LIMA BELAS TAHUN DIGUL KAMP KONSENTRASI DI NIEUW GUINEA--TEMPAT
PERSEMAIAN KEMERDEKAAN
Oleh: I.F. M. Chalid Salim
Penerbit: Bulan Bintang Cetakan I, Jakarta, 1977 536 hlm,
20,5x 14cm.
SOETAN Sjahrir ada menulis satu hal di dalam risalahnya
Periuangan Kita--awal Oktober 1945 . Bahwa lama sebelum Adolf
Hitler membangun tempat tawanan Auswitz dan Buchenwald
pemerintah Belanda telah membangun Boven Digoel (Digul Udik).
Sjahrir sendiri pernah kebagian didigulkan--bersama Drs.
Mohammad Hatta -- meski hanya dari Maret 1935 sampai Februari
1936 (h. 284).
Chalid Salim, saudara sepupu Sjahrir, mengamati kehidupan dan
derita manusia di Siberia Hijau ini dengan cermat. Gaya
penulisannya memang biasa-bias saja tidak sekuat gaya Sjahrir
di dalam Indonesiscbe Overpeinzingen (Renungan Indonesia). Tapi
di dalam satu hal ada kesamaan. Yakni sikap mereka memaafkan,
upi tidak melupakan (vereven, maar niet vergeten).
Terlalu Tegang
Sebagai pengamat, Chalid Salim mempunyai tilikan tajam--tapi tak
punya pengungkapan sastra. Hal terakhir ini diakuinya sendiri
dalam kata pengantarnya. Meski demikian, bukunya sebagai dokumen
insani sarat dengan kisah para pejuang kemerdekaan yang umumnya
bertulang punggung baja. Di tengah neraka kolonial mereka masih
giat membaca, mengikuti berbagai kursus bahasa dan pengetahuan
umum. Saraf mereka mungkin terlalu tegang, sebagaimana
dibuktikan oleh perkelahian-perkelahian berdarah sebagian dari
mereka. Tapi sebagai pejuang sebagian besar mereka tetap
orang-orang berkebudayaan, sebagaimana dinyatakan penulis (h.
284-285).
Buku Chalid Salim istimewa karena bukan buah renungan dan daya
citra, melainkan gumpalan keringat dan pengalaman. Dan meski
penuturannya bertolak dari aku, hakikatnya kita menghadapi
kami--semua pejuang dengan kaki terbenam di lumpur rawa-rawa
Digul, kepala berarak cita-cita kemerdekaan. Sebagian buangan
Digul disertai keluarga. Sesuai dengan pedoman filsafat
kesetiaan wanita Jawa kepada suami (suarga nunut, neraka katut =
ke surga ikut, ke neraka terbawa), sebagian istri memilih ikut
ke Digul. Di antara wanita yang ikut pada angkatan pertama
termasuk istri-istri Mas Marco Kartodikromo, Ali Archam dan
Sardjono. Tapi ketika Ali Archam tahu bahwa ia kejangkitan TBC,
ia mendesak istrinya, Ny. Salamah, pulang ke Madiun beserta
anak-agar mereka tetap sehat. Ketika anak-anak Sardjono yang
lahir di Digul (seorang lelaki, yang lain perempuan) berangkat
besar, ia mengirimkan istrinya, Ny. Mintarsih, pulang untuk
menyekolahkan mereka.
Sebelum terbit buku Chalid Salim tentang Digul satu-satunya
sumber adalah karya Dr. L.J.A. Schoonheyt, Boven Digoel (1936)
-- yang juga dimanfaatkan penulis sebagai sumber data dan
informasi. Tapi sepanjang keterangan yang saya peroleh dari
wawancara dengan banyak bekas Digulis, sebagian besar buku
Schoonheyt ditulis oleh penulis-penulis siluman (ghostwriters)
yang hasilnya dikompilasi dan diedit oleh dokter teosof human
tapi naif-kolonial itu. Berbeda dengan buku Schoonheyt, buku
Chalid Salim adalah karyanya sendiri. Ia bukan dokter yang dapat
membayar tapol-upol untuk menulis.
Tapi waktu yang memisahkan antara pengalaman- dan penulisan
cukup besar, sehina ingatannya di sana-sini luput--dalam
detil-detil. Sebagai sekedar contoh Toebagoes Ahmad Chatib (h.
283) yang disebut penulis anak Kiai Caringin, sebenarnya menantu
Kiai Caringin. Moehammad Ali (H. 282) yang disebutnya berasal
dari Jawa Tengah, sebenarnya dari Banten (Pandeglang). Seorang
antara 15 wanita yang dibuang dengan putusan pembuangan
(interneringsbeluit) sendiri, bukanlah Soekaisih (h. 303/310/
487/517), melainkan (Nyi Raden) Soekaesih dari Jakarta Pusat
(Batavia Centrum). Thomas Najoan (h. 282) bukan dari VSTP
(Vereniging van Staatsspoor--en Tramweg Personeel = Perhimpunan
Pegawai Kereta Api dan Trem), melainkan ketua Pengurus Besar
Sarekat Buruh Percetakan.
Kurang Patut
Mengenai terjemahan buku ini ke dalam bahasa Indonesia, umumnya
baik. Tapi terdapat juga beberapa kesalahan. Misalnya h. 317
Injil bukan terjemahan Bible (Biblia), karena Injil adalah
terjemahan Gospel (New Testament). Penggunaan kata pendeta untuk
pastor (h. 320) juga takkan diterima baik oleh umat Katolik,
karena pendeta sekarang ini khas Protestan. Demikian pula kata
ulama Katolik (h. 320) untuk pastor atau frater. Mengapa tidak
pastor atau rohaniawan? Kata pendakwah Protestan (h. 318) juga
dirasakan kurang patut. Mereka biasa mempergunakan istilah
penginjil atau pengabar injil (evangelist). Rendah diri (h. 512)
bukan terjemahan bescheiden, melainkan terjemahan minderwaardig.
Terjemahan bescheiden adalah rendah hati.
Betapapun buku ini berjasa menggambarkan -- secara pada umumnya
setia kepada fakta --suatu segi yang kurang dikenal dari
perjuangan kemerdekaan kita. Kesabaran Sjahrir menunggu waktu di
dalam politik, misalnya. Atau, kecenderungan Hatta kepada
filsafat di Tanah Merah.
Sebagai bahan baku untuk roman sejarah atau roman kehidupan,
buku tentang Siberia Hijau yang bernama Boven Digoel (Digul
Udik) ini alangkah kaya. K. Wiranta (Buron dari Boven Digoel)
dan Kwee Tek Hoay, Boven Digoel mencoba menggarap tema itu pada
taraf sastra yang rudimentet. Tapi manusia Chalid Salim sendiri
menyodorkan aspekaspek tertentu sesosok prototip tokoh sebuah
roman. Bagaimana melalui jalanan derita ia sampai kepada suatu
penyebalan dati rel iman yang dipilih semua kerabatnya,
misalnya.
Kalau ada kritik saya terhadap bulcu itu adalah nada-bawah
rujuknya (reconclatory undertone) yang kadang terasa
dicari-cari. Apa yang menjadi dasar pertimbangannya maka
demikian, hanya dapat dijawab dengan entah.
S.I. Poeradisastra
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini