Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ANAK saya dirawat dan dioperasi di Rumah Sakit St. Carolus, Jakarta, Sabtu, 20 November 1999. Pada saat anak kami pulang, 3 Desember 1999, pihak rumah sakit belum memberikan rincian biaya yang harus saya bayar karena, menurut mereka, biaya dari tiap-tiap bagian belum seluruhnya masuk. Untuk itu, anak saya dizinkan pulang karena saya mendapat tanggungan asuransi.
Namun, Selasa, 7 Desember 1999, pihak rumah sakit menelepon saya dan memberitahukan bahwa biaya yang harus saya bayar Rp 31.871.078. Jumlah tagihan sebesar ini, menurut saya, sangat fantastis. Saya, kemudian, mendatangi rumah sakit untuk minta rincian biaya perawatan.
Saya mendapatkan rincian biaya secara detail dari rumah sakit, tapi sebagian disebutkan secara global, misalnya pemakaian obat di kamar bedah mencapai Rp 3.177.500, tanpa perincian, dan pemakaian darah Rp 1.155.000, tanpa perincian. Saya kaget, ketika masalah ini saya tanyakan kepada bagian rekening, mereka menjawab dengan enteng, ’’Silakan Anda tanyakan saja kepada suster di kamar perawatan.” Padahal, pemakaian darah tidak hanya di kamar perawatan, tapi juga di kamar bedah ICCU.
Seharusnya bagian rekening mengetahui dari bagian mana saja datangnya informasi tersebut, bukan malah meminta kita mencari tahu sendiri. Dan yang lebih menyakitkan, pihak rumah sakit membebani penderita dengan biaya tata usaha sebesar 8 persen atau Rp 2.360.672, tanpa batas maksimal dan tanpa kompromi ataupun negosiasi.
Bayangkan, kami yang telah menderita karena anak sakit dan mengeluarkan biaya perawatan yang tidak sedikit masih harus membayar biaya yang tidak saya ketahui keperluannya.
Saya sudah berusaha berbicara baik-baik untuk minta keringanan atas biaya tata usaha—karena, kalau biaya yang lainnya, pasti mereka tolak. Tapi pihak rumah sakit masih tetap bertahan mengenakan biaya itu tanpa kompromi dengan alasan semua biaya saya mejadi tanggungan asuransi. Padahal, pihak asuransi hanya membiayai Rp 4.000.000 (sesuai dengan pangkat saya di perusahaan), sedangkan sisanya akan ditagihkan ke perusahaan dan menjadi tanggungan saya.
Kendati demikian, mereka tetap ngotot membebankan biaya ’’siluman” itu. Pihak rumah sakit beralasan, untuk masalah ini, mereka hanya berhubungan dengan pihak asuransi, bukan dengan saya.
Saya berharap peristiwa seperti ini menjadi perhatian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) untuk segera mengambil tindakan sesuai dengan undang-undang perlindungan konsumen.
Dan pihak manajemen Rumah Sakit St. Carolus saya harap lebih fleksibel menerapkan kebijakan. Saya tahu bahwa rumah sakit tetap lembaga komersial, tapi setidaknya harus ada rasa sosialnya. Mana janji visi dan misi yang ditempel di semua sudut ruangan kalau kenyataannya berbeda?
Mudah-mudahan surat saya ini mendapat tanggapan positif dari pihak Rumah Sakit St. Carolus agar tidak menjadi preseden buruk di kemudian hari.
Nama dan alamat ada pada Redaksi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo