Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MEMPRIORITASKAN pembangunan infrastruktur, pemerintah mengorbankan hak asasi manusia. Pelanggaran itu terjadi dengan terang benderang dalam lima proyek strategis nasional yang ditelisik majalah ini: kekerasan terhadap penduduk yang tinggal di sekitar lokasi pembangunan juga perampasan hak ekonomi, sosial, dan budaya mereka. Kelima proyek itu adalah pembangunan bandar udara internasional di Kulon Progo, Yogyakarta; pembangunan 10 destinasi wisata baru; pembangunan Waduk Lambo, Nagekeo, di Nusa Tenggara Timur; pembangunan jalan tol lintas Sumatera; serta penggusuran masyarakat adat di Langkat, Sumatera Utara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Bandara Internasional Yogyakarta, misalnya, pembangunan dimulai meski belum ada kesepakatan dengan semua pemilik tanah. Manakala pemilik lahan yang kebanyakan petani berunjuk rasa menolak relokasi, tentara dan polisi dikerahkan untuk membubarkan. Kini sebagian dari mereka kesulitan mendapatkan penghasilan. Anak-anak banyak yang tak bersekolah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apa yang dilakukan Joko Widodo mirip yang dikerjakan Soeharto lebih dari 30 tahun lalu. Soeharto, misalnya, tak segan menyingkirkan lebih dari 5.000 penduduk tiga kabupaten di Jawa Tengah untuk membangun Waduk Kedung Ombo. Tak mendapat ganti rugi yang sesuai, masyarakat kehilangan lahan, tempat tinggal, dan mata pencarian.
Indikasi pengabaian hak asasi terlihat dalam pernyataan Presiden Joko Widodo pada peringatan Hari Hak Asasi Manusia, 10 Desember lalu. Dalam pidatonya, Presiden mengatakan pembangunan infrastruktur merupakan upaya negara melindungi hak asasi rakyat. Pandangan right to development ini, betapapun diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, mensyaratkan sejumlah hal. Di antaranya, keharusan pemerintah melindungi hak hidup rakyat, hak berpendapat, serta hak untuk tidak didiskriminasi berdasarkan ras, suku, bahasa, agama, dan jenis kelamin.
Apalagi Indonesia telah meratifikasi Konvensi Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya serta menuangkannya dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005. Pembangunan yang tak mengedepankan hak warga negara bakal menjadi sorotan dunia. Gerakan menghukum negara atau korporasi yang tak menghargai HAM kini marak di dunia internasional.
Menggunakan argumentasi hak untuk membangun, Jokowi tampaknya tengah mencari pembenaran untuk menerapkan “pembangunanisme” secara hantam kromo. Prinsip “kerja, kerja, kerja” dalam praktiknya dipakai untuk menerapkan praktik kerja cepat dengan mengabaikan tata kelola pemerintah dan hak asasi manusia.
Membangun infrastruktur tanpa mengindahkan hak asasi mendatangkan banyak mudarat. Mengejar target pembangunan tanpa dialog dengan pemangku kepentingan hanya memunculkan luka. Jokowi tampaknya lupa, semasa menjadi Wali Kota Solo, ia pernah menata pasar dan merelokasi pedagang kaki lima di Solo dengan mengedepankan dialog.
Berbagai pembiaran terhadap pelanggaran hak asasi manusia merupakan catatan merah pemerintahan Jokowi. Janji Presiden untuk menuntaskan pelanggaran HAM berat pada masa lalu hingga kini tak terwujud. Yang terjadi malah sebaliknya: Jokowi merangkul para pelanggar HAM, termasuk dengan menjadikan mereka menteri dan penasihat presiden.
Pemerintah harus menghentikan semua praktik pelanggaran HAM. Di era Orde Baru, lebih dari tiga dasawarsa Indonesia menerapkan “pembangunanisme” yang mencederai hak asasi manusia. Tak selayaknya Jokowi mengulang langkah Soeharto itu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo