Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kutipan & Album

Menggusur Kedung Ombo

Masyarakat Kedung Ombo bertahan menempati rumah yang telah terendam. Mereka menerima berbagai macam intimidasi dan diberi cap eks tahanan politik di kartu tanda penduduk.

19 Desember 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Menggusur Kedung Ombo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Masyarakat Kedung Ombo merasa kecele terhadap ganti rugi yang diberikan pemerintah.

  • Masyarakat yang sudah menerima ganti rugi terpaksa bertahan karena jumlah ganti rugi tak cukup untuk membeli lahan.

  • Proyek terus berjalan, air sudah mulai menggenang, meski masih ada ratusan keluarga bertahan.

WARGA Benda berunjuk rasa di depan kantor Pemerintah Kota Tangerang, Banten, pada Selasa, 15 Desember 2020. Mereka merasa tak sanggup menempati posko yang disediakan pemerintah sejak hunian mereka digusur pada 1 September lalu untuk pembangunan jalan tol bandar udara, ruas Cengkareng-Batuceper-Kunciran (JORR 2). Sebagian warga yang menempati kontrakan pun kebingungan karena masa tenggat kontrakan habis per 1 Januari 2021.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia meminta pemerintah tak menggusur dan mengusir warga selama masa darurat pandemi Covid-19. Komnas juga meminta semua pihak tak melakukan kekerasan dan tindakan yang berpotensi melanggar hak asasi. “Tindakan di atas tidak sepatutnya dilakukan di tengah pandemi Covid-19,” kata Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik melalui keterangan tertulis, Senin, 13 April 2020.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penggusuran besar-besaran pernah terjadi di masa pemerintahan Orde Baru saat pembangunan waduk Kedung Ombo. Proyek yang dibiayai dengan pinjaman dari Bank Dunia (US$ 156 juta) dan Bank Ekspor Impor Jepang (US$ 45 juta) itu menghilangkan 20 desa di tiga kabupaten: Sragen, Boyolali, dan Grobogan, Jawa Tengah. Tempo pada 27 April 1991, lewat laporan berjudul “Mereka yang Bertahan di Kedung Ombo”, mencatat total ada 5.399 keluarga yang tergusur atau sekitar 27 ribu orang.

Proyek membangun bendungan Sungai Serang ini mulai digarap pada 1984 dan beberapa wilayah mulai “dibebaskan”. Namun, sejak 1986, proses pembebasan lahan mulai kisruh. Masyarakat pemilik lahan banyak yang merasa kecele. Mereka mengingat pernyataan Menteri Dalam Negeri saat itu, Soepardjo Rustam, bahwa ganti rugi tanah Kedung Ombo sebesar Rp 3.000 per meter persegi. Namun mereka menerima kurang dari itu.

Dalam surat keputusan Gubernur Jawa Tengah, ganti rugi untuk Kedung Ombo besarannya Rp 400 per meter persegi buat sawah, Rp 350 untuk lahan kering, Rp 730 buat pekarangan, Rp 2.150-7.380 untuk 1 meter persegi rumah, dan Rp 30-2.000 buat setiap batang pohon. Besaran ganti rugi tersebut membuat warga Kedung Ombo tak dapat membeli lahan yang sama luasnya di desa-desa tetangga. Mereka menuntut ganti rugi sebesar yang disebutkan Menteri Dalam Negeri.

Karena itu, proses ganti rugi berjalan alot. Pemerintah Orde Baru mulai kehilangan kesabaran karena proyek itu mesti diresmikan secepatnya tahun ini. Aparat militer dan kepolisian mulai mengintimidasi masyarakat dengan ancaman pidana subversi. Para tokoh masyarakat yang keras menolak diberi stempel anti-pembangunan hingga makar dan menerima cap “ET” (eks tahanan politik) di kartu tanda penduduk mereka.

Ancaman ini tak membuat masyarakat gentar. Mereka tetap menolak “cap jempol” dan tak mengambil uang ganti rugi yang disediakan, yang terlampau kecil jumlahnya. Mereka memilih bertahan di Kedung Ombo meskipun beberapa tempat mulai digenangi air. Beberapa masyarakat yang telah menerima ganti rugi tapi merasa kecele karena tak sanggup membeli lahan untuk pindah bermukim juga memilih bertahan di Kedung Ombo.

Meski air telah meninggi, ada 1.355 keluarga yang tak mau angkat kaki dari desanya. Mereka antara lain ada di Dusun Ngrakum, Nglanji, Klewor, Tremes, Mlangi, dan Kedungpring. Meski warga masih bertahan, dusun-dusun ini secara resmi telah dinyatakan hilang dari peta, “ditenggelamkan” di waduk Kedung Ombo.

Sebelum 1989, penduduk di bawah pimpinan Djaswadi menuntut ganti rugi tanah tak jauh dari wilayah yang bakal menjadi waduk. “Tanah harus diganti tanah,” ucap Djaswadi. Gubernur Jawa Tengah Ismail mengalah. Mereka diizinkan menempati hutan Perhutani, yang kini menjadi Kedungmulyo dan Kedungrejo, dengan hanya membayar Rp 200 per meter persegi.

Tapi tak semua sepakat. Penduduk lain di bawah pimpinan Mbah Jenggot menolak karena lahan di Kedungrejo (105 hektare) dan Kedungmulyo (253 hektare) tidak seluas tanah milik mereka yang tenggelam. Mereka memilih bertahan. Seiring dengan air meninggi, mereka berpindah ke area green belt. Aksi Mbah Jenggot membuat penduduk lain yang telah menerima ganti rugi menuntut pemerintah meninjau ganti rugi.

Masyarakat Kedung Ombo sepakat meminta ganti rugi sebesar Rp 13.500 per meter persegi. Angka ini masih jauh di bawah harga yang dipatok Mbah Jenggot: Rp 20 ribu per meter persegi. Kisruh ini membuat peresmian yang dijadwalkan April mesti ditunda karena masalah ganti rugi lahan. Namun Ismail membantahnya. “Soal peresmian itu menyangkut kelengkapan fasilitas, seperti jalan ke PLTA-nya,” ujarnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus