Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Anda, tepatkah surat Ketua Mahkamah Konstitusi Jimli Asshiddqie kepada presiden yang mempertahankan dasar penetapan harga BBM menggunakan Undang-Undang No. 22/2001 tentang Migas? (12—19 Oktober 2005) | ||
Ya | ||
68,97% | 420 | |
Tidak | ||
25,94% | 158 | |
Tidak tahu | ||
5,09% | 31 | |
Total | 100% | 609 |
SURAT yang membuat heboh itu datang di awal bulan ini. Si pengirim adalah Jimly Asshiddiqie, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam surat yang ditujukan kepada presiden dan ditembuskan ke enam lembaga itu, Jimly mempertanyakan dasar penetapan harga bahan bakar minyak.
Pemerintah dinilai oleh MK keliru dalam mencari cantolan hukum. Tiga pasal dalam Undang-Undang Minyak dan Gas, yang digunakan sebagai dasar kebijakan untuk menaikkan harga, telah dibatalkan oleh MK pada akhir tahun lalu. Ketiga pasal itu dianulir MK karena bertabrakan dengan Pasal 33 UUD 1945 tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial.
Surat yang bernada teguran itu menjadi bola liar di Senayan. Sebelum surat jeweran itu terbit, gagasan untuk mengajukan hak interpelasi telah berkumandang. Begitu surat MK beredar, target yang lebih tinggi pun dikerek. Wakil Ketua DPR Zaenal Ma’arif menyatakan surat itu bisa menjadi dasar pemakzulan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Ketua DPR Agung Laksono malah menilai Jimly kebablasan. ”Saya ingatkan agar Ketua MK tidak memasuki wilayah politik,” kata Agung.
Reaksi yang lebih keras datang dari Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra. Yusril mengatakan bahwa MK tidak berwenang mengingatkan atau menegur pemerintah. Jika ada putusan MK yang dilanggar pemerintah, yang berwenang mengingatkan pemerintah adalah DPR.
Jimly sejauh ini tak ambil pusing dengan kehebohan yang terjadi. Ia mengaku telah menerima surat balasan dari Presiden Yudhoyono. ”Surat sudah saya terima (17/10) dan tanggapannya positif. Presiden paham maksud MK bahwa kami hanya bersifat memberikan informasi soal putusan MK atas UU Migas,” kata Jimly di kantornya pertengahan bulan ini.
Jimly menyebut surat itu sebagai tanda bahwa pemerintah mengakui putusan MK menganulir tiga pasal Undang-Undang Migas. Namun, Jimly mengaku tak berminat mengutak-atik peraturan presiden yang dibuat berdasarkan Undang-Undang Migas yang telah batal itu. ”MK tidak berwenang dan tidak akan mencampuri kebijakan BBM,” kata Jimly.
Syahrir Sarim, responden Tempo Interaktif di Surabaya, menilai surat Jimly sudah tepat. ”Peringatan MK tersebut relevansinya cukup tinggi, didasari UUD 1945 dan beritikad baik. Niatnya mengingatkan pemerintah,” ujar Syahrir.
Indikator Pekan Ini: Masyarakat Bali tengah berjuang menggapai status otonomi khusus. Sebuah panitia besar disusun untuk memperjuangkan status istimewa tersebut. ”Rencananya, panitia besar dideklarasikan pada 28 Oktober 2005,” kata Wakil Gubernur Bali, Alit Kesuma Kelakan, di Denpasar pekan lalu. Masyarakat Bali menginginkan status otonomi khusus karena Bali selama ini menjadi ujung tombak pariwisata Indonesia. Panitia untuk memperjuangkan status otonomi khusus itu akan diketuai oleh Gubernur Bali Dewa Made Beratha. Setujukah Anda atas penerapan status otonomi khusus untuk Bali? Kami tunggu jawaban dan komentar Anda di www.tempointeraktif.com |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo