DARI warung-warung di pinggir jalan, kini brem telah melompat ke
hotel-hotel internasional. Bahkan minuman khas Bali ini jadi
suguhan selamat datang bagi tamu-tamu terhormat.
Brem bisa digolongkan minuman sebangsa bir. Dibuat dari air tape
ketan setelah diendapkan beberapa bulan, minuman ini akan terasa
asam-asam manis. Dalam dunia minuman baik brem maupun bir
digolongkan minuman ringan (soft drinks) --sama dengan
coca-cola, soda -- karena kadar alkoholnya di bawah 10%. Brem
berkadar alkohol 7%, sementara bir tidak lebih dari 8%. Karena
itu kedua jenis minuman ini tidak memabukkan. Kecuali jika
diminum berlebihan.
"Masa kan brem digolongkan minuman keras," keluh Ida Bagus Oka,
pimpinan pabrik brem di Desa Sanur, Bali, "sehingga kami dicekik
pajak penjualan cukup tinggi." Brem Ida Bagus Oka yang dijual
dalam botol-botol kecil berisi 200 cc, dihargai cuma Rp 300.
Dari harga itu, Rp 65 per botol masuk ke PPN yang 20%.
Adalah Oka ini yang rupanya memperkenalkan brem secara lebih
luas. Bermula ketika ada Konperensi PATA di tahun 1974. Oka yang
menjalankan usaha membuat brem sebagai warisan dari sang ayah,
telah menyumbangkan 5.000 botol kepada peserta PATA dengan
cuma-cuma. Tentu untuk promosi. Beberapa peserta yang baru
pertama kali merasakan brem, menjawab dengan angguhan kepala.
"Sejak itu," kata Oka, kami menganggap minuman brem perlu
digalakkan."
Brem buatan Oka yang memakai merk Dewi Sri, Bali rice wine pada
1976 mendapat kredit Rp 51 juta dari Bank Pembangunan Indonesia.
Karena melihat Dewi Sri bernasib mujur -- terutama karena
memonopoli suplai untuk beberapa hotel besar di Bali -- muncul
pula pabrik-pabrik brem lainnya. Dinas Perindustrian Bali juga
memberikan izin pada pabrik brem dengan merk Rangda, Bali rice
wine. Tapi tak sedikit pula yang liar dan dibuat secara sambilan
di rumah-rumah tangga.
Menurut Asisten Manajer Hotel Bali Hyatt, Ketut Rallys, brem
"jauh lebih murah, ketimbang minuman lain dengan bahan impor."
Cara menghidangkannya juga cukup meyakinkan. Dan orisinal. Yaitu
dalam gelas bambu yang diukir dengan variasi sekuntum bunga
lengkap dengan sedotan. Dan bila sudah diramu dengan soda atau
jeruk manis brem akan terasa lebih enak untuk pelepas dahaga.
Tak Pernah Absen
Pada beberapa resepsi di Istana Merdeka atau Istana Negara, brem
Bali ini juga telah menjadi salah satu dari minuman yang tidak
pernah absen. "Lebih murah," kata salah seorang staf Rumahtangga
Kepresidenan. Yoop Ave-lah yang memperkenalkan brem Bali ini,
ketika dia masih menjabat Kepala Istana-istana Kepresidenan.
Sesekali, dalam acara penyerahan surat-surat kepercayaan duta
besar, brem dipakai sebaai pengganti sampanye. "Agar sparklings
(keluar percikan-percikan), kami biasanya mencampurnya dengan
soda," tambah staf Rumahtangga Kepresidenan tadi.
Tapi bersamaan dengan kepopuleran brem, para pembuatnya terus
mengeluh karena pajak. Padahal, kata Ida Bagus Oka, "tulisan
rice wine, itu 'kan sekedar penjelasan saja." Dia pun telah
mengajukan keberatan karena produksinya disamakan dengan minuman
keras dan minta agar pajaknya dikurangi. "Usul mereka sudah kami
terima, tapi soal pajak, bukan kami yang menentukan," kata Adi
Sudana, seorang pejabat pada Dinas Perindustrian Bali.
Keberatan Oka lainnya ialah begitu banyaknya merk brem lain yang
beredar dan tanpa izin. Ini berarti tidak mendapat beban pajak
seperti yang dipikul brem-nya Oka yang resmi. "Masalahnya
bagaimana kita tahu kalau brem itu dibuat di rumahtangga biasa,"
ujar Ir. Marjono, Kepala Dinas Perindustrian Bali. Tapi Pande
Ketut Tirta dari Balai Penyelidikan Makanan dan Minuman Bali
berjanji: "Pelita III ini, kami mulai mengadakan penertiban
makanan dan minuman yang beredar."
Masalahnya lagi, "membuat brem banyak risikonya," tambah Oka. Di
pabriknya, setiap hari tidak kurang dari 2 kwintal beras ketan
diproses menjadi tape. Pegawainya ada 30 orang. Selama 4 hari,
ketan masak yang sudah diberi ragi itu disekap dalam panci
besar. Setetes demi setetes, air tape menetes. Tetesan inilah
yang disebut brem. Brem muda ini masih terasa manis. Untuk
mencapai aroma tertentu, tetesan air tape itu harus diendapkan
paling tidak selama 8 bulan.
Basi
Dalam proses pengendapan ini, bakteri ragi dalam air brem muda
bereaksi. Kadar gula berubah menjadi kadar alkohol. "Dalam
proses pengendapan, udara tidak boleh masuk dalam tabung
pengendap," ujar Oka. Risikonya, kalau kena udara, alkohol itu
akan memberikan reaksi baru pula yaitu rasa asam. Karena itu,
pabrik milik Oka melindungi tabung pengendapan yang hampa udara
ini dalam tabung yang anti karat, yaitu tabung fibre-glass.
Jumlah fibreglass ini ada 54 buah dan sanggup menampung 1.250
liter brem.
"Cuaca juga banyak memberikan pengaruh pada pembuatan brem,"
sambung Oka. Kalau cuaca panas, proses menjadi tape akan lebih
cepat. Sebaliknya kalau cuaca dingin, ketan bisa basi. Di Bali
sendiri, minum brem bisa sebagai minuman sekali tempo saja.
Bahkan di beberapa desa di sana brem dijadikan Salah satu
campuran obat tradisional. Yaitu obat masuk angin atau bisul di
kepala. Konon hasilnya cespleng.
Menurut keterangan Ida Bagus Ketut Beratha, Perbekel Desa Sanur,
selain obat tradisional, pura-pura di Bali masih memakai brem
sebagai salah satu sarana upacara. Dalam kitab-kitab agama Hindu
(Ayurveda), anggur dan sebangsanya digunakan pada
upacara-upacara tertentu. Di Bali, brem yang dicampur arak, air
dan darah binatang adalah minuman persembahan untuk Paca
Mahabutha, 5 mahluk -- menurut kepercayaan Hindu Bali -- yang
menguasai alam semesta. Minuman untuk Panca Mahabutha ini
dipercikkan di tanah.
Dulu, waktu Bali masih terdiri dari kerajaan-kerajaan, brem
adalah minuman kelas tinggi. Sejajar dengan madu. Puri raja-raja
juga selalu menyuguhkan brem kepada tamu-tamunya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini