Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Menetes Dari Wwarung Ke Istana

Minuman brem dianggap minuman keras, kena ppn 20%. di bali, pabrik brem banyak di hotel-hotel. istana negara banyak memakai brem untuk pesta-pesta.(ils)

16 Februari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARI warung-warung di pinggir jalan, kini brem telah melompat ke hotel-hotel internasional. Bahkan minuman khas Bali ini jadi suguhan selamat datang bagi tamu-tamu terhormat. Brem bisa digolongkan minuman sebangsa bir. Dibuat dari air tape ketan setelah diendapkan beberapa bulan, minuman ini akan terasa asam-asam manis. Dalam dunia minuman baik brem maupun bir digolongkan minuman ringan (soft drinks) --sama dengan coca-cola, soda -- karena kadar alkoholnya di bawah 10%. Brem berkadar alkohol 7%, sementara bir tidak lebih dari 8%. Karena itu kedua jenis minuman ini tidak memabukkan. Kecuali jika diminum berlebihan. "Masa kan brem digolongkan minuman keras," keluh Ida Bagus Oka, pimpinan pabrik brem di Desa Sanur, Bali, "sehingga kami dicekik pajak penjualan cukup tinggi." Brem Ida Bagus Oka yang dijual dalam botol-botol kecil berisi 200 cc, dihargai cuma Rp 300. Dari harga itu, Rp 65 per botol masuk ke PPN yang 20%. Adalah Oka ini yang rupanya memperkenalkan brem secara lebih luas. Bermula ketika ada Konperensi PATA di tahun 1974. Oka yang menjalankan usaha membuat brem sebagai warisan dari sang ayah, telah menyumbangkan 5.000 botol kepada peserta PATA dengan cuma-cuma. Tentu untuk promosi. Beberapa peserta yang baru pertama kali merasakan brem, menjawab dengan angguhan kepala. "Sejak itu," kata Oka, kami menganggap minuman brem perlu digalakkan." Brem buatan Oka yang memakai merk Dewi Sri, Bali rice wine pada 1976 mendapat kredit Rp 51 juta dari Bank Pembangunan Indonesia. Karena melihat Dewi Sri bernasib mujur -- terutama karena memonopoli suplai untuk beberapa hotel besar di Bali -- muncul pula pabrik-pabrik brem lainnya. Dinas Perindustrian Bali juga memberikan izin pada pabrik brem dengan merk Rangda, Bali rice wine. Tapi tak sedikit pula yang liar dan dibuat secara sambilan di rumah-rumah tangga. Menurut Asisten Manajer Hotel Bali Hyatt, Ketut Rallys, brem "jauh lebih murah, ketimbang minuman lain dengan bahan impor." Cara menghidangkannya juga cukup meyakinkan. Dan orisinal. Yaitu dalam gelas bambu yang diukir dengan variasi sekuntum bunga lengkap dengan sedotan. Dan bila sudah diramu dengan soda atau jeruk manis brem akan terasa lebih enak untuk pelepas dahaga. Tak Pernah Absen Pada beberapa resepsi di Istana Merdeka atau Istana Negara, brem Bali ini juga telah menjadi salah satu dari minuman yang tidak pernah absen. "Lebih murah," kata salah seorang staf Rumahtangga Kepresidenan. Yoop Ave-lah yang memperkenalkan brem Bali ini, ketika dia masih menjabat Kepala Istana-istana Kepresidenan. Sesekali, dalam acara penyerahan surat-surat kepercayaan duta besar, brem dipakai sebaai pengganti sampanye. "Agar sparklings (keluar percikan-percikan), kami biasanya mencampurnya dengan soda," tambah staf Rumahtangga Kepresidenan tadi. Tapi bersamaan dengan kepopuleran brem, para pembuatnya terus mengeluh karena pajak. Padahal, kata Ida Bagus Oka, "tulisan rice wine, itu 'kan sekedar penjelasan saja." Dia pun telah mengajukan keberatan karena produksinya disamakan dengan minuman keras dan minta agar pajaknya dikurangi. "Usul mereka sudah kami terima, tapi soal pajak, bukan kami yang menentukan," kata Adi Sudana, seorang pejabat pada Dinas Perindustrian Bali. Keberatan Oka lainnya ialah begitu banyaknya merk brem lain yang beredar dan tanpa izin. Ini berarti tidak mendapat beban pajak seperti yang dipikul brem-nya Oka yang resmi. "Masalahnya bagaimana kita tahu kalau brem itu dibuat di rumahtangga biasa," ujar Ir. Marjono, Kepala Dinas Perindustrian Bali. Tapi Pande Ketut Tirta dari Balai Penyelidikan Makanan dan Minuman Bali berjanji: "Pelita III ini, kami mulai mengadakan penertiban makanan dan minuman yang beredar." Masalahnya lagi, "membuat brem banyak risikonya," tambah Oka. Di pabriknya, setiap hari tidak kurang dari 2 kwintal beras ketan diproses menjadi tape. Pegawainya ada 30 orang. Selama 4 hari, ketan masak yang sudah diberi ragi itu disekap dalam panci besar. Setetes demi setetes, air tape menetes. Tetesan inilah yang disebut brem. Brem muda ini masih terasa manis. Untuk mencapai aroma tertentu, tetesan air tape itu harus diendapkan paling tidak selama 8 bulan. Basi Dalam proses pengendapan ini, bakteri ragi dalam air brem muda bereaksi. Kadar gula berubah menjadi kadar alkohol. "Dalam proses pengendapan, udara tidak boleh masuk dalam tabung pengendap," ujar Oka. Risikonya, kalau kena udara, alkohol itu akan memberikan reaksi baru pula yaitu rasa asam. Karena itu, pabrik milik Oka melindungi tabung pengendapan yang hampa udara ini dalam tabung yang anti karat, yaitu tabung fibre-glass. Jumlah fibreglass ini ada 54 buah dan sanggup menampung 1.250 liter brem. "Cuaca juga banyak memberikan pengaruh pada pembuatan brem," sambung Oka. Kalau cuaca panas, proses menjadi tape akan lebih cepat. Sebaliknya kalau cuaca dingin, ketan bisa basi. Di Bali sendiri, minum brem bisa sebagai minuman sekali tempo saja. Bahkan di beberapa desa di sana brem dijadikan Salah satu campuran obat tradisional. Yaitu obat masuk angin atau bisul di kepala. Konon hasilnya cespleng. Menurut keterangan Ida Bagus Ketut Beratha, Perbekel Desa Sanur, selain obat tradisional, pura-pura di Bali masih memakai brem sebagai salah satu sarana upacara. Dalam kitab-kitab agama Hindu (Ayurveda), anggur dan sebangsanya digunakan pada upacara-upacara tertentu. Di Bali, brem yang dicampur arak, air dan darah binatang adalah minuman persembahan untuk Paca Mahabutha, 5 mahluk -- menurut kepercayaan Hindu Bali -- yang menguasai alam semesta. Minuman untuk Panca Mahabutha ini dipercikkan di tanah. Dulu, waktu Bali masih terdiri dari kerajaan-kerajaan, brem adalah minuman kelas tinggi. Sejajar dengan madu. Puri raja-raja juga selalu menyuguhkan brem kepada tamu-tamunya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus