Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
|
Dari sanalah cerita Republik Bagong yang dipentaskan Teater Koma di Graha Bakti Budaya Taman Ismail Marzuki, Jakarta, dimulai. Sebuah pementasan tiga setengah jam yang latihannya telah dimulai sejak Februari lalu.
Ambisi Bagong tak sendiri. Di Amarta, kekuasaan sedang goyah. Rakyat sedang susah, dan para satria menghendaki Bagong dijadikan tumbal agar negeri kembali sentosa. Kisah lalu bergerak ke arah pembentukan kekuasaan baru. Ada partai-partai dibentuk, kemudian pemilu dengan mendatangkan pengamat asing, lalu Bagong yang kemudian ragu ketika kekuasaan telah berada di tangannya.
Sejatinya, Republik Bagong ingin menyajikan cerita tentang tradisi perebutan kekuasaan yang purba sekaligus subtil. Tapi, di tangan N. Riantiarno, sutradara lakon ini, kisah dialirkan melalui beberapa poros yang seperti menempuh jalan masing-masing: Bagong (dimainkan oleh Butet Kartaredjasa) dengan kisah perjalanannya terusir dari Amarta, Srikandi yang sibuk dengan pembentukan partai perempuan, atau Yudhistira sang Raja yang kehilangan kekuasaan karena korup dan gemar berjudi.
Untuk membangun cerita yang tak linier, mestinya ini bukan persoalan betul. Tapi, ketika tiap-tiap poros berusaha dicantelkan pada kondisi politik aktual, muncul kesan bahwa Republik Bagong sebetulnya hanya komedi yang ingin menyindir realitas politik Indonesia masa kini. Sebuah kartun yang dibungkus dengan kelucuan, nyanyian, dan koreografi, tapi berhenti hanya pada taraf fisik.
Riantiarno bukan tak menyadari kondisi ini. Tapi Teater Koma dalam 24 tahun perjalanannya telah tampil sebagai kelompok yang punya siasat jitu dalam membetot perhatian penonton: aktualitas cerita, verbalisme naskah, dan pementasan yang menghibur. Bahkan ketika mengadaptasi naskah "serius" seperti Crucible karya Arthur Miller, atau sebuah karya Alfred Jarry, Moliere, atau Three Penny Opera karya Bertolt Brech, kesan crispy itu tak juga hilang.
Republik Bagong memperkuat kesan konsistensi Teater Koma tersebut. Panggung dipenuhi sebuah layar besar yang dibuat mirip jejeran televisi menafsirkan dialog-dialog penting dengan gambar-gambar yang disorot sebuah kamera. Ketika Srikandi menegaskan pentingnya kerja keras agar para perempuan bisa meraih kekuasaan, layar itu menyajikan gambar asap mengepul dari cerobong pabrik, orang-orang yang bekerja, dan tiang bendera yang ditegakkan. Penegasan yang terasa tumpang-tindih.
Karena naskah yang tak istimewa, kemampuan pemain yang sebetulnya andal jadi tak muncul. Butet, sang pendatang baru di Teater Koma, meski terlihat habis-habisan mengeksplorasi kemampuan aktingnya, juga tidak beranjak ke mana-mana. Ratna Riantiarno (Betari Durga), Joshua D. Pandelaki (Arjuna), Syaeful Anwar (Arya Sengkuni), atau Idris Pulungan (Bima), pemain yang telah belasan tahun bersama teater ini, juga mengalami nasib sama.
Keunggulan Republik Bagong, seperti juga pada pementasan lain grup ini, adalah pada keseriusan Nanopanggilan Riantiarnomenelateni properti, dekor panggung, dan kostum. "Saya tak mau properti hanya terdiri dari imaji saya. Saya tak mau efisien dalam pementasan," kata Nano kepada TEMPO, dua tahun lalu.
Sejalan dengan itu, bloking panggung juga terasa apik. Setiap gerak para pemain tersusun dalam komposisi yang selalu menarik dan estetis. Selebihnya adalah karnaval, lagu, dan tari-temari. Karena seluruh aura pementasan adalah keriaan, baik sedang sedih maupun sedang melucu, akting Bagong selalu disambut gelak penonton. Sulit menemukan suasana getir atau renungan dalam gedung pertunjukan itu.
Di usianya yang 24 tahun, Teater Koma melalui Republik Bagong sedang mengulang sebuah resep lama: bagaimana memelihara perhatian penonton melalui sebuah pertunjukan yang renyah dan menghibur.
Arif Zulkifli
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo