Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Aturan Main Macet, Nasib Pemilu?

Pembahasan RUU politik macet, jadwal pemilu terancam molor. Selasa pekan ini ribuan massa PAN dan PKB bergerak ke Senayan.

25 Januari 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANDI Mallarangeng punya kiasan bagus untuk menggambarkan seretnya pembahasan RUU politik. Anggota Tim Tujuh Departemen Dalam Negeri itu mengibaratkan pemilu sebagai kereta api. Kalau undang-undang yang jadi lokomotifnya mogok, tahap-tahap pelaksanaan yang merupakan deretan gerbong di belakangnya otomatis ikut mandek. Jika itu terjadi, legitimasi pemerintah yang memang sudah minim itu akan ambruk ke titik nadir, meninggalkan bom waktu yang siap meledakkan konflik. Suara penolakan atas aturan main pemilu terdengar kencang dari luar Senayan. Dengar saja pernyataan Partai Rakyat Demokratik, forum 50 partai bernama Kongres Nasional Partai-Partai Politik (KNPP). "Pilihannya cuma antara pemilu yang demokratis atau revolusi," kata Agus Miftach, Ketua KNPP, kepada Hardy Hermawan dari TEMPO. Dua hari menjelang Lebaran, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais pun mengultimatum DPR agar tidak nekat mengabaikan aspirasi masyarakat. Wakil Sekjen PAN Santoso mengungkapkan bahwa Senin ini sekitar 200 anggota pengurus pusat dan wilayah PAN se-Jabotabek akan menyatroni Panitia Khusus RUU Politik. Jika aspirasi mereka dianggap angin lalu, keesokan harinya ribuan massa mereka bersama PKB akan "jalan-jalan" ke Senayan. Rombongan Amien Rais itu tentu sadar benar bahwa hari-hari di kalender berlalu dengan cepat. Sampai jadwal Panitia Kerja dan Tim Perumus DPR berakhir, keempat fraksi di DPR dan pemerintah belum juga mencapai kata akhir. Hari terus berganti semakin mendekati tenggat: 28 Januari. Sementara itu tiga poin masih mengganjal, yaitu netralitas pegawai negeri sipil, varian sistem proporsional, dan jumlah kursi ABRI di parlemen. Serangkaian negosiasi di tingkat pemimpin fraksi pun gagal mencapai kata sepakat. Untuk memecahkan kebuntuan itu Menteri Dalam Negeri Syarwan Hamid memprakarsai "lobi tingkat tinggi". Pertemuan selama dua jam itu berlangsung Jumat kemarin di rumah dinas Ketua DPRD DKI Jakarta?kebetulan tidak sedang ditempati?di Jalan Imam Bonjol 37, Jakarta. Selain Syarwan, hadir antara lain Pangab Jenderal Wiranto, Ketua Golkar Slamet Effendy Yusuf, Ketua PPP Zarkasih Nur, dan Ketua Umum PDI Budi Hardjono. Tapi hasilnya toh juga tidak bicara banyak. Cuma dua kesepakatan yang ditelurkan, yaitu pelaksanaan pemilu tidak boleh bergeser dari jadwal 7 Juni 1999 mendatang. Dan karena itu UU politik mesti diketok tepat waktu. Yang kedua, mengedrop soal PNS dari RUU politik untuk diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah (PP). Soal kursi ABRI tak dibicarakan karena waktu tak cukup. Persoalan pegawai negeri beres? Jelas tidak. RUU Parpol memang bisa segera ditetapkan menjadi undang-undang, tapi status pegawai negeri dalam pemilu nanti masih tanda tanya besar. "Lobi Syarwan Hamid" hanya sanggup memindahkan persoalan pegawai negeri dari RUU politik ke PP. Menurut sumber TEMPO di Depdagri, PP soal pegawai negeri itu sudah disiapkan dan sedang menunggu koreksi akhir. "Saat ini sedang digodok di Setneg," ujar sumber tersebut. Sumber di Depdagri itu mengungkapkan, rumusan dalam peraturan pemerintah nanti kira-kira berbunyi: "PNS tidak dilarang berpolitik, tapi jika menjadi anggota atau pengurus partai harus cuti di luar tanggungan negara". Dengan rumusan begini diharapkan "serangan" Golkar agar PP tersebut tidak bertentangan dengan UU Kepegawaian bisa diakali. UU Kepegawaian Nomor 8 Tahun 1974 memang tidak melarang para abdi negara itu menjadi anggota atau pengurus partai. Salah satu klausul UU Kepegawaian hanya mensyaratkan adanya izin atasan untuk menjadi pengurus parpol. Golkar, yang belakangan banyak "digerogoti" masalah, kontan setuju dengan rumusan ini (lihat wawancara Akbar Tandjung). Namun istilah "cuti sementara" itu masih dipersoalkan Fraksi Kakbah. Ketua FPP DPR Zarkasih Nur bersikukuh agar pegawai negeri yang berpolitik harus total berhenti berdinas, tanpa embel-embel "cuti di luar tanggungan negara". Ia menengarai, jika cuma berhenti sementara kemudian keluar dari partai dan kembali menjadi PNS, hal itu tidak menjamin hubungannya dengan partai itu otomatis hilang. Suara Kakbah ini senada dengan pernyataan bersama PAN-PKB yang juga menegaskan hal serupa. Zarkasih juga mensyaratkan agar PP itu harus sudah dikeluarkan sebelum 28 Januari. Ganjalan kedua aturan pemilu adalah soal varian sistem proporsional. Golkar didukung ABRI dan pemerintah ngotot agar daerah pemilihan ditetapkan di tingkat kabupaten. Adapun Kakbah dan PDI serta suara parpol di luar Senayan menginginkan pemilu di tingkat provinsi. Fraksi Kakbah bahkan mencurigai ada "udang" di balik usul Fraksi Beringin itu. Anggota panitia kerja RUU Pemilu dari Kakbah, Robbani Toha, punya hitung-hitungannya. Menurut dia, jika daerah pemilihan di tingkat provinsi, perolehan suara Golkar akan terpuruk di bawah 20 persen, tapi akan meroket di atas 50 persen di tingkat kabupaten. Vedi Hadiz, peneliti dari Universitas Murdoch Australia, punya pendapat senada. Golkar akan keok di kota-kota besar. Tapi di daerah tempat partai baru tidak dikenal serta tidak punya uang dan tak punya tokoh, Golkar akan menang. Untuk mencegah politik uang itu, PAN-PKB mendesak agar dicantumkan sanksi yang tegas terhadap praktek haram ini. Soalnya, Wakil Sekjen Santoso mensinyalir bahwa trik itu mulai dilancarkan, misalnya kasus penyalahgunaan dana Jaring Pengaman Sosial yang ditemukannya sendiri di Kecamatan Parungkuda, Sukabumi. Dari total dana Rp 65 miliar untuk satu kabupaten, setiap desa mendapat jatah Rp 16?18 juta. Masalahnya, proposal yang lolos dipilih berdasarkan keanggotaan suatu parpol yang selama ini "dipunyai" pemerintah. Pernyataan bersama PAN dan PKB pun menyarankan basis pemilihan di tingkat provinsi. Tapi Santoso melihatnya tidak atas faktor Golkar. Melihat berbagai aksi pembakaran kantor Golkar di daerah, ia yakin partai kuning itu akan tetap "tewas". Masalah terbesar, menurut dia, adalah terjadinya under representation. Hanya dengan meraih 20 persen suara saja, sebuah partai bisa memenangkan pemilu?jika pesaingnya tak mencapai angka 20 persen itu. "Ini bisa menimbulkan kepincangan demokrasi yang parah," tuturnya. Padahal, jika pemilu di tingkat provinsi, partai-partai kecil dengan pendukung yang tersebar di beberapa kabupaten akan bisa mengumpulkan suara untuk meraih kursi, sehingga suara yang hilang otomatis bisa ditekan. Jika pemilihan dilakukan di kabupaten, Vedi Hadiz menilai yang akan terjadi adalah, "Sistem distrik-distrikan yang makin amburadul dan menipu." Maksudnya, sistem proporsional yang telah disepakati tidak ada bedanya dengan sistem distrik. Karena sebagian besar kabupaten di Indonesia, 260 dari 306 kabupaten, mempunyai jumlah penduduk kurang dari 400 ribu. Artinya, jika harga kursi DPR adalah 500 ribu, dari kabupaten itu cuma diperebutkan satu kursi. Jadi jika Partai Keadilan, contoh saja, menang dan mengumpulkan suara terbanyak sebesar 30 persen di Kabupaten Pinrang, partai itu akan mendapat satu kursi Pinrang. Nah, suara yang dikumpulkan sekian banyak partai, yang jika dijumlahkan mencapai 70 persen, praktis hilang begitu saja. Inilah yang dikritik Hadiz sebagai hal yang tak ada bedanya dengan sistem distrik, yang hanya memungkinkan satu pemenang di satu distrik. Malah, menurut Hadiz, keunggulan sistem distrik, yaitu kedekatan pemilih dengan wakilnya, juga hilang. Lebih parah lagi, kehebatan sistem proporsional, yakni minimnya suara hilang yang mencerminkan tingginya tingkat keterwakilan, juga sirna. Lalu, kenapa pemerintah mendukung Golkar untuk mengadakan pemilu di kabupaten? Menurut Andi Mallarangeng, alasan pemerintah praktis saja, yaitu supaya kebuntuan tersebut bisa mencair. "Yang penting, bagaimana menjadikannya sebagai bargaining position untuk menyelamatkan RUU politik ini," ujarnya. Rupanya pemerintah berupaya membujuk Golkar agar bersedia menerima netralitas PNS dengan imbalan daerah pemilihan di kabupaten. Toh, meski mengaku dilobi kiri-kanan soal ini, Zarkasih Nur dari Partai Kakbah menegaskan tidak akan mundur setapak pun. "Pilihannya cuma voting atau walk out," katanya lagi. Yang juga masih buntu adalah soal kursi ABRI. Letjen (Purn.) Achmad Rustandi kepada Hani Pudjiarti dari TEMPO menyatakan ABRI masih tetap berpegang pada jumlah 55 orang. "Meskipun itu bukan harga mati," tuturnya. Rupanya fraksi baju hijau ini sedang pasang harga. Tawar-menawar memang tengah terjadi. FPP, yang semula mematok angka 10 kursi, menaikkannya jadi 25. Eh, Golkar, yang semula mengajukan angka 25, malah naik lagi jadi 40-44 kursi atau delapan persen dari jumlah anggota DPR. Rustandi mengakui, dalam sebuah tawar-menawar tertutup, kesepakatan angka sudah dicapai. Mendagri Syarwan Hamid pun mengamininya. "Sudah ada titik temu untuk menyepakati ancar-ancar sejumlah angka tertentu," katanya lagi. Menurut sumber TEMPO, angka itu kabarnya akan dipatok 40-44 kursi (8 persen). Tapi, PKB-PAN mengusulkan 15 kursi dengan syarat: ABRI tidak punya hak suara. Tentu saja, usul ini ditolak mentah-mentah ABRI. "Kalau tidak punya hak voting, sama saja dengan pengamat," ujar Rustandi jengkel. Lalu bagaimana? Mendagri Syarwan Hamid mensyaratkan jika pada rapat panitia khusus hari Senin dan Selasa ini masih juga buntu, voting akan ditempuh. Artinya, formula Golkar yang akan lolos. Apakah otomatis Fraksi Kakbah akan walk out dan massa partai-partai baru akan membanjiri Senayan, itulah yang masih harus ditunggu. Karaniya Dharmasaputra, Dwi Wiyana, Edy Budiyarso, I G.G. Maha Adi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus