Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Menyantap Keumamah Aceh

Proses pengolahan ikan kayu (keumamah), lauk tradisional orang Aceh, penggarapnya semakin langka, Bank Dunia turut menggalakkan produksinya. (ils)

24 Oktober 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DESA Lam Pulo di Aceh Besar, terletak tidak jauh dari pantai. Sebagian besar penduduk desa itu agaknya kurang senang merindangi pekarangan dengan pohon-pohon. Tetapi itu bukan berarti pekarangan yang minus pohon tidak ada gunanya. Sebab begitu matahari memancarkan panasnya, wanita-wanita pun menjemur ikan di halaman rumah, di atas para-para bambu. Bila senja tiba atau mendung menggantung di udara, dengan sigap mereka membenahi barisan ikan tersebut. Sebab kena siraman gerimis sedikit saja, berarti mubazir kerja berhari-hari. Pengeringan secara alami ini bisa dilakukan dalam waktu seminggu atau lebih. Ikan pun menjadi kaku dan keras. Tapi proses pengolahan belumlah rampung. Agar lebih awet, ikan-ikan itu harus "dibedaki" dengan abu dapur. Akhir-akhir ini abu dari kayu bakar dapur itu diganti dengan tepung tapioka. "Tapioka lebih mudah didapat, dari pada abu kayu api," ujar Ilyas, pengolah ikan yang dikeringkan ini. Dan itulah sebagian dari pengolahan ikan kayu -yang di Aceh dinamai keumamah. Penggantian abu kayu dengan tepung tapioka, sangat mempengaruhi mutu ikan kayu. Kalau ikan dipoles dengan abu kayu, dia akan bisa bertahan sampai satu tahun. Sedang dengan tapioka, salah-salah ikan kering itu malah berbelatung. Ikan tongkol adalah bahan baku ikan kayu. Proses pembuatannya tidak sulit. Ikan tongkol yang berukuran sedang atau besar, dan segar, dibersihkan. Kemudian direbus dalam kuali besar bercampur daun belimbing atau daun nangka, agar ikan tidak luluh. "Dagingnya tidak pecah," kata Nyak Raden, salah seorang pengolah keumamah, "Tapi tulangnya bisa empuk seperti Ikan sarden. Setelah masak, kepala ikan dibuang. Sebelum dijemur, diperciki minyak goreng sedikit. Sinar matahari yang terik membuat keumamah itu cepat kering dan tidak berbau. Akhirnya ikan itu pun dibedaki dengan abu dapur--untuk selanjutnya kembali dijemur. Pengeringan yang lebih bagus, adalah dengan diasapi. "Seperti mengasapkan karet," kata Ilyas. "Tapi proses penasapan ini makan biaya yang lebih besar lagi karena butuh kayu bakar banyak," sambung Ilyas. "Dan kami kini tidak bisa melakukannya lagi." Bank Dunia Ikan kayu atau keumamah adalah hidangan istimewa bagi orang Aceh. Setelah diiris-iris, keumamab akan terasa lebih lezat kalau diolah menjadi sambal asam, sambal kelapa atau sayur lemak. Ikan kayu bisa dihidangkan secara mentah atau digoreng bila ingin lebih tahan lama lagi. "Ikan kayu adalah logistik yang penting di saat perang Aceh dulu," ujar Teuku Ali Basyah, 56 tahun. Bekas Humas Pemda Tingkat I Aceh dan juga pernah menulis sejarah Aceh ini, juga tidak tahu kapan orang Aceh mulai mengenal ikan kayu yang biasa juga dinamai ikan perang. Jamaah haji Aceh umumnya tak lupa membawa ikan yang sudah diawetkan ini. Kepandaian mengolah ikan ini diduga berasal dari orang Gujarat yang di abad ke-13 datang ke Aceh untuk menyebarkan agama Islam. "Sebab," kata Teuku Ali pula, "dahulu orang Aceh memberi nama dengan sebutan keumamah keling." Hal ini dibenarkan Teuku Abdul Djalil, seorang sejarahwan Aceh. Apalagi banyak pedagang Gujarat itu kemudian menikah dengan wanita Aceh. Sayangnya setelah melewati sejarah cukup panjang, tampaknya kini keumamah kehilangan pamor. Artinya, semakin sedikit orang yang mengolahnya. Mungkin karena sekarang telah didesak ikan-ikan dalam kaleng. Dahulu, keumamah diproduksi secara massal di hampir setiap rumahrangga di Aceh, terutama daerah pantai. "Dahulu setiap ibu rumahtangga Aceh, pandai membuat keumamah," kata Teuku Ali, "tapi kini cuma sedikit ibu rumahtangga yang masih bisa membikin keumamah." Padahal keumamah sudah terkenal di berbagai negara. Bahkan Jepang bersedia mengimpor 200 ton keumamah setiap tahun. Sementara itu, selain pembuatnya makin langka, bahannya, ikan tongkol, sukar didapat. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan penggemar-penggemar keumamah di dalam negeri saja cukup sulit. Kuwalahan Kegandrungan orang Jepang akan ikan kayu ini sehingga ingin mengimpornya, tentulah karena pengalaman beberapa serdadu Jepang waktu menduduki Aceh dalam Perang Dunia II. Lebih-lebih lagi karena beberapa tahun yang lalu PT Aduma iaga mengadakan pameran bahan makanan Indonesia di Tokyo. Di samping emping atau krupuk, dipamerkan pula ikan kayu ini. Ternyata banyak peminat, terutama bekas serdadu Jepang yang pernah mencicipinya. Aduma Niaga kemudian kuwalahan ketika Jepang minta sekian puluh ton ikan kayu yang berkualitas top. Para produsen ikan kayu pun tak sanggup. Sebab tongkol hanya bisa didapat dalam kuartal tertentu dalam setahun, meskipun keuntungan bisa dihitung jelas di atas kertas. Sebab harga pasaran lokal saja sudah sekitar Rp 2.500 sampai Rp 4.000 setiap kilo. Bank Dunia pun turut campur menggalakkan ekspor ikan kayu ini. Lewat BRI, ada 17 orang pengolah ikan kayu yang telah menerima paket kredit mulai dari Rp 2 juta sampai Rp 25 juta. Tapi ternyata ekspor belum juga berjalan. "Kami hanya bisa melayani kebutuhan lokal," tutur Ben Usman, salah seorang penerima kredit. Malahan menjelang musim haji, ikan kayu hilang dari seluruh pasar di Aceh. Tapi bagaimanapun juga Bank Dunia dan BRI berpendapat, dengan adanya kredit tadi, gairah mengolah keumamah mulai bertambah. Di Lam Pulo, baru separuh dari pengolah ikan kayu yang memanfaatkan kredit tersebut. Padahal di desa ini terdapat sekitar 30 perusahaan ikan kayu. Di Sigli (Aceh Pidie ) dan beberapa desa pantai lainnya cuma diolah secara kecil-kecilan saja. Artinya hanya berupa indusrri rumahtangga.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus