PENGUSAHA kapal pengangkut kayu gelondongan (log carrier) banyak
yang mengeluh belakangan ini. "Tak ada muatan, sedangkan kredit
dari Bapindo harus dibayar," kata seorang pengusaha di Jakarta.
Kebingungan mencari muatan itu menimpa pengusaha pelayaran
"khusus" terutama setelah keluarnya Surat Keputusan Bersama,
(SKB) empat Dirjen (Kehutanan, Aneka Industri, Perdagangan Dalam
Negeri, Perdagangan Luar Negri) 21 April yang lalu. Surat
keputusan berupa pengetatan insentif ekspor kayu gelondongan
bagi para pernilik pabrik pengolahan kayu mengakibatkan ekspor
log secara nasional hanya tinggal 250.000 m3/bulan. Padahal
ketika ekspor kayu gelondongan memuncak tahun 1970 bisa mencapai
1,2 juta m3. Kemudian angka itu turun jadi 600.000 m3 setelah
dikeluarkannya SKB 3 Menteri bulan Mei 1980.
Di Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (Dep-Hub) tercatat 98
buah kapal pengangkut log yang dimiliki 22 perusahaan.
Diperkirakan bobot mati seluruh kapal khusus itu mencapai
630.000 ton. Sekitar 50 buah dari kapal itu sudah berbendera
Indonesia, sisanya masih berbendera asing sekalipun sudah
dimasukkan dalam armada nasional karena statusnya sewa-beli.
"Kami memang mendengar keluhan perusahaan pelayaran itu. Kini
sedang dipersiapkan aturan baru agar mereka bisa ikut angkutan
barang dalam negeri," kata Zainal Abidin, Kepala hubungan
masyarakat Ditjen Perla. Ia mengatakan secara insidentil sudah
ada perusahaan yang ikut mengangkut barang."Tetapi peraturan
resmi baru selesai bulan depan," ujarnya.
Peraturan itu menurut Zainal Abidin akan mengatur pengalihan
kapal pengangkut log itu menjadi kapal muatan semen, pupuk,
beras dan tepung terigu misalnya supaya tidak "bertabrakan"
dengan kapal-kapal regular lines service (pelayaran nusantara).
Jumlah kredit Bapindo untuk pengangkut log iru nampaknya cukup
besar juga. Bahana Utama Line, menurut direkturnya, Subagio Anam
masih menunggak sebesar US$ 17 juta atau sekitar Rp 10 milyar.
Ada tujuh perusahaan yang memanfaatkan kredit dari Bapindo itu.
"Sebenarnya keluhan pengusaha itu bukan karena sepinya muatan,"
ucap Subagio Anam. "Setelah adanya kebijaksanaan dari Ditjen
Perla kami memang sudah bisa mengangkut semen, beras termasuk
juga log antar pulau. Cuma untuk pelayaran dalam negeri ini
semua pembelian kami, seperti minyak harus cash Sedangkan
pembayaran dari pemilik barang kadang-kadang ditunda sampai 2
bulan." Kalau mengangkut ke luar negeri, menurut Subagio, bahan
bakar tidak perlu kontan. Sedangkan ongkos angkut sudah bisa
diperoleh sekitar tiga hari setelah muatan dibongkar. "Hanya
Bulog yang bisa membayar secepat itu di sini," tambahnya.
Jadi siapa saja perusahaan yang melayani pengangkutan log ekspor
yang masih berjumlah 250.000 m3/bulan? Menurut sebuah sumber di
Ditjen Perla akan ditentukan 10 kapal saja. Sebab kalau tidak
ditentukan demikian dikhawatirkan kelebihan tonase kapal akan
menghambat pengembalian kredit ke Bapindo. Jumlah itu dianggap
cukup karena berdasarkan perjanjian antara Indonesian National
Sipowners Association (INSA: perhimpunan pengusaha kapal
Indonesia) dengan pihak pengusaha perkapalan Jepang, Taiwan dan
Korea (negara importir kayu gelondongan) pihak Indonesia hanya
kebagian setengah dari seluruh muatan.
Pemerintah merencanakan ekspor kayu gelondongan ini suatu ketika
akan ditiadakan sehingga kapal pengangkut log juga akan
dihapuskan, dan diubah menjadi kapal pengangkut pelayaran
nusantara. Pengalihannya sendiri tidak memerlukan perubahan pada
disain kapal. Cuma mungkin akan repot juga mengaturnya supaya
mereka tidak mendesak rezeki perusahaan yang selama ini bergerak
di pelayaran nusantara.
Perusahaan kapal pengangkut log nampaknya menyesuaikan diri
terhadap pengalihan itu. "Dengan harapan pemerintah mau
memberikan perangsang berupa kemungkinan penurunan biaya
pelabuhan dan mengusahakan supaya pembelian bahan bakar tak usah
kontan," harap Subagio Anam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini