Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setujukah Anda beberapa pesantren diawasi untuk mengantisipasi terorisme? (24-31 Oktober 2005) | ||
Ya | ||
56,52% | 2.881 | |
Tidak | ||
43,24% | 2.204 | |
Tidak tahu | ||
0,24% | 12 | |
Total | 100% | 5.097 |
MULUTMU harimaumu. Kata-kata orang bijaksana itu tampaknya perlu diingat oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla. Gara-gara ucapannya, orang kedua di negara ini menuai kemarahan dari kalangan Islam, terutama para pengasuh pondok pesantren. Mereka gusar dengan pernyataan Kalla bahwa pemerintah akan melakukan pengawasan terhadap pesantren-pesantren, terkait dengan penanganan isu terorisme.
KH Mustaqim, Pimpinan Pondok Pesantren (PP) Daarus Syahadah, Simo, Boyolali, menyebut Kalla sangat berlebihan dalam menilai keberadaan pesantren. Majelis Ulama Indonesia juga meminta Wakil Presiden mengklarifikasi pernyataan itu.
Pertemuan antara MUI dan Wakil Presiden berlangsung dua pekan silam. Dalam kesempatan itu, Kalla mengatakan dari 17 ribu pesantren yang ada di Indonesia, ada dua atau tiga yang ditengarai telah melakukan aktivitas pencucian otak dengan memberikan pengajaran yang keliru.
Dalam pertemuan itu, Wakil Presiden tidak menyebut nama pesantren yang ia anggap menyimpang. Kalla sendiri membantah bahwa ia pernah berniat melakukan pembatasan terhadap pesantren, seperti dikutip oleh media massa.
Seusai klarifikasi, MUI menyatakan tak ingin menghambat langkah-langkah pemerintah dalam memberangus terorisme. ”Tapi harus ditempuh dengan cara-cara yang bijaksana. Harus dihindari juga ucapan yang di belakang hari dapat menimbulkan masalah,” kata Ichwan.
Selesaikah masalah selip lidah sang Wakil Presiden? Tampaknya tidak untuk sebagian kalangan. Pengasuh Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngruki, Ustad Wahyuddin, mengatakan, ”Pernyataan Wapres yang mengarahkan tindakan terorisme ke lembaga pesantren telah memberikan imbas yang sangat buruk pada pesantren,” kata Wahyuddin.
Dalam jajak pendapat Tempo Interaktif, jumlah responden yang setuju dan yang kontra terhadap gagasan pengawasan pesantren hampir berimbang. Mereka yang setuju biasanya mengaitkan upaya pengawasan dengan pembatasan ajaran radikal. ”Kita tidak perlu malu belajar dari Malaysia atau Orde Baru,” ujar Santi, responden di Malang. Sedangkan responden yang tak setuju dengan gagasan pengawasan menyatakan alasan penolakan mereka karena usul itu merupakan ”titipan” negara-negara asing.
Indikator Pekan Ini: Dua pekan lalu teror kembali menghantui Poso. Tiga mayat perempuan remaja ditemukan tanpa kepala. Pembunuhan ketiga gadis itu merupakan rangkaian terbaru tindak kekerasan di Poso, yang pernah tercabik konflik antar-umat beragama. Sejak awal tahun ini, Poso diguncang berbagai aksi kekerasan, mulai dari pembunuhan polisi hingga peledakan bom di sebuah angkutan kota. Tak mengherankan bila Wakil Presiden dan Kepala Polri merasa perlu bertandang ke Poso untuk menenangkan suasana. Ketua Kaukus Daerah Konflik dan Pasca Konflik Dewan Perwakilan Daerah (DPD), M. Ichsan Loulembah, menganggap kunjungan dan pernyataan para pejabat tinggi itu tak cukup ampuh untuk menormalkan kembali Poso. Ichsan menganggap perlu ada badan khusus untuk menyelesaikan konflik di Poso dan di seluruh Sulawesi Tengah. Apakah Anda setuju dengan usul pembentukan badan khusus untuk menangani konflik kekerasan yang terjadi di Poso dan seluruh Sulawesi Tengah? Kami tunggu jawaban dan komentar Anda di www.tempointeraktif.com |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo