DALAM suatu iklan, PT Kencana Sakti Indonesia menawarkan
peralatan pemanas air bertenaga matahari, bikinan Australia.
Bersamaan dengan itu barusan ini sebuah lokakarya berlangsung di
Jakarta tentang penggunaan energi non-konvensional. Ini
menandakan lagi bahwa Indonesia secara serius menerapkan
teknologi pemanfaatan energi matahari.
Menurut Ir. Billy Patuwo, staf ahli perusahaan itu, peralatan
merk Edwards itu dipasarkan sejak Januari lalu. "Kami melihat
prospek pemasarannya di Indonesia cukup cerah," ujarnya kepada
TEMPO, "terutama di bidang industri." Ia menjelaskan bahwa salah
satu pabrik pembuat sabun dan kosmetika besar mempertimbangkan
untuk memasangnya. Minyak Nabati yang dipakai dalam proses
produk si pabrik itu membutuhkan pemanasan dengan suhu konstan
setinggi 60øC.
Sebetulnya memanfaatkan panas matahari di Indonesia untuk
pengeringan bermacam hasil pertanian dan industri makanan
bukanlah hal yang baru. Padi, hasil palawija, buah-buahan,
kayu, dendeng, ikan asin, krupuk dan entah apa lagi yang
digelarkan di halaman rumah atau pabrik -- semuanya
memanfaatkan sumber panas gratis itu.
Namun dengan cara yang turun temurun ini, prosesnya lambat.
Kalau matahari keburu menghilang di balik awan mendung,
misalnya, barang yang belum sempat kering bisa jadi busuk. Juga
pengotoran karena debu dan gangguan oleh ayam, itik, burung,
tikus dan serangga, membuat cara ini tidak terlalu menguntungkan
dari segi kesehatan dan kualitas barang.
Kini tersedia peralatan sederhana yang teknologinya tidak rumit,
seperti panel kolektor panas matahari, yang akan meningkatkan
efisiensi prosesnya dan menjamin kebersihan, karena pengeringan
dapat dilakukan di tempat tertutup. Tersedia pula tempat
penimbun kelebihan panas, yang dapat dipakai bila matahari tidak
bersinar, hingga proses pengeringan tidak akan terputus. Sistem
aktif semacam ini dapat dipasang di atap atau dinding pabrik
atau rumah sebagai pengganti atau pelengkap peralatan
pengeringan yang sudah ada.
Kolektor itu berupa suatu peti dangkal, dengan dasar hitam, dan
atasnya ditutup dengan kaca. Cahaya dari luar dapat menembus
kaca itu, tapi gelombang panjang panas yang terbentuk dam dasar
hitam itu tak dapat kembali keluar, sehingga panas itu
terperangkap. Air atau udara yang dipompakan melalui kolektor
itu -- menggunakan jaringan pipa tembaga -- segera menjadi
panas. Air atau udara panas itu dapat disalurkan ke tempat
pengeringan atau disimpan dalam tempat penimbunan untuk dipakai
lain waktu.
Sangat Ringan
Sistem semacam ini tidak mempergunakan bahan bakar minyak atau
pun energi listrik. Biaya eksploitasinya sangat ringan, terutama
dalam jangka panjang. Juga ia tidak menimbulkan polusi oleh
buangan hasil pembakaran. Suhu yang dihasilkannya sekitar 70ø-80øC
akan cukup memadai untuk kebanyakan industri pertanian dan
makanan.
Direktur Perkebunan Negara PTP XXIII di Malang Selatan, Ir.
Suharso sudah lama mengidamkan sistem pengeringan semacam itu
bagi pabriknya. Perkebunan itu menghasilkan aneka tanaman
seperti teh, kopi dan coklat. Setiap musim sejumlah 3.000 ton
coklat yang harus dikeringkan dengan suhu sekitar 70øC. Dengan
sistem oven yang dipanaskan oleh brander minyak solar setiap
musim menghabiskan 300 ribu dengan harga sekitar Rp 10 juta.
Agaknya dalam tahun 1980 ini tiba waktunya bagi PTP tadi untuk
merealisasikan impiannya. Ir. Suharso sudah menghubungi pabrik
mesin dan konstruksi raksasa, PT Barata (milik negara) di
Surabaya. Ia berunding dengan Ir. Noertadjib Mahdi, Kepala Biro
Litbang pabrik mesin itu. PT Barata akhirnya menyanggupi untuk
membuat peralatan pengeringan bertenaga matahari itu. Unsur
paling penting dari peralatan ini adalah panel pengumpul panas
atau kolektor, yang terdiri dari selembar aluminium gelombang,
berukuran 1 x 4 meter, yang sebelahnya dicat hitam. Seluruhnya
dikelilingi oleh bingkai selebar 30 cm, dan di atasnya ditutup
dengan dua lembar kaca 3 mm, berjarak sekitar 20 mm satu dengan
lain. Di belakang lembaran aluminium itu jaringan pipa tembaga
disolder. Jaringan itu melingkar dan mengisi setiap alur
aluminium bergelombang itu.
Empatpuluh kolektor semacam ini, berjajar 10, membentuk 1 unit
seluas 10 x 16 meter. Semua jaringan pipa tembaga saling
berhubungan dan akhirnya bermuara dalam satu pipa induk. Udara
panas yang terbentuk di belakang kolektor itu disedot oleh
sebuah pompa dan dihembuskan ke dalam peti pengering.
Peti pengering itu berupa sebuah kotak yang dilengkapi dengan
roda, agar mudah dipindahkan. Di dalamnya terdapat sejumlah laci
bersaf, tempat ditebarkan biji coklat yang mau dikeringkan
Setiap peti memuat 350 kg coklat yang dapat dikeringkan dalam
waktu 24 jam. Satu unit kolektor bisa melayani 3 peti sekaligus.
Bisa Lebih Murah
Semua panas yang tidak terpakai dalam peti pengering itu
disalurkan ke tempat penimbunan panas berupa sebuah peti besar
berisi beberapa meter kubik batu kerikil. Kerikil ini ternyata
dapat menyimpan panas selama waktu cukup lama. Panas yang
tersimpan itu dapat digunakan waktu malam untuk melanjutkan
proses pengeringan, sampai matahari terbit lagi esok hari.
Sudah tentu semua komponen -- seperti kolektor, jaringan pipa,
peti pengering dan penimbun -- terisolasi dengan baik, agar
tidak ada pemborosan panas keluar. Sebagai cadangan, seluruh
sistem itu dihubungkan dengan sebuah tungku pembakar kayu, yang
sewaktu-waktu dapat diaktifkan bila ternyata matahari tidak
berfungsi selama beberapa hari karena hujan misalnya.
Untuk dapat mengerjakan pengeringan di PTP XXIII itu dengan
efisien, seluruhnya dibutuhkan 15 unit. Harga per unit sekitar
Rp 25 juta. Unit-unit itu akan selesai secara berangsur mulai
pertengahan tahun ini.
PT Barata dalam hal ini bekerja sama dengan Dr. M.S.A.
Sastroamidjojo MSc., Kepala Pusat Penelitian Penerapan Tenaga
Matahari (P3TM), FIPA UGM Yogyakarta Di lembaga ini sejak 2
tahun lalu dikembangkan suatu prototipe unit pengeringan dengan
tenaga matahari. Juga teknik penimbunan panas dengan batu
kerikil dikembangkannya bersama dengan LAPAN.
Harga peralatan itu masih cukup tinggi. "Tapi bisa lebih murah
kalau sudah diproduksi secara masal," ujar Ir. Noertadjib dari
PT Barata. Ia menjelaskan bahwa selain PTP XXIII itu, juga
sebuah perkebunan di Ja-Teng menyatakan minatnya untuk membeli
peralatan pengering bertenaga surya itu. Agaknya PT Barata bakal
cukup sibuk. Sementara itu PT Kencana Sakti Indonesia di Jakarta
ikut menggalakkan permintaan akan produk dengan tenaga matahari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini