Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Mimbar-mimbar mbah roestam

Roestam hardjodipoera, 76, penulis dan wartawan kawa kan dalam sarekat islam, sejak 1969 menerbitkan buletin yang berisi dakwah. dari proses penerbitan hingga pengedaran ditanganinya sendiri di malang.(ils)

27 Agustus 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UMUR memang semakin tua tapi semangat tetap muda. Ini berlaku bagi Roestam Hardjodipoero, yang lahir pada tanggal 10 Oktober, 76 tahun yang lalu, di desa Ternyang, Sumberpucung, Malang. Tidak diterangkan apa pendidikannya, tapi sejak usia 17 tahun, Roestam Hardjodipoero aktif dalam pergerakan rakyat yang populer saat itu: Sarekat Islam. Persarekatan ini diteuninya dari tahun 1918 sampai 1936. Empat tahun berikutnya, Roestam aktif dalam gerakan penyadar dan dari zaman Jepang sampai 1968, dia bergerak di bidang ekonomi. Tidak pernah berhasil jadi wiraswasta yang gedean, tahun 1969, Roestam beralih kegiatan: aktif di bidang dakwah Islamiyah. Setiap Jum'at dia selalu berdakwah. Mula-mula dengan cara lesan saja. Dirasa dakwah cara ini kurang berguna, "karena bisa saja masuk kuping kiri keluar lagi kuping kanan." ujarnya. Tambahnya lagi: "Dakwah secara lisan juga kurang efektif." Kemudian dia menerbitkan dakwah-dakwahnya ini berupa tulisan. Buletin mbah Roestam ini kemudian diberi nama "Mimbar Jum'at." Terbit setiap hari Jum'at, pada mulanya banyak orang mentertawakan usahanya ini. Sedio Tomo Tapi tidak lagi sekarang. Karena usahanya kian berkembang. Kini dia menerbitkan berbagai buletin lainnya seperti Mimbar Bacaan, Mimbar Dakwah Subuh, Mimbar Mesjid, Mimbar Karya, Mimbar Penggugah, Mimbar Raya, Mimbar Pengetahuan, dan buletin lain yang sifatnya insidentil serta kalau dipandang perlu. Cara bekerjanya juga cukup unik. Mulai dari segi redaksionil. mencetak (stensil) sampai mengedarkannya ditanganinya sendiri. Dia juga manager, pemimpin redaksi dan dia juga yang jadi distributor. Setiap hari Jum'at orang akan melihat dia naik sepeda atau jalan kaki ke masjid-masjid, mushola-mushola, mampir di kantor pemerintahan dan berhenti di beberapa sekolah. Mimbar Jum'atnya kini mencapai oplag 5.000 lembar. Kini masuk penerbitan tahun ke-VII, dikirimnya juga lewat pos. Berbagai orang dan instansi kebagian juga Mimbar Jum'at ini. Antara lain Kaskopkamtib Sudomo, Menteri Dalam Negeri Amirmachmud, Gubernur Jawa Timur Sunandar Priyosudarmo, dan Pangdam Vlll/Brawijaya Mayor Jenderal Witarmin. Roestam ternyata termasuk penulis dan wartawan kawakan. Ketika dia aktif dalam Sarekat Islam, Roestam mulai menulis dalam bahasa Jawa (latin) di mingguan Sedio Tomo, edisi Sala. "Waktu itu saya merasa beruntung sekali, karangan saya dimuat," ceritera Roestam, "dan fikir saya, pekerjaan inilah bakat saya." Maka di tahun 1926-1928, Roestam merasa lebih beruntung lagi. Dia diminta (dan sambil berlatih) oleh H.O.S. Tjokroaminoto untuk mengirimkan berita pada harian Fajar Asia, koran milik Tjokroaminoto sendiri. Sayang sekali, selang dua tahun, koran tersebut dibreidel oleh pemerintah kolonial Belanda. Dan dari tahun 1935 sampai 1939, berturut-turut Roestam jadi wartawan harian Sinar Malang, Soeara Kampoeng dan Central Sinoman Malang. Beberapa dari edisi koran lama diduga masih bisa ditemukan di Museum Pusat Jakarta, tapi tidak jelas apakah Roestam masih memilikinya. Rp 1000 Yang Membingungkan Tahun 1968, Roestam menerima gelar sebagai Perintis Kemerdekaan, dengan surat keputusan Menteri Sosial nomor 185/69/PK. Sejak April lalu, tunjangan untuk perintis ini naik dan kini setiap bulannya dia menerima Rp 50.000. Tinggal berdua saja dengan isterinya di Malang, dari ketiga orang anaknya Roestam menerima tambahan Rp 10.000 sebulan. Uang Rp 60. 000 untuk tinggal berdua dan di kota Malang, cukuplah. Apalagi kakek yang mempunyai tujuh orang cucu ini sudah memiliki rumah sendiri. Mungkin karena kehidupannya yang serba kecukupan tersebut - biarpun tidak tergolong mewah - Roestam yang bebas dari segala penyakit tetap bergiat dalam bidang tulis menulis. Di ruang kerjanya, tertumpuk rapi segala macam kertas dan catatan. Di dinding terpampang pula kutipan-kutipan dari al qur'an. Dengan potongan kertas karton berbagai warna dan rapi, di bawah dua judul: "intisari al qur'an". Roestam biasa bekerja sendiri, sementara isterinya, telah terbiasa menunggui sang suami bekerja demikian puluhan tahun lamanya. Tapi bagaimana dia dari bermula memimpin berbagai buletin, mempunyai ceritera sendiri. Begini. Di Hari Lebaran tahun 1970, Roestam yang waktu itu. Jadi anggota tim Pembina Orde Baru Kotamadya Malang, berhalal bihalal di rumah mayor Suwandi, Komandan Kodim 33 Malang (kini bupati Lumajang dan pangkatnya sudah kolonel). Hubungan antara Roestam dan Suwandi cukup akrab. Ketika mbah Roestam akan pamit pulang, Suwandi menyelipkan uang Rp 1.000 di sakunya Roestam. Rezeki ini tidak ditolaknya, tapi fikirannya bingung. Uang Rp 1.000 tujuh tahun yang lalu, cukup besar jumlahnya Roestam merasa hidupnya tidak berkekurangan. Untuk makan toh sudah ada, fikirnya. Dan akhirnya ia berkesimpulan, "wah saya terbitkan saja buletin," ujarnya kegirangan. Dan jadilah apa yang diidamkannya. Tanggal 1 Syawal tahun itu juga terbit Mimbar Jum'at dalam bentuk masih sederhana. Tujuannya: membantu pemerintah dalam memberikan penerangan dan pembangunan umat bermental agama, yaitu dengan jaian memberikan penyegaran pengetahuan agama. Bahan diambilnya dari buku-buku tentang agama Islam, dari koran-koran. Oleh karena itu katanya, dia menyebutnya sebagai penyegaran pengetahuan agama. Ongkos kirim per pos bisa menelan perangko seharga Rp 700 sampai Rp 1.000. Bagaimana mengusahakan buletin yang kini sudah mencapai 5.000 eksemplar itu? Tanpa mengambil keuntungan pribadi, masyarakat menyambutnya dalam bentuk sumbangan pula. Kotamadya Malang, setiap bulannya memberikan sokongan Rp 5.000. Itu berupa sumbangan tetap. Dari pihak pejabat, mahasiswa dan cendekiawan, ada pula sumbangan materi yang cukup bisa memelihara kelestarian buletin ini. Ada yang berupa uang, tapi tidak jarang juga mendrop kertas beberapa rim. Di Lumajang sendiri di mana ada Kolonel Suwandi, telah terbit Mimbar Jumat dari buah fikiran Roestam Hardjodipoero, ditangani langsung oleh PA Proyek Pembinaan Mental Agama setempat. Hingga kini, dia masih saja jadi tukang antar buletinnya sendiri. Mengapa tidak pakai pembantu? Jawab mbah Koesam dengan nada mantap: "Kalau mau bekerja, janganlah sampai menyurul orang lain. Lebih baik soro (sengsara) sedikit, tetapi tidak menyakitkan hati orang". Sebab kabarnya pernah dia pakai pembantu dengan jalan menitipkan buletin itu pada seseorang. Ternyata, "tidak sampai ke alamat. Jadi saya kapok," ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus