ORANG Bali nembuka pameran lukisan batik di Bali Room Hotel
Indonesia, 5 s/d 13 Agustus lalu. Namanya Made Wianta (28
tahun). Ini kejadian yang jarang, karena dari Bali masih
sedikit perhatian terhadap batik. Pelukis asal sana, kalau bukan
jadi pelukis tradisionil biasanya jadi pelukis modern yang
nanggung.
Batik-batik Wianta, yang belajar melukis di Sekolah Seni Rupa
Denpasar dan Yogya, tidak tergolong komersiil. Warna-warnanya
dof. Ia memilih bentuk dekoratif yang menunjukkan warna lokal
pelosok tanah air. Kadangkala kita mencium bau Yogya, Bali,
Kalimantan. Irian. Orang ini rupa-rupanya dekat sekali dengan
bentuk-bentuk sederhana yang primitif dan lugu. Ia memiliki
kesederhanaan dan jiwa dramatik. Barangkali karena di samping
melukis ia juga menari .
Honocoroko
Salah satu batik Wianta mengambil motif kaligrafi. Sekali ini
bukan huruf Arab, tetapi Jawa. Aksara ho-no-co-roko itu disusun
dalam keping-keping bidang yang nlenyarankan pohon. Daya
tariknya muncul karena langkanya kita melihat kaligrafi modern
dengan bahan huruf lokal ini. Ketika ditanyakan kenapa memilih
huruf Jawa, bukannya Bali pelukis menjawah: "Setelah saya
selidiki saya rnenemukan karakter tertentu pada huruf Jawa yang
memungkinkannya lebih artistik dari huruf Bali." la menunjukkan
perbedaan tarikan garis huruf Bali, yang meskipun bentuknya sama
dengan huruf Jawa garisIlya melengkung. Sedang huruf Jawa
runcing dan persegi.
Segi lain yang boleh disebut: pengaruh dunia pewayangan. Banyak
ornamen, mitologi bahkan warna-warna yang mengingatkan pada
gambar wayang di dinding. Ia memiliki kekuatan pada garis, tapi
bukan garis ekspresif seperti halnya Amri Yahya. Ia jauh lebih
bersahaja. Warna yang dipilihnya sangat terbatas. Mungkin karena
terbentuk oleh lingkungan Eropa (ia tinggal di Brussel sekitar 3
tahun).
Meski tidak ada pendalaman yang menyeluruh pada batiknya, kita
melihat ia tidak memperlakukan batik sebagai barang dagangan.
Teknik yang terlihat pada karyanya cukup rapi. Ia pun memiliki
inspirasi yang masih segar: batik-batik itu tidak
mengulang-ulang. Barangkali inilah salah satu hal yang bisa kita
pegang dalam menentukan, "adakah sesuatu barang seni atau hasil
kerajinan."
Wianta menyatakan akan berusaha mencari bentuk-bentuk purba
dalam perbendaharaan senirupa tradisionil. "Setelah saya
perhatikan, patung-patung yang dihasilkan Cokot ternyata banyak
persamaannya dengan patung-patung primitif dari daerah-daerah
Indonesia yang lain," katanya. "Saya ingin mempelajari itu."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini