Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Anda, rasionalkah kekhawatiran munculnya militerisme karena adanya calon presiden dari kalangan militer? (23 - 30 April 2004) | ||
Ya | ||
64.24% | 600 | |
Tidak | ||
34.26% | 320 | |
Tidak tahu | ||
1.50% | 14 | |
Total | 100% | 934 |
Melajunya Jenderal (Purn.) Wiranto dan Jenderal (Purn.) Susilo Bambang Yudhoyono sebagai calon presiden memancing kontroversi. Masuknya dua jenderal purnawirawan itu membangkitkan kekhawatiran sebagian orang tentang bahaya militerisme yang mungkin muncul jika keduanya terpilih sebagai orang nomor satu di republik ini.
Cendekiawan Nurcholish Madjid mengaku bisa memahami kekhawatiran ini. Bangsa Indonesia, kata Cak Nur, panggilan akrab Nurcholish, memang memiliki pengalaman traumatik di bawah kepemimpinan rezim militer selama lebih dari tiga puluh tahun. Rasa waswas ini juga beralasan karena memang tidak ada jaminan bahwa militerisme tidak akan bangkit kembali.
Responden yang mengikuti polling Tempo Interaktif pekan lalu menyiratkan pandangan serupa. Mayoritas responden menilai kekhawatiran itu sangat masuk akal. ?Kalau SBY atau Wiranto, maka besar kemungkinan militerisme akan kembali lagi,? kata M. Iqbal, responden asal Bekasi.
Namun, tak semua menyiratkan pesimisme. ?Tidak semuanya sosok presiden yang berlatar belakang militer bersifat otoriter,? kata responden asal Sydney, Ryo. Cak Nur juga memberikan catatan bahwa tak selamanya pensiunan militer itu militeristik. Ia memberi amsal Eisenhower. Ketika menjadi Presiden Amerika Serikat, dia dikenal demokratis dan sama sekali tidak menunjukkan wajah militeristik.
Bagi Cak Nur, yang terpenting saat ini adalah bagaimana mengontrol siapa pun yang kelak bakal memerintah. Sudah menjadi pemahaman umum bahwa kekuasaan itu memang cenderung korup. Tak peduli militer atau sipil pemenangnya. Dan itu bisa membesar jika tidak dikontrol. Untuk itulah, kata Cak Nur, perlu ada oposisi.
Indikator Pekan Ini: Ambon membara lagi. Pemicunya adalah peringatan hari ulang tahun RMS, 25 April lalu. Upacara pengibaran bendera itu akhirnya berbuntut bentrokan dan kerusuhan. Hingga hari keempat, korban meninggal sudah 30-an orang dan ratusan orang luka-luka. Tak hanya itu. Jumlah warga yang meninggalkan rumah dan menjadi pengungsi juga mulai bertambah. Insiden ini sangat disayangkan. Sebab, luka masyarakat daerah ini belum sepenuhnya pulih setelah didera konflik dan kerusuhan sejak 1999. Bahkan, masih ribuan orang yang menjadi pengungsi akibat kerusuhan lalu. Konflik yang dipicu oleh peristiwa 25 April itu jelas memperparah luka dan penderitaan warga di daerah ini. Bagaimana Anda menilai penanganan pemerintah dalam masalah ini? Maksimalkah? Kami tunggu pendapat Anda di www.tempo.co.id. |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo