juga masih dibangun. Sebentar lagi Intercontinental Bali dengan 643 kamar akan selesai. Bimantara masih menyelesaikan pembangnan Citra Jembaran dengan 450 kamar. Bali Imperial Hotel, yang akan dikelelola oleh Imperial Hotel di Tokyo, tahun ini sudah selesai dibanguna. Imperial Hotel Tokyo, menurut sebuah majalah bisnis perjalanan merupakan hotel terbaik ke lima didunia. Hotel ini akan memiliki 138 kamar, dan 17 villa dan dibangun dengan arsitek khusus Bali. Dibangun diatas tanah 4,5 ha, hotel ini akan memerlukan investasi $ 50 juta. Pemilik hotel mewah ini diantaranya adalah Taspen dan Astek. Bisnis hotel berbintang lima keatas, di Bali, nampaknya tidak terpengaruh kelesuan yang melanda segmen pasar lainnya. Sasaran mereka adalah golongan konsumen yang eksklusif, yang mampu membayar tarip 300-700 dolar semalam. Hotel yang eksklusif seperti Hotel Amandari di Ubud, Aman Nusa, dan Hotel Santika di Kuta, masih bisa mempertahankan tingkat huniannya rata rata 75%. Kelesuan bisnis perhotelan juga melanda daerah lain. Bandung, yang dulu molek itu nampaknya bukan tujuan favorit lagi buat wisatawan. Tapi Bandung sekarang ini mempunyai 5000 kamar, jumlah yang terlalu banyak buat kota kembang itu. Akibatnya pemilik hotel disini, dengan tingkat hunian yang cuma 55%, harus bekerja keras untuk hidup terus. Sebelum tingkat hunian mereka naik manjadi 60-70%, mereka belum bisa rileks. Cerita yang sama juga melanda Jawa Tengah. Di Semarang, hotel berbintang yang menyediakan 2800 kamar, hanya mempunyai tingkat hunia 56%. Di Yogyakarta, kota yang cukup menarik wisatawan asing, tingkat hunian hanya 30%. Biang keladinya, adalah obral ijin pembangunan hotel oleh Pemda, yang dilakukan untuk mengantisipasi melonjaknya kedatangan wisman. Tetapi ternyata, kedatangan mereka tak sebanyak yang diharapkan. Pemda DIY akhirnya harus melakukan moratorium terhadap pemberian ijin hotel baru. Dari 23 ijin pembangunan hotel yang dikeluarkan sejak 1991, hanya 8 yang sudah dibangun. Sisanya, sadar akan masih sedikitnya wisman, masih menunda pembangunan hotelnya. Industri Urbanisasi Industri properti di Indonesia saat ini sedang berada dalam siklus naik, setelah berada pada siklus turun dua tahun terakhir ini. Dalam jangka panjang, industri properti tetap akan berada pada siklus naik. Ada beberapa faktor fundamental mengapa harus demikian. Pendudukterus bertambah, dan begitu pula kebutuhan akan tempat tinggal. Di Jakarta, urbanisasi menyebabkan pertambahan penduduk empat kali pertambahan penduduk secara nasional, sedangkan ruang dan lahan terbatas. Menurut James Riady, Vice Chairman Lippo Group, yang merupakan salah satu kelompok terbesar di bidang properti, untuk kota seperti Jakarta, pembangunan vertikal tidak bisa dielakkan. Kebutuhan pembangunan rumah susun dan apartemen tidak bisa dielakkan karena ruang harus dihemat. Menurut James, ada beberapa keuntungan dari tempat tinggal seperti ini. Yang pertama, adanya penghematan penggunaan tanah, dan ini berarti penghematan biaya dan harga. Harga jual bisa lebih murah dan lebih banyak terjangkau. Penghuni dapat menikmati fasilitas bersama, seperti fasilitas olahraga, taman, di samping mereka juga bisa menikmati pemandangan kota yang indah. Bagi mereka yang lebih memilih rumah tinggal sendiri, masih bisa membangun di luar kota. Karena itu, menurut James, pertumbuhan kota-kota satelit di sekitar Jakarta tidak bisa dibendung. Lippoland sendiri sedang membangun dua kota satelit, Lippo City di dekat Bekasi dan Lippo Village di Tangerang. Sistem penjualan atau "strata title sales", bagi James, merupakan sistem yang cocok dengan mentalitas orang Asia yang lebih suka memiliki tempat tinggal. Dia setuju bahwa sistem ini bisa menimbulkan masalah karena beberapa segi hukum kurang dipatuhi. Dia tidak setuju dengan pendapat bahwa yang salah adalah developer. "Pembeli apartemen adalah orang-orang terdidik, karena itu seharusnya, mereka meneliti lebih dulu semua perjanjian, sebelum menandatanganinya". James ingin melihat bahwa sistem penalti harus dipertegas, bila developer terlambat atau tidak memenuhi janjinya. Bila kekurangan dalam segi hukum bisa diperbaiki, minat beli dari luar negeri bisa meningkat, dan ini akan meramaikan pasar properti. Perkembangan industri properti, bila berjalan dengan wajar, akan merupakan sumbangan berarti bagi pertumbuhan ekonomi. Seperti dikatakan oleh Panangian Simanungkalit, sektor perumahan dalam perekonomian nasional sebagian besar berada dalam segmen tradisional. Mereka banyak menyerap tenaga kerja, tidak memerlukan teknologi tinggi dan sebagian besar menggunakan komponen lokal. Dan jangan lupa, keterkaitan industri perumahan dengan industri kebutuhan rumah tinggal, dari perabotan, sampai alat listrik dan elektronik. Efek llmultiplierll industri properti itulah yang ditunggu oleh industri-industri lain.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus