DR. M. Amien Rais, 37 tahun, adalah sarjana Sos-Pol UGM. Gelar
doktor diraihnya awal tahun ini dari Uniersitas Chiago, AS,
dengan disertasi 'The Muslim Brotherhood in Egypt Its Rise.
Demise and a Resurgence. " Ia sekarang dosen di Fakultas Sos-Pol
UGM.
Berikut ini tinjauannya tentang Mesir setelah Sadat - tulisan
pertamanya untuk TEMPO.
KETIKA Anwar Sadat menggantikan Gamal Abdul Nassier pada
1970, paling tidak ada tiga kebijaksanaan politik dan ekonominya
yang bertolak belakang dengan kebijaksanaan pendahulunya
Pertama, Sadat mencoba mengubah wajah politik Mesir yang terlalu
otoriter dan represif dengan melakukan demokratisasi bertahap.
Kamp-kamp konsentrasi Nasser dihancurkan. Ribuan tahanan politik
dilepaskan dan perlahan-lahan dibentuk manabir atau
mimbar-mimbar dalam Majelis Rakyat yang dianggap bisa mewakili
berbagai aspirasi rakyat dan sekaligus dyadikan cikal-bakal
partai-partai baru--setelah Arab Socialist Union satu-satunya
wadah kekuatan politik Mesir, dibubarkan.
Kedua, Sadat berhasil mengubah politik luar negeri Mesir yang
pro-Soviet menjadi pro-Amerika. Di samping itu negara-negara
Arab moderat dan konservatif seperti Arab Saudi, Yordan dan
Kuwait, yang membenci Mesir di masa Nasser, menjalin hubungan
akrab di zaman Sadat.
Ketiga, kebijaksanaan politik pintu terbuka di bidang ekonomi
ditempuh Sadat dan berhasil mendatangkan investasi modal asing,
memajukan turisme dan memperbesar volume perdagangan dengan
negara-negara Barat maupun negaranegara Arab moderat. Rangkaian
kebijaksanaan Sadat ini sering disebut 'de-Nasserisasi'.
Sebelum Sadat melakukan perjalanan historisnyake Israel November
1977, sesungguhnya lawan politiknya di dalam negeri sudah cukup
banyak. Paling tidak Aliansi Progresif Nasional yang merupakan
kekuatan gabungan kaum marxis, sosialis. Nasseris dan sebagian
kelompok Islam progresif yang ditokohi Khalid Muhyiddin. Begitu
pula Partai Neo-Wafd yang dipimpin Fuad Sirajuddin dan Ibrahim
Faraj. Juga terutama al-Ikhwan al-Muslimun, kekuatan politik
paling potensial pimpinan Umar Tilmisani dan Salih Asmawi.
Permusuhan mereka terhadap Sadat dengan alasan berbeda-beda.
Aliansi kiri menuduh Sadat, dengan politik pintu terbukanya,
telah menjadikan Mesir suatu neokoloni atau komprador yang
melayani kepentingan ekonomi kapitalis. Sedangkan Partai
Neo-Wafd yang punya riwayat korupsi itu merasa bisa lebih mampu
dari Partai Nasional Demokrasinya Sadat dalam memecahkan
masalah-masalah nasional Mesir.
Adapun Ikhwan memandang pemerintahan Sadat telah terlalu
sekularistis, sehingga kemungkinan aplikasi shariah Islam
menjadi semakin jauh. Walau demikian, ternyata bagi rakyat
banyak, masalah Mesir pada dasarnya adalah masalah ekonomi yang
runyam. Gara-gara pemerintah menaikkan harga kebutuhan pokok
dalam suasana stagflasi ekonomi yang seolah tanpa jalan keluar,
terjadilah "Malari" 1977-yang menyebabkan puluhan gerbong kereta
api hangus dan sejumlah pusat pertokoan di downtown Kairo hancur
berantakan. Otak "Malari Mesir" 1977 adalah kaum marxis.
Sementara itu di Mesir tumbuh semacam radikalisasi di kalangan
kelompok-kelompok kiri maupun kelompok Islam picik seperti
Jamaah Takfir wal Hijrah (Perkumpulan Taubat dan Hijrah dari
Dosa) yang dipimpin Syaich Ahmad Syukri. Jamaah ini pada
September 1977 mengejutkan rakyat Mesir dengan membunuh Dr.
Mohammad Zahabi, bekas menteri wakaf. Pendukung jamaah tidak
saja datang dari daerah urbn tapi juga dari beherapa
pedesaan.
Setelah Sadat membuka inisiatif perdamaian dengan Israel,
prahara oposisi datang dari negara-negara Arab: Dan musuh Sadat
di dalam negeri pun bertambah. Kaum intelektual para mahaguru
dan sebagian mahasiswa secara prinsip nampaknya menerima alasan
Sadat, bahwa untuk membangun ekonomi Mesir, perdamaian dengan
Israel adalah suatu condtio sine qua non. Akan tetapi cara-cara
yang ditempuh Sad.lt telah dianggap oleh mereka sebagai suatu
penjualan martabat nasional Mesir pada Israel.
Bagi negara miskin seperti Mesir, pengeluaran anggaran
pertahanan sebanyak 45 milyar dollar selama 1967-1974 jelas
menghambat pertumbuhan ekonominya. Mula-mula dukungan 'orang
kampus' atas usaha perdamaian Sadat cukup kuat, terutama setelah
Sadat kembali dari Yerusalem pada November 1977. Namun setelah
kelihatan bahwa Sadat memburu "damai asal damai" dengan Israel
peace at any cost), dukungan itu lantas cepat memudar. Walaupun
harus segera dicatat, bahwa bagi kebanyakan rakyat Mesir usaha
Sadat untuk mencapai perdamaian dengan Israel tetap didukung,
sampai ia meninggal.
Dengan meninggalnya Sadat banyak masalah pelik yang akan
diwarisi penggantinya. Pertama, adalah proses perdamaian dengan
Israel yang telah mengalami stalenate alias jalan buntu. Bila
persetujuan Camp David bertujuan perdamaian komprehensif antara
negara-negara Arab dan Israel, persetujuan itu.telah gagal.
Bahkan perdamaian penuh dan tuntas antara Mesir dan Israel masih
harus mengalami jalan berliku-liku. Diperlukan kesungguhan
Amerika untuk menekan Israel agar mau memberikan konsesi-konsesi
supaya Mesir tidak kecewa. Mesir sekarang sudah mulai meragukan
komitmen Israel bahwa dalam masa transisi lima tahun mendatang,
Israel benarbenar akan menarik pendudukan militer dan
administrasi sipilnya dari West Bank dan Gaza Strip. Kedua,
belum ada titik-titik cerah bagi ekonomi Mesir.
Kenaikan gaji buruh dan pegawai sebanyak 10% tahun lalu tidak
bisa mengejar angka inflasi 30%. Setelah persetujuan Camp David,
bantuan negara-negara Arab yang berjumlah rata-rata 1,5 milyar
dollar setahun ditarik dan kemudian diganti bantuan Amerika yang
lebih kecil berjumlah 1 milyar dollar per tahun--dimulai sejak
1978. Padahal, seperti kata Sadat, diperlukan semacam Marshal
Plan untuk Mesir yang hernilai 15 milyar guna menolong ekonomi
Mesir untuk jangka waktu lima tahun.
Ketiga, polarisasi kekuatan-kekuatan sosial-politik kelihatannya
bukan mereda, malahan semakin tajam. Konflik antara kaum kiri,
kaum fundamentalis Muslim dan kaum ekstrim Koptik yang ingin
mendirikan negara sendiri, kelihatannya makin nyata dengan
letupan-letupan konfrontasi fisik. Sudah barang tentu di samping
tiga masalah besar ini, tarikan dari negara-negara Arab untuk
mengembalikan Mesir ke pangkuan Arab pasti akan semakin besar
setelah Anwar Sadat tidak ada.
Umumnya para pengamat yakin, jika Husni Mubarak dipilih menjadi
presiden, ia pasti akan meneruskan politik Sadat. Belum tentu.
Mubarak seorang pendiam yang sulit ditebak. Ketika Sadat baru
saja jadi presiden, ia menegaskan bahwa politik dalam dan luar
negeri Nasser tidak akan diubah. Orang percaya, karena ketika
Sadat jadi wapres, ia nampak jatuh di bawah bayangan Nasser.
Tetapi yang terjadi kemudian adalah de-Nasserisasi. Nah apakah
Mubarak yang selama ini jatuh di bawah bayangan Sadat
benar-benar akan merleruskan politik Sadat seperti diduga oleh
kebanyakan orang--atau lantas melakukan langkah de-Sadatisasi
setelah ia berhasil mengkonsolidasi kekuasaannya nanti? Wallahu
'alam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini