DESA Lam Pulo di Aceh Besar, terletak tidak jauh dari pantai.
Sebagian besar penduduk desa itu agaknya kurang senang
merindangi pekarangan dengan pohon-pohon. Tetapi itu bukan
berarti pekarangan yang minus pohon tidak ada gunanya. Sebab
begitu matahari memancarkan panasnya, wanita-wanita pun menjemur
ikan di halaman rumah, di atas para-para bambu.
Bila senja tiba atau mendung menggantung di udara, dengan sigap
mereka membenahi barisan ikan tersebut. Sebab kena siraman
gerimis sedikit saja, berarti mubazir kerja berhari-hari.
Pengeringan secara alami ini bisa dilakukan dalam waktu seminggu
atau lebih. Ikan pun menjadi kaku dan keras.
Tapi proses pengolahan belumlah rampung. Agar lebih awet,
ikan-ikan itu harus "dibedaki" dengan abu dapur. Akhir-akhir ini
abu dari kayu bakar dapur itu diganti dengan tepung tapioka.
"Tapioka lebih mudah didapat, dari pada abu kayu api," ujar
Ilyas, pengolah ikan yang dikeringkan ini. Dan itulah sebagian
dari pengolahan ikan kayu -yang di Aceh dinamai keumamah.
Penggantian abu kayu dengan tepung tapioka, sangat mempengaruhi
mutu ikan kayu. Kalau ikan dipoles dengan abu kayu, dia akan
bisa bertahan sampai satu tahun. Sedang dengan tapioka,
salah-salah ikan kering itu malah berbelatung.
Ikan tongkol adalah bahan baku ikan kayu. Proses pembuatannya
tidak sulit. Ikan tongkol yang berukuran sedang atau besar, dan
segar, dibersihkan. Kemudian direbus dalam kuali besar bercampur
daun belimbing atau daun nangka, agar ikan tidak luluh.
"Dagingnya tidak pecah," kata Nyak Raden, salah seorang pengolah
keumamah, "Tapi tulangnya bisa empuk seperti Ikan sarden.
Setelah masak, kepala ikan dibuang. Sebelum dijemur, diperciki
minyak goreng sedikit.
Sinar matahari yang terik membuat keumamah itu cepat kering dan
tidak berbau. Akhirnya ikan itu pun dibedaki dengan abu
dapur--untuk selanjutnya kembali dijemur.
Pengeringan yang lebih bagus, adalah dengan diasapi. "Seperti
mengasapkan karet," kata Ilyas. "Tapi proses penasapan ini
makan biaya yang lebih besar lagi karena butuh kayu bakar
banyak," sambung Ilyas. "Dan kami kini tidak bisa melakukannya
lagi."
Bank Dunia
Ikan kayu atau keumamah adalah hidangan istimewa bagi orang
Aceh. Setelah diiris-iris, keumamab akan terasa lebih lezat
kalau diolah menjadi sambal asam, sambal kelapa atau sayur
lemak.
Ikan kayu bisa dihidangkan secara mentah atau digoreng bila
ingin lebih tahan lama lagi. "Ikan kayu adalah logistik yang
penting di saat perang Aceh dulu," ujar Teuku Ali Basyah, 56
tahun. Bekas Humas Pemda Tingkat I Aceh dan juga pernah menulis
sejarah Aceh ini, juga tidak tahu kapan orang Aceh mulai
mengenal ikan kayu yang biasa juga dinamai ikan perang. Jamaah
haji Aceh umumnya tak lupa membawa ikan yang sudah diawetkan
ini.
Kepandaian mengolah ikan ini diduga berasal dari orang Gujarat
yang di abad ke-13 datang ke Aceh untuk menyebarkan agama Islam.
"Sebab," kata Teuku Ali pula, "dahulu orang Aceh memberi nama
dengan sebutan keumamah keling." Hal ini dibenarkan Teuku Abdul
Djalil, seorang sejarahwan Aceh. Apalagi banyak pedagang Gujarat
itu kemudian menikah dengan wanita Aceh.
Sayangnya setelah melewati sejarah cukup panjang, tampaknya kini
keumamah kehilangan pamor. Artinya, semakin sedikit orang yang
mengolahnya. Mungkin karena sekarang telah didesak ikan-ikan
dalam kaleng. Dahulu, keumamah diproduksi secara massal di
hampir setiap rumahrangga di Aceh, terutama daerah pantai.
"Dahulu setiap ibu rumahtangga Aceh, pandai membuat keumamah,"
kata Teuku Ali, "tapi kini cuma sedikit ibu rumahtangga yang
masih bisa membikin keumamah."
Padahal keumamah sudah terkenal di berbagai negara. Bahkan
Jepang bersedia mengimpor 200 ton keumamah setiap tahun.
Sementara itu, selain pembuatnya makin langka, bahannya, ikan
tongkol, sukar didapat. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan
penggemar-penggemar keumamah di dalam negeri saja cukup sulit.
Kuwalahan
Kegandrungan orang Jepang akan ikan kayu ini sehingga ingin
mengimpornya, tentulah karena pengalaman beberapa serdadu Jepang
waktu menduduki Aceh dalam Perang Dunia II. Lebih-lebih lagi
karena beberapa tahun yang lalu PT Aduma iaga mengadakan
pameran bahan makanan Indonesia di Tokyo. Di samping emping atau
krupuk, dipamerkan pula ikan kayu ini. Ternyata banyak peminat,
terutama bekas serdadu Jepang yang pernah mencicipinya.
Aduma Niaga kemudian kuwalahan ketika Jepang minta sekian puluh
ton ikan kayu yang berkualitas top. Para produsen ikan kayu pun
tak sanggup. Sebab tongkol hanya bisa didapat dalam kuartal
tertentu dalam setahun, meskipun keuntungan bisa dihitung jelas
di atas kertas. Sebab harga pasaran lokal saja sudah sekitar Rp
2.500 sampai Rp 4.000 setiap kilo.
Bank Dunia pun turut campur menggalakkan ekspor ikan kayu ini.
Lewat BRI, ada 17 orang pengolah ikan kayu yang telah menerima
paket kredit mulai dari Rp 2 juta sampai Rp 25 juta. Tapi
ternyata ekspor belum juga berjalan. "Kami hanya bisa melayani
kebutuhan lokal," tutur Ben Usman, salah seorang penerima
kredit. Malahan menjelang musim haji, ikan kayu hilang dari
seluruh pasar di Aceh. Tapi bagaimanapun juga Bank Dunia dan BRI
berpendapat, dengan adanya kredit tadi, gairah mengolah keumamah
mulai bertambah.
Di Lam Pulo, baru separuh dari pengolah ikan kayu yang
memanfaatkan kredit tersebut. Padahal di desa ini terdapat
sekitar 30 perusahaan ikan kayu. Di Sigli (Aceh Pidie ) dan
beberapa desa pantai lainnya cuma diolah secara kecil-kecilan
saja. Artinya hanya berupa indusrri rumahtangga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini