UMUR memang semakin tua tapi semangat tetap muda. Ini berlaku
bagi Roestam Hardjodipoero, yang lahir pada tanggal 10 Oktober,
76 tahun yang lalu, di desa Ternyang, Sumberpucung, Malang.
Tidak diterangkan apa pendidikannya, tapi sejak usia 17 tahun,
Roestam Hardjodipoero aktif dalam pergerakan rakyat yang populer
saat itu: Sarekat Islam. Persarekatan ini diteuninya dari tahun
1918 sampai 1936. Empat tahun berikutnya, Roestam aktif dalam
gerakan penyadar dan dari zaman Jepang sampai 1968, dia bergerak
di bidang ekonomi. Tidak pernah berhasil jadi wiraswasta yang
gedean, tahun 1969, Roestam beralih kegiatan: aktif di bidang
dakwah Islamiyah.
Setiap Jum'at dia selalu berdakwah. Mula-mula dengan cara lesan
saja. Dirasa dakwah cara ini kurang berguna, "karena bisa saja
masuk kuping kiri keluar lagi kuping kanan." ujarnya. Tambahnya
lagi: "Dakwah secara lisan juga kurang efektif." Kemudian dia
menerbitkan dakwah-dakwahnya ini berupa tulisan. Buletin mbah
Roestam ini kemudian diberi nama "Mimbar Jum'at." Terbit setiap
hari Jum'at, pada mulanya banyak orang mentertawakan usahanya
ini.
Sedio Tomo
Tapi tidak lagi sekarang. Karena usahanya kian berkembang. Kini
dia menerbitkan berbagai buletin lainnya seperti Mimbar Bacaan,
Mimbar Dakwah Subuh, Mimbar Mesjid, Mimbar Karya, Mimbar
Penggugah, Mimbar Raya, Mimbar Pengetahuan, dan buletin lain
yang sifatnya insidentil serta kalau dipandang perlu.
Cara bekerjanya juga cukup unik. Mulai dari segi redaksionil.
mencetak (stensil) sampai mengedarkannya ditanganinya sendiri.
Dia juga manager, pemimpin redaksi dan dia juga yang jadi
distributor. Setiap hari Jum'at orang akan melihat dia naik
sepeda atau jalan kaki ke masjid-masjid, mushola-mushola, mampir
di kantor pemerintahan dan berhenti di beberapa sekolah. Mimbar
Jum'atnya kini mencapai oplag 5.000 lembar. Kini masuk
penerbitan tahun ke-VII, dikirimnya juga lewat pos. Berbagai
orang dan instansi kebagian juga Mimbar Jum'at ini. Antara lain
Kaskopkamtib Sudomo, Menteri Dalam Negeri Amirmachmud, Gubernur
Jawa Timur Sunandar Priyosudarmo, dan Pangdam Vlll/Brawijaya
Mayor Jenderal Witarmin.
Roestam ternyata termasuk penulis dan wartawan kawakan. Ketika
dia aktif dalam Sarekat Islam, Roestam mulai menulis dalam
bahasa Jawa (latin) di mingguan Sedio Tomo, edisi Sala. "Waktu
itu saya merasa beruntung sekali, karangan saya dimuat,"
ceritera Roestam, "dan fikir saya, pekerjaan inilah bakat saya."
Maka di tahun 1926-1928, Roestam merasa lebih beruntung lagi.
Dia diminta (dan sambil berlatih) oleh H.O.S. Tjokroaminoto
untuk mengirimkan berita pada harian Fajar Asia, koran milik
Tjokroaminoto sendiri. Sayang sekali, selang dua tahun, koran
tersebut dibreidel oleh pemerintah kolonial Belanda. Dan dari
tahun 1935 sampai 1939, berturut-turut Roestam jadi wartawan
harian Sinar Malang, Soeara Kampoeng dan Central Sinoman Malang.
Beberapa dari edisi koran lama diduga masih bisa ditemukan di
Museum Pusat Jakarta, tapi tidak jelas apakah Roestam masih
memilikinya.
Rp 1000 Yang Membingungkan
Tahun 1968, Roestam menerima gelar sebagai Perintis Kemerdekaan,
dengan surat keputusan Menteri Sosial nomor 185/69/PK. Sejak
April lalu, tunjangan untuk perintis ini naik dan kini setiap
bulannya dia menerima Rp 50.000. Tinggal berdua saja dengan
isterinya di Malang, dari ketiga orang anaknya Roestam menerima
tambahan Rp 10.000 sebulan. Uang Rp 60. 000 untuk tinggal berdua
dan di kota Malang, cukuplah. Apalagi kakek yang mempunyai tujuh
orang cucu ini sudah memiliki rumah sendiri.
Mungkin karena kehidupannya yang serba kecukupan tersebut -
biarpun tidak tergolong mewah - Roestam yang bebas dari segala
penyakit tetap bergiat dalam bidang tulis menulis. Di ruang
kerjanya, tertumpuk rapi segala macam kertas dan catatan. Di
dinding terpampang pula kutipan-kutipan dari al qur'an. Dengan
potongan kertas karton berbagai warna dan rapi, di bawah dua
judul: "intisari al qur'an". Roestam biasa bekerja sendiri,
sementara isterinya, telah terbiasa menunggui sang suami bekerja
demikian puluhan tahun lamanya. Tapi bagaimana dia dari bermula
memimpin berbagai buletin, mempunyai ceritera sendiri. Begini.
Di Hari Lebaran tahun 1970, Roestam yang waktu itu. Jadi anggota
tim Pembina Orde Baru Kotamadya Malang, berhalal bihalal di
rumah mayor Suwandi, Komandan Kodim 33 Malang (kini bupati
Lumajang dan pangkatnya sudah kolonel). Hubungan antara Roestam
dan Suwandi cukup akrab. Ketika mbah Roestam akan pamit pulang,
Suwandi menyelipkan uang Rp 1.000 di sakunya Roestam. Rezeki ini
tidak ditolaknya, tapi fikirannya bingung. Uang Rp 1.000 tujuh
tahun yang lalu, cukup besar jumlahnya Roestam merasa hidupnya
tidak berkekurangan. Untuk makan toh sudah ada, fikirnya. Dan
akhirnya ia berkesimpulan, "wah saya terbitkan saja buletin,"
ujarnya kegirangan.
Dan jadilah apa yang diidamkannya. Tanggal 1 Syawal tahun itu
juga terbit Mimbar Jum'at dalam bentuk masih sederhana.
Tujuannya: membantu pemerintah dalam memberikan penerangan dan
pembangunan umat bermental agama, yaitu dengan jaian memberikan
penyegaran pengetahuan agama. Bahan diambilnya dari buku-buku
tentang agama Islam, dari koran-koran. Oleh karena itu katanya,
dia menyebutnya sebagai penyegaran pengetahuan agama.
Ongkos kirim per pos bisa menelan perangko seharga Rp 700 sampai
Rp 1.000. Bagaimana mengusahakan buletin yang kini sudah
mencapai 5.000 eksemplar itu? Tanpa mengambil keuntungan
pribadi, masyarakat menyambutnya dalam bentuk sumbangan pula.
Kotamadya Malang, setiap bulannya memberikan sokongan Rp 5.000.
Itu berupa sumbangan tetap. Dari pihak pejabat, mahasiswa dan
cendekiawan, ada pula sumbangan materi yang cukup bisa
memelihara kelestarian buletin ini. Ada yang berupa uang, tapi
tidak jarang juga mendrop kertas beberapa rim.
Di Lumajang sendiri di mana ada Kolonel Suwandi, telah terbit
Mimbar Jumat dari buah fikiran Roestam Hardjodipoero, ditangani
langsung oleh PA Proyek Pembinaan Mental Agama setempat.
Hingga kini, dia masih saja jadi tukang antar buletinnya
sendiri. Mengapa tidak pakai pembantu? Jawab mbah Koesam
dengan nada mantap: "Kalau mau bekerja, janganlah sampai
menyurul orang lain. Lebih baik soro (sengsara) sedikit, tetapi
tidak menyakitkan hati orang". Sebab kabarnya pernah dia pakai
pembantu dengan jalan menitipkan buletin itu pada seseorang.
Ternyata, "tidak sampai ke alamat. Jadi saya kapok," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini