Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Mengadili Harga Beras

31 Juli 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SATUAN Tugas Mafia Pangan mengklaim menemukan indikasi praktik kecurangan jual-beli beras oleh PT Indo Beras Unggul, di Karawang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, dua pekan lalu. Indo Beras disebut membeli beras yang produksinya disubsidi oleh pemerintah, lalu dikemas menjadi beras premium untuk dijual lagi dengan harga yang lebih tinggi. Anak usaha PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk itu juga diduga memonopoli pasar dengan cara membeli gabah petani dengan harga tinggi.

Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian mengatakan Indo Beras diduga melanggar Pasal 382 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mengatur mengenai perdagangan yang merugikan masyarakat dan persaingan curang serta Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Tapi Presiden Direktur Tiga Pilar Joko Mogoginta mengatakan semua proses bisnis Indo Beras dilakukan sesuai dengan ketentuan.

Cara pemerintah Joko Widodo menyikapi harga beras dengan ancaman pidana berbeda dengan pemerintah terdahulu. Majalah Tempo edisi 13 Mei 1972 menulis artikel "Bahaya Produksi Lebih". Artikel ini menguraikan upaya pemerintah menanggulangi penurunan harga gabah petani dan beras. Pada awal Pelita I (1969-1974), produksi beras mencapai target. Tapi pemerintah gelisah karena harga beras cenderung merosot, yang artinya mengurangi pendapatan petani. Atas kekhawatiran itulah Presiden Soeharto, pada awal 1972, memerintahkan Menteri Pertanian untuk?meneliti kembali target produksi padi 15,43 juta ton akhir?Pelita I. Tim kerja yang dibentuk Menteri Pertanian untuk?tujuan ini bertugas sejak 18 Maret 1972. Pada minggu?pertama Mei 1972, mereka mengumumkan kesimpulannya bahwa "ada indikasi mencolok dari?kemungkinan suplai beras?yang berkelebihan itu". Orang boleh merasa bergidik mendengar peringatan tim: "Suplai beras yang berkelebihan dalam waktu sekarang akan lebih besar bahayanya?daripada kekurangan beras."

Tim mendapatkan, seperti yang dilaporkan oleh Mashud Wisnusaputra, Sekretaris Jenderal Departemen Pertanian, dalam?pertemuannya dengan pers pada awal Mei 1972, bahwa pada 1970?harga beras telah tertinggal dari harga barang kebutuhan pokok yang lain. Di Sulawesi Selatan, Lombok, dan Aceh, menurut dia, sudah timbul apa yang disebutnya sebagai second?generation problem, yaitu padi sukar dijual. Agar penghasilan?para petani tidak lebih merosot lagi, kata Mashud, harga padi?tidak boleh kurang lagi dari Rp 13,20 per kilogram dan harga beras harus sebesar Rp 41-43 per kilogram. "Aceh malah sudah?mulai mengekspor kelebihan berasnya ke Malaysia," ujar Koesniobar, Kepala Humas Departemen Pertanian, Mei 1972.

Koesniobar menyebutkan daerah dengan produksi beras berlebih di antaranya Bengkulu, Sumatera Barat, Kalimantan?Selatan, Lampung, Jambi, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Jawa Timur. Di samping yang surplus, Koesniobar menyebutkan daerah-daerah yang minus, yaitu Jakarta,?Palembang, dan Medan. Daerah yang kelebihan produksi pun sebenarnya sudah menyalurkan kelebihan produksinya ke daerah-daerah yang?kekurangan.

Sulawesi Selatan, misalnya, menurut Koesniobar,?menyalurkan berasnya ke Kalimantan Timur, Sulawesi?Tengah, dan Maluku. Tapi Maluku, kata dia, tahun depan?mungkin tidak lagi akan mendatangkan beras dari luar karena?sudah bisa dicukupi oleh produksi dari daerah transmigrasi di Pulau Buru. Sedangkan kebutuhan beras di Irian Jaya bisa?dipenuhi dari produksi beras di Merauke Selatan.

Di kantor Badan Urusan Logistik pusat, awal Mei 1972, Sekretaris Bulog saat itu, Hadidi, mengatakan bahwa Bulog sudah?melakukan persiapan pemasaran. Sebab, menurut?dia, Bulog sesungguhnya mensinyalir soal kemungkinan kelebihan produksi itu sejak beberapa tahun lalu. Meskipun ada kelebihan produksi, pemerintah tetap menerima baik bantuan beras dari luar. Petugas di Bulog dan di?Departemen Pertanian mengatakan bahwa bantuan itu lebih baik?diterima karena berarti bisa memperkecil pengeluaran anggaran negara. Untuk tahun anggaran 1972-1973,?Amerika Serikat dan Jepang saja memberi bantuan masing-masing 65 juta dolar dan 30 juta dolar atau 400 ribu ton?dan 230 ribu ton beras.

Tim Kerja Departemen Pertanian, menurut?Koesniobar, tidak hanya membatasi kerjanya pada peninjauan?target produksi beras, tapi juga mencarikan jalan keluar agar penghasilan petani bisa ditingkatkan. Salah satu?yang dianjurkan adalah dengan melakukan diversifikasi?tanaman. Petani dianjurkan agar tidak hanya menanam padi, tapi juga tanaman lain, seperti tebu, karena harga gula sedang naik menjadi?230 dolar per ton.

Tapi dalam hal gula, seperti yang dikatakan Menteri?Pertanian pada minggu pertama 1972, pada 1974 kebutuhan Indonesia?bukan hanya sudah bisa dipenuhi oleh produksi dalam negeri, tapi juga sudah ada kelebihan untuk diekspor. Menurut Menteri?Thoyib Hadiwidjaja, produksi gula Indonesia pada 1974 diperkirakan mencapai 1,8 juta ton, padahal kebutuhan dalam negeri hanya 1?juta ton.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus