Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

De-sadatisasi husni mubarak ?

Politik dan ekonomi yang dijalankan sadat bertolak dari kebijaksanaan pendahulunya, de-nasserisasi. umumnya para pengamat yakin, jika husni mubarak pun akan meneruskan politik sadat, de-sadatisasi.

24 Oktober 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DR. M. Amien Rais, 37 tahun, adalah sarjana Sos-Pol UGM. Gelar doktor diraihnya awal tahun ini dari Uniersitas Chiago, AS, dengan disertasi 'The Muslim Brotherhood in Egypt Its Rise. Demise and a Resurgence. " Ia sekarang dosen di Fakultas Sos-Pol UGM. Berikut ini tinjauannya tentang Mesir setelah Sadat - tulisan pertamanya untuk TEMPO. KETIKA Anwar Sadat menggantikan Gamal Abdul Nassier pada 1970, paling tidak ada tiga kebijaksanaan politik dan ekonominya yang bertolak belakang dengan kebijaksanaan pendahulunya Pertama, Sadat mencoba mengubah wajah politik Mesir yang terlalu otoriter dan represif dengan melakukan demokratisasi bertahap. Kamp-kamp konsentrasi Nasser dihancurkan. Ribuan tahanan politik dilepaskan dan perlahan-lahan dibentuk manabir atau mimbar-mimbar dalam Majelis Rakyat yang dianggap bisa mewakili berbagai aspirasi rakyat dan sekaligus dyadikan cikal-bakal partai-partai baru--setelah Arab Socialist Union satu-satunya wadah kekuatan politik Mesir, dibubarkan. Kedua, Sadat berhasil mengubah politik luar negeri Mesir yang pro-Soviet menjadi pro-Amerika. Di samping itu negara-negara Arab moderat dan konservatif seperti Arab Saudi, Yordan dan Kuwait, yang membenci Mesir di masa Nasser, menjalin hubungan akrab di zaman Sadat. Ketiga, kebijaksanaan politik pintu terbuka di bidang ekonomi ditempuh Sadat dan berhasil mendatangkan investasi modal asing, memajukan turisme dan memperbesar volume perdagangan dengan negara-negara Barat maupun negaranegara Arab moderat. Rangkaian kebijaksanaan Sadat ini sering disebut 'de-Nasserisasi'. Sebelum Sadat melakukan perjalanan historisnyake Israel November 1977, sesungguhnya lawan politiknya di dalam negeri sudah cukup banyak. Paling tidak Aliansi Progresif Nasional yang merupakan kekuatan gabungan kaum marxis, sosialis. Nasseris dan sebagian kelompok Islam progresif yang ditokohi Khalid Muhyiddin. Begitu pula Partai Neo-Wafd yang dipimpin Fuad Sirajuddin dan Ibrahim Faraj. Juga terutama al-Ikhwan al-Muslimun, kekuatan politik paling potensial pimpinan Umar Tilmisani dan Salih Asmawi. Permusuhan mereka terhadap Sadat dengan alasan berbeda-beda. Aliansi kiri menuduh Sadat, dengan politik pintu terbukanya, telah menjadikan Mesir suatu neokoloni atau komprador yang melayani kepentingan ekonomi kapitalis. Sedangkan Partai Neo-Wafd yang punya riwayat korupsi itu merasa bisa lebih mampu dari Partai Nasional Demokrasinya Sadat dalam memecahkan masalah-masalah nasional Mesir. Adapun Ikhwan memandang pemerintahan Sadat telah terlalu sekularistis, sehingga kemungkinan aplikasi shariah Islam menjadi semakin jauh. Walau demikian, ternyata bagi rakyat banyak, masalah Mesir pada dasarnya adalah masalah ekonomi yang runyam. Gara-gara pemerintah menaikkan harga kebutuhan pokok dalam suasana stagflasi ekonomi yang seolah tanpa jalan keluar, terjadilah "Malari" 1977-yang menyebabkan puluhan gerbong kereta api hangus dan sejumlah pusat pertokoan di downtown Kairo hancur berantakan. Otak "Malari Mesir" 1977 adalah kaum marxis. Sementara itu di Mesir tumbuh semacam radikalisasi di kalangan kelompok-kelompok kiri maupun kelompok Islam picik seperti Jamaah Takfir wal Hijrah (Perkumpulan Taubat dan Hijrah dari Dosa) yang dipimpin Syaich Ahmad Syukri. Jamaah ini pada September 1977 mengejutkan rakyat Mesir dengan membunuh Dr. Mohammad Zahabi, bekas menteri wakaf. Pendukung jamaah tidak saja datang dari daerah urbn tapi juga dari beherapa pedesaan. Setelah Sadat membuka inisiatif perdamaian dengan Israel, prahara oposisi datang dari negara-negara Arab: Dan musuh Sadat di dalam negeri pun bertambah. Kaum intelektual para mahaguru dan sebagian mahasiswa secara prinsip nampaknya menerima alasan Sadat, bahwa untuk membangun ekonomi Mesir, perdamaian dengan Israel adalah suatu condtio sine qua non. Akan tetapi cara-cara yang ditempuh Sad.lt telah dianggap oleh mereka sebagai suatu penjualan martabat nasional Mesir pada Israel. Bagi negara miskin seperti Mesir, pengeluaran anggaran pertahanan sebanyak 45 milyar dollar selama 1967-1974 jelas menghambat pertumbuhan ekonominya. Mula-mula dukungan 'orang kampus' atas usaha perdamaian Sadat cukup kuat, terutama setelah Sadat kembali dari Yerusalem pada November 1977. Namun setelah kelihatan bahwa Sadat memburu "damai asal damai" dengan Israel peace at any cost), dukungan itu lantas cepat memudar. Walaupun harus segera dicatat, bahwa bagi kebanyakan rakyat Mesir usaha Sadat untuk mencapai perdamaian dengan Israel tetap didukung, sampai ia meninggal. Dengan meninggalnya Sadat banyak masalah pelik yang akan diwarisi penggantinya. Pertama, adalah proses perdamaian dengan Israel yang telah mengalami stalenate alias jalan buntu. Bila persetujuan Camp David bertujuan perdamaian komprehensif antara negara-negara Arab dan Israel, persetujuan itu.telah gagal. Bahkan perdamaian penuh dan tuntas antara Mesir dan Israel masih harus mengalami jalan berliku-liku. Diperlukan kesungguhan Amerika untuk menekan Israel agar mau memberikan konsesi-konsesi supaya Mesir tidak kecewa. Mesir sekarang sudah mulai meragukan komitmen Israel bahwa dalam masa transisi lima tahun mendatang, Israel benarbenar akan menarik pendudukan militer dan administrasi sipilnya dari West Bank dan Gaza Strip. Kedua, belum ada titik-titik cerah bagi ekonomi Mesir. Kenaikan gaji buruh dan pegawai sebanyak 10% tahun lalu tidak bisa mengejar angka inflasi 30%. Setelah persetujuan Camp David, bantuan negara-negara Arab yang berjumlah rata-rata 1,5 milyar dollar setahun ditarik dan kemudian diganti bantuan Amerika yang lebih kecil berjumlah 1 milyar dollar per tahun--dimulai sejak 1978. Padahal, seperti kata Sadat, diperlukan semacam Marshal Plan untuk Mesir yang hernilai 15 milyar guna menolong ekonomi Mesir untuk jangka waktu lima tahun. Ketiga, polarisasi kekuatan-kekuatan sosial-politik kelihatannya bukan mereda, malahan semakin tajam. Konflik antara kaum kiri, kaum fundamentalis Muslim dan kaum ekstrim Koptik yang ingin mendirikan negara sendiri, kelihatannya makin nyata dengan letupan-letupan konfrontasi fisik. Sudah barang tentu di samping tiga masalah besar ini, tarikan dari negara-negara Arab untuk mengembalikan Mesir ke pangkuan Arab pasti akan semakin besar setelah Anwar Sadat tidak ada. Umumnya para pengamat yakin, jika Husni Mubarak dipilih menjadi presiden, ia pasti akan meneruskan politik Sadat. Belum tentu. Mubarak seorang pendiam yang sulit ditebak. Ketika Sadat baru saja jadi presiden, ia menegaskan bahwa politik dalam dan luar negeri Nasser tidak akan diubah. Orang percaya, karena ketika Sadat jadi wapres, ia nampak jatuh di bawah bayangan Nasser. Tetapi yang terjadi kemudian adalah de-Nasserisasi. Nah apakah Mubarak yang selama ini jatuh di bawah bayangan Sadat benar-benar akan merleruskan politik Sadat seperti diduga oleh kebanyakan orang--atau lantas melakukan langkah de-Sadatisasi setelah ia berhasil mengkonsolidasi kekuasaannya nanti? Wallahu 'alam.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus