Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Membangun kota dengan falsafah

Secara ideal kota harus mempunyai sejarah dan reputasi yang panjang ceritanya dan luhur wibawanya. sebagai bukti pemerintahan stabil dan wibawa adalah berkembangnya kebudayaan upeti untuk penguasa.

27 Agustus 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANGSA kita ini memang tergolong suka berfalsafah. Tidak ada tindakan atau perbuatan yang tidak ada referensi petatah-petitihnya. Perhatikan kekayaan isi pantun-pantun Minang. Bukalah primbon Jawa atau Bali. Semuanya merupakan perbendaharaan butiran kata penuh makna. Kalau isinya sudah tidak mengena lagi di zaman sekarang, dicoba diotak-atik supaya matuk (cocok). Kalau tidak, sekurang-kurangnya toh tetap enak didengar. Karena itu tidak perlu heran bila dari minum arak sampai mengatur Negara, kita berfalsafah. Pancagatra Nah, kalau Negara kita dibangun atas dasar Pancasila. kota-kota kita mesti dibangun atas dasar panca apalagi, sebagai turunan Pancasila? Pikir punya pikir, baca punya baca dan dengar punya dengar, ketemu pula pancagatra kota itu. Dengan dipelopori oleh para sesepuh perencana kota Indonesia dicanangkanlah lima fungsi kota: Wisma, Karya, Marga, Suka dan Penyempurna. Tampaknya kerangka pikir ini masih mencekam banyak kalangan perencana kota Indonesia masa kini. Padahal istilah-istilah yang berbau kejawen itu sesungguhnya toh bukan asli digali dari Primbon Betaljemur, misalnya. Melainkan berasal usul dari Piagam Athena (1933). Konon yang mula-mula punya akal membagi-bagi fungsi kota sementara itu adalah orang Perancis. Le Corbusier namanya. Karena itu sebutan aslinya pun memakai bahasa dan gaya Voltaire. Habiter, Travailer, Cultiver le corps et l'esprit, Transportation, artinya sama saja dengan Pancagatra tadi. Benarkah penggolongan fungsi kota menurut Piagam Athena itu mencerminkan gambaran gambaran yang tepat bagi kota-kota di Indonesia? Pada tahun 1938. Belanda bilang tidak seluruhny cocok. Buat orang Indonesia seringkali rumahnya juga tempat kerja. Rekreasinya bisa di pasar sekalipun. Karena itu waktu disusun Stadvorming Ordonantie Stadsgemeenten Java (SVO), biarpun tetap dipakai angka lima, tapi isi pembagiannya ternyata berbeda. Menurut SVO bagi kota-kota di Jawa, pembagian ke dalam lingkar-linkar utama itu lebih cocok terdiri dari lingkar utama bangunan ruang terbuka. Ialu-lintas, air dan salurah induk, daerah agraris dan alam. Katatanya pula, kerangka ini lebih mengambarkan kepribadian dan keadaan nyata kota-kota di Jawa saat itu. Po Limo Bung Karno, yang "jelek-jelek juga Insinyur" punya pandangan tersendiri soal membangun kota ini. Sebab dia fikir kota toh bukan hanya kumpulan gumpalan semen, betom aspal, mesin atau mobil. Tetapi kota terutama dibangun untuk manusia. Karena itu kenapa pancagatra itu tidak ada unsur "spirituil"nya? Pada tahun 1959 Bung Karno keluar dengan polimonya (lima P): Perut, Pakaian, Perumahan. Pergaulan dan Pengetahuan. Dalam pergaulan dan pengetahuan ini termasuklah pula pembudayaan, katanya. Waktu ia menerangkan soal perumahan, ditambahnya pula dengan "inl een omgeving van schoonheid". Dus, taman-taman yang indah, arsitektur kota yang cantik dan perkampungan yang menyengsamkan jiwa. Bukan main. Jalan fikirannya tentang permukiman pun, tetap romantis. Karena yang bilang Bung Karno, dicari dalam texts-book mana pun barangkali nyontek - juga tak ketemu, kita boleh percaya membangun kota dengan po limo itu memang mencerminkan tujuan perjuangan nasional saat itu. Lalu bagaimana halnya dengan yang cocok dengan tujuan pembangunan nasional saat ini? Karena menyangkut falsafah, biasanya kita suka pertama-tama menggali pada kepribadian sendiri. Dasagatra Menurut nenek moyang kita dahulu -- kalau percaya ki dalang - suatu kota, tempat kedudukan pemerintahan suatu Negara, haruslah panjang, punjung, pasir wukir, loh jinawi, gemah, ripah, tata dan raharja. Karena ada sepuluh kata bermakna, saya menyebutnya dasagatra atau dasa apa sajalah. Kenapa mesti dasa, bila yang lain-lain cukup lima? Maka saya terpaksa meringkas kedalam lima unsur pembangunan kota. Unsur idiil: panjang, punjung, unsur fisik: pasir wukir, unsur ekonomi: loh, jinawi, unsur sosial: gemah, ripah, dan unsur pemerintahan: tata, raharja. Secara ideal, kota itu kata ki dalang, mesti mempunyai sejarah dan reputasi yang "panjang ceritanya dan luhur wibawanya". Apakah itu pusat pemerintahan Anarta yang bekas kerajaan jim tetapi berhasil dijinakkan. Atau Jakarta yang sejak Faletehan, Sultan Agung sampai Proklamasi punya sejarah perjoangah yang gemilang dan berhasil mengangkat kewibawaan bangsa. Secara fisik, kota mesti mempunyai hiterland alam pegunungan yang indah (ngungkuraken hing pareden) dilengkapi dengan sarana dan sistim lalu-lintas, air dan saluran induk yang baik (nganaken hing benawi) memelihara kawasan produksi pangan yang dekat dan terpadu dengan sistim kota itu (ngeringaken hing pasabinan) dan punya fasilitas pelabuhan yang besar (ngajengaken bandaran gede). Gambaran potensi ekonomi kota dilukiskan sebagai kawasan yang punya produktivitas tinggi dan alam yang murah (loh, jinawi). Lalu corak sosialnya ditandai pula dengan pemukiman yang terpaksa padat (jejel apipit aben taritis) namun pergaulan sosial tetap akrab. Banyak pendatang dari berbagai penjuru daerah yang bermukim, berdagang atau bekerja di Kota. Pemerintahnya stabil, wibawa kekuasaan memancar, rakyat hidup dengan tenteram penuh rasa aman, tertib dan sejahtera. Namun kalau kita jujur, tidak semua kepribadian kota peninggalan nenek moyang itu menyejukkan malah ada yang sungguh memuakkan. Misalnya waktu bercerita tentang pemerintahan yang stabil dan wibawa kekuasaan yang memancar itu penjelasan sebagai buktinya adalah berkembangnya kebudayaan asok glondong pengareng-ngareng, alias kebudayaan upeti. Diceritakan dengan hangga oleh ki dalang, bahwa para penguasa daerah (taklukan) selalu mempersembahkan emas, uang kekayaan dan barang mewah (emas picis raja brana) sebagai tanda setia dan bakti kepada sang maha penguasa ....

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus