Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Orang bali milih jawa

Made wianta, 28, mengadakan pameran lukisan batik di bali room hotel indonesia. garis-garis lukisan batiknya banyak dipengaruhi oleh dunia pewayangan. juga menampilkan motif kaligrafi dengan huruf jawa. (sr)

27 Agustus 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ORANG Bali nembuka pameran lukisan batik di Bali Room Hotel Indonesia, 5 s/d 13 Agustus lalu. Namanya Made Wianta (28 tahun). Ini kejadian yang jarang, karena dari Bali masih sedikit perhatian terhadap batik. Pelukis asal sana, kalau bukan jadi pelukis tradisionil biasanya jadi pelukis modern yang nanggung. Batik-batik Wianta, yang belajar melukis di Sekolah Seni Rupa Denpasar dan Yogya, tidak tergolong komersiil. Warna-warnanya dof. Ia memilih bentuk dekoratif yang menunjukkan warna lokal pelosok tanah air. Kadangkala kita mencium bau Yogya, Bali, Kalimantan. Irian. Orang ini rupa-rupanya dekat sekali dengan bentuk-bentuk sederhana yang primitif dan lugu. Ia memiliki kesederhanaan dan jiwa dramatik. Barangkali karena di samping melukis ia juga menari . Honocoroko Salah satu batik Wianta mengambil motif kaligrafi. Sekali ini bukan huruf Arab, tetapi Jawa. Aksara ho-no-co-roko itu disusun dalam keping-keping bidang yang nlenyarankan pohon. Daya tariknya muncul karena langkanya kita melihat kaligrafi modern dengan bahan huruf lokal ini. Ketika ditanyakan kenapa memilih huruf Jawa, bukannya Bali pelukis menjawah: "Setelah saya selidiki saya rnenemukan karakter tertentu pada huruf Jawa yang memungkinkannya lebih artistik dari huruf Bali." la menunjukkan perbedaan tarikan garis huruf Bali, yang meskipun bentuknya sama dengan huruf Jawa garisIlya melengkung. Sedang huruf Jawa runcing dan persegi. Segi lain yang boleh disebut: pengaruh dunia pewayangan. Banyak ornamen, mitologi bahkan warna-warna yang mengingatkan pada gambar wayang di dinding. Ia memiliki kekuatan pada garis, tapi bukan garis ekspresif seperti halnya Amri Yahya. Ia jauh lebih bersahaja. Warna yang dipilihnya sangat terbatas. Mungkin karena terbentuk oleh lingkungan Eropa (ia tinggal di Brussel sekitar 3 tahun). Meski tidak ada pendalaman yang menyeluruh pada batiknya, kita melihat ia tidak memperlakukan batik sebagai barang dagangan. Teknik yang terlihat pada karyanya cukup rapi. Ia pun memiliki inspirasi yang masih segar: batik-batik itu tidak mengulang-ulang. Barangkali inilah salah satu hal yang bisa kita pegang dalam menentukan, "adakah sesuatu barang seni atau hasil kerajinan." Wianta menyatakan akan berusaha mencari bentuk-bentuk purba dalam perbendaharaan senirupa tradisionil. "Setelah saya perhatikan, patung-patung yang dihasilkan Cokot ternyata banyak persamaannya dengan patung-patung primitif dari daerah-daerah Indonesia yang lain," katanya. "Saya ingin mempelajari itu."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus