Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Cahaya dari Balik Gunung

Nun di pucuk Gunung Halimun, beberapa petani berjalan sejauh 17 kilometer memanggul semen untuk menciptakan pembangkit listrik sendiri.

13 Oktober 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada mulanya adalah angan-angan. Dari dalam bilik kayu di lantai dua yang sepi, angin gunung di Puncak Gunung Halimun, Sukabumi, berdesis. Di rumah terpencil tadi, A’ad, petani asal Kampung Ciganas di Gunung Halimun, mulai merealisasi khayalannya: menjadi penyiar radio.

”Wilujeng wengi kanggo para pamiarsa (selamat malam, Pemirsa),” suaranya bergetar. Sembari menyerocos di depan mikrofon, dia sibuk memainkan tetikus (mouse) dan memandangi layar komputer, memilih satu atau dua tembang Sunda yang bakal diputarnya.

Dari sepetak ruangan di punggung gunung, suara pemuda berusia 27 tahun itu mengalir jauh. Tetangganya yang berjarak tujuh kilometer pun bisa menangkap suara itu. Lewat radio!

Ya, radio. Itulah keajaiban di Puncak Halimun sebulan terakhir ini. Siapa sangka nun di pucuk gunung itu ada pemancar radio amatir seperti yang dioperasikan A’ad. Padahal, sebelumnya tiada listrik di sana. Penduduk pun banyak yang memakai lampu teplok. Perusahaan Listrik Negara (PLN) bisa jadi harus berhitung untuk menarik kabel ke desa yang jaraknya 45 kilometer dari Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi, itu.

Bersama empat temannya, kini saban malam A’ad menyapa orang-orang sedesanya. Radio yang bernama Suara Cipta Gelar—nama itu diambil dari nama kampung tempat siaran—ini mengudara di frekuensi 107,7 Megahertz dengan memutarkan lagu-lagu daerah, dangdut, qasidah, musik, kadang-kadang wayang golek. Warga di sana rela membayar Rp 1.000 untuk satu lagu yang disisipi ucapan salam bagi karib kerabat. ”Ini hiburan setelah capek mencangkul,” ujar A’ad.

”Keajaiban” di Ciganas itu sebenarnya sudah dirintis sejak 17 tahun silam. Itu terjadi sejak kepala adat di sana, Abah Anom Encup Sucipta, coba-coba membangun kincir air untuk menghasilkan listrik sendiri. Abah ”iri” melihat kincir listrik milik tetangga desanya, yakni warga Kampung Cicadas.

Dengan peralatan sederhana, ia mencoba membuat kincir kayu. Sekitar sepekan kincir selesai dibuat. Generator listrik dibuat ala kadarnya dengan membuat kumparan kawat. Dalam eksperimen berulang kali, kumparannya tak menghasilkan listrik sama sekali, karena jumlah lilitan kawatnya terlalu banyak atau terlalu sedikit. Nyaris ia putus asa. Setelah beberapa bulan bekerja, akhirnya sepercik listrik pun tercipta dari Sungai Cisono di kampungnya. Hasilnya 2,5 kilowatt, cukup untuk menerangi 25 rumah.

Cara kerja pembangkit listrik ini sederhana. Aliran sungai disodet, dialirkan menuju turbin. Air akan memutar generator. Semakin deras air, semakin kencang generator berputar dan semakin besar listrik yang dihasilkan. Generator akan mengubah energi itu menjadi listrik (lihat infografis).

Tetangga kiri-kanan Abah pun tertarik ikut meniru. Beruntung dua aliran sungai dari Taman Nasional Gunung Halimun ke daerahnya mengalir sepanjang tahun. Pembangkit listrik tradisional berjejer di sepanjang sungai. Sayang, beberapa tahun kemudian pembangkit listrik made in Ciganas itu kemudian lapuk dimakan waktu. Sebagian lagi rusak.

Antusiasme warga menjadi inspirasi buat Abah untuk menciptakan pembangkit listrik yang lebih besar. ”Agar bisa dipakai ramai-ramai,” katanya. Namun, usaha itu terbentur problem dana.

Akhirnya, mereka saweran, mengumpulkan dana untuk pembangkit listrik. Tiap kepala keluarga diminta iuran Rp 15 sampai 20 ribu. Dari 700 kepala keluarga terkumpul sekitar Rp 12 juta. Angka itu jauh dari memadai.

Tak kehilangan akal, Abah mengajukan proposal ke Pemerintah Daerah Jawa Barat. Hasilnya, bantuan sebuah pembangkit seharga sekitar Rp 25 juta.

Setelah mendapat bantuan, mereka bahu-membahu membangunnya sendiri. Narhadi, salah satu pengurus pembangkit listrik distribusi Cipta Gelar, bercerita, saat itu sekitar 400 wanita dusun itu bergantian berjalan kaki sejauh 17 kilometer memanggul tiga kilogram semen.

Mereka membuat saluran sodetan dan pembangkit berdaya 60 kilowatt dalam 83 hari. Namun, itu hanya bertahan beberapa tahun. Saat perawatan, mesin pembangkit terbakar. ”Rusak karena belum kering langsung digunakan,” ujar Abah.

Akhirnya, mereka memohon bantuan dari berbagai lembaga, antara lain dari Kedutaan Besar Jepang di Indonesia dan organisasi nirlaba yang peduli orang miskin, Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan.

Dengan mesin pembangkit listrik buatan PT Cihanjuang Inti Teknik, sekarang perkampungan itu sudah memiliki empat pembangkit listrik mini. Setrum yang dihasilkan bervariasi, mulai dari 12 hingga 80 kilowatt. ”Normalnya, setiap keluarga mendapat jatah 100 watt,” ujar Direktur Operasional Institut Bisnis, Sapto Nugroho.

Warga Halimun hanya dipungut biaya Rp 1.000 per kW tiap bulan. Pembangkit ini bisa digunakan hampir lebih dari 1.500 kepala keluarga.

Dengan setrum menjalar ke seantero kampung, kini malam di Ciganas lebih semarak. Dari balik bilik-bilik bambu mengalun irama gendang beradu dengan suara jangkrik. Itu semua berkat pembangkit listrik mini. Saat sohib-sohib di kota ”berteriak” soal rencana kenaikan tarif listrik. Mereka tenang-tenang saja menikmati listrik anugerah alam.

Perjuangan menerangi kampung dengan listrik itu tak hanya terjadi di Halimun. Di pinggiran Subang, Jawa Barat, sejumlah petani juga punya mimpi yang sama. Petani-petani di Desa Cinta Mekar, Kecamatan Sagalaherang, itu sudah lama berharap PLN mau menjulurkan kabelnya ke udik itu, namun impian itu tak pernah terwujud.

Baru pada 2004 listrik menyala terang di desa itu. Itu terjadi setelah datang bantuan senilai US$ 225 ribu (sekitar Rp 2,25 miliar) dari tiga organisasi: Komisi Ekonomi dan Sosial Asia dan Pasifik (UNISCAP), Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan, dan Hidropiranti Inti Bhakti Swadaya. Dengan dana sebesar itu mereka bisa membangun dua pembangkit listrik berkekuatan 60 kilowatt sekaligus.

Listrik sebesar itu terlalu besar untuk menerangi 122 rumah di desa itu. Akhirnya, mereka menjual kelebihan setrum sebesar 100 kilowatt ke PLN seharga Rp 432 per kilowatt-jam. Dari penjualan ini, warga memperoleh Rp 4,735 juta setiap bulan yang dimanfaatkan untuk kegiatan pendidikan, kesehatan, modal usaha masyarakat, dan pembangunan desa. Desa terang benderang, pendidikan juga lancar.

Pembangkit listrik mini yang memanfaatkan sungai-sungai kecil ini, menurut Asisten Direktur PT Cihanjuang Inti Teknik Eri Riyadi, adalah salah satu solusi untuk mengatasi krisis listrik di Indonesia, terutama di daerah terpencil. Apalagi, pembangkit listrik ini kebal terhadap kenaikan harga bahan bakar.

Produsen pembangkit minihidro itu sudah membuat 70 mesin untuk ratusan desa dari Sumatera sampai Papua. Akhir tahun ini, 53 pembangkit selesai dibangun, dan desa-desa terpencil pun tak lagi suram di waktu malam. Hidup para petani lebih semarak dengan aneka lagu dangdut atau wayang golek, seperti yang terjadi kampung A’ad.

Purwanto (Sukabumi)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus