ENTAH dari mana asalnya, tapi pada tahun-tahun awal abad 20, di
Karawang muncul seorang laki-laki bernama Banjet. Dia membawa
rombongan pertunjukan bertopeng. Karena itu di Karawang (Ja-Bar)
dan sekitarnya kemudian dikenal Topeng Banjet.
Bentuk hiburan yang sampai sekarang tetap bernama Topeng Banjet
itu terdiri dari lawak tari dan lagu dalam Bahasa Sunda lengkap
dengan berbagai perangkat musik. Dahulu kala pertunjukan ini
hanya digemari kalangan bawah dan banyak dimainkan di
tempat-tempat umum yang terbuka, dari kampung ke kampung. Tapi
akhir-akhir ini mulai muncul di hadapan penonton tingkat
menengah. Seperti beberapa kali tampil di upacara wisuda
Universitas Pajajaran dan Pasar Seni ITB. Kasetnya juga makin
menyebar.
Sebelum 1949 pemain Topeng Banjet masih memakai topeng sebagai
penutup muka. Di zaman perang kemerdekaan, pemakaian topeng
dilarang, karena ini bisa dianggap penyamaran oleh pihak musuh.
Para pemainnya biasanya grup keluarga. Artinya, mulai dari si
suami, istri dan anak-anak turut aktif. Dinyanyikan dengan
beberapa kawih (lagu) Sunda, jalan ceritera biasanya berkisar
pada si jawara (jagoan) atau penggambaran tentang keburukan
dikalahkan kebaikan.
Kini pemainnya sering mengenakan kostum seperti pemain sirkus
bahkan berdasi dan kacamata hitam -- pokoknya disesuaikan dengan
jalan ceritera. Isi ceritera tentu disesuaikan dengan pola
kehidupan masa kini. Tetapi tetap menyuarakan kata hati dan
harapan rakyat banyak. Tidak jarang diselipkan pula beberapa
pitutur atau dakwah-dakwah keagamaan. Misalnya Topeng Banjet
yang dikasetkan dari grup terkenal Daya Asmara pimpinan Ali
Saban dengan judul Mana Tahaan.
Lagu-lagu Sunda, terutama kilikan, rebab dan hentakan
kendangnya, memang bisa menimbulkan berbagai rasa. Bahkan
terkadang mengundang rasa erotis. Penari dalam Topeng Banjet
biasanya mengikuti irama dengan goyang tubuh yang berlebihan.
Mungkin dari goyangan inilah, kemudian muncul istilah geyol atau
goyang Karawang.
Sifat dan unsur-unsur asli dari topeng Banjet kini telah banyak
berubah. Yaitu dengan diselipkan lagu, sementara dulu hanya
berupa ceritera lucu atau bebodoran saja. Lawak dan lagu ini
kini bahkan telah direkam dan kaset-kaset Topeng Banjet telah
menggerayangi desa-desa yang sedang demam alat perekam.
Menurut catatan Manan Kepala Kebudayaan Kantor P & P Karawang,
kini tercatat ada 49 grup Topeng Banjet di daerahnya. Dari
jumlah tersebut, hanya ada 3 buah saja yang menonjol. Grup Daya
Asmara, Daya Sari dan Sinar Pustaka Warna. Dua yang pertama,
telah memulai rekaman. Kabarnya tiap 3 kaset, mendapatkan
imbalan sekitar setengah juta rupiah. "Makanya, kami lebih
senang rekaman," kata Ali Saban, pimpinan Daya Asmara,
"dibandingkan naik panggung." Menurut perkiraan Ali Saban, sejak
1977, grupnya telah menghasilkan 80 buah kaset. Karena laris,
Ali Saban juga menaikkan tarif naik panggung. Sekali manggung,
semalam suntuk, grupnya minta bayaran Rp 300.000.
Topeng Banjet yang masuk kaset biasanya sudah di-"sensur" oleh
pihak P & K Karawang. "Kami mencoba untuk menghilangkan
kata-kata atau isi yang terlalu porno," tambah Manan dari
instansi tersebut. Apa boleh buat, dialek Sunda dari Karawang
memang termasuk kasar kalau dibandingkan dengan bahasa Sunda
Parahiangan.
"Jika itu harus diubah, terutama bebodoran yang khas Karawang,"
ujar salah seorang anggota grup Topeng Banjet, "ini jadi sayur
tanpa garam." Seorang budayawan lokal Karawang seperti R. Ahmad
Martasasmita, juga berpendapat: "Di luar Karawang, banyak kata
dianggap porno, tapi dianggap biasa di daerah ini."
Tapi akhirnya himbauan non porno dari pihak pemerintah daerah,
ternyata tidak mendapat sambutan. "Ya, sudahlah," ujar seorang
pejabat Kabupaten Karawang, "biarkan apa adanya seperti sekarang
ini." Pokoknya, lawak dan goyang dengan sedikit porno, tak apa.
Asal "titipan" pesan dari pemerintah bisa juga disalurkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini