ATURANNYA bulan-bulan ini masih dikekep oleh musim lumpur. Tapi
nyatanya administrasi hujan sudah sedemikian ngawur. Langit
lebih banyak terang, sehingga tidak ada lagi lumpur yang perlu
disikat dari tubuh kendaraan-kendaraan bermotor. Yang penasaran
adalah para tukang memandikan mobil.
"Doa kami memang nakal. Kami selalu berdoa semoga banyak hujan
dan lumpur," kata Misrani, tukang cuci mobil di Guntung Alaba,
sebuah desa terpencil sebelum Kota Martapura. "Kalau banyak
mobil ke mari, berarti kami banyak rezeki." Kalau hujan tidak
lancar, berarti anak muda yang berusia 20 tahun ini akan
kehilangan masa panen. Ia telah menjadi tukang cuci mobil sejak
usia 5 tahun jadi sudah sejak 15 tahun yang lalu. Musim hujan
adalah saat ia menerima persen dari kerja yang tak menyajikan
masa depan itu.
Humus
Kenapa orang memilih kerjaan sebagai tukang cuci mobil, agaknya
menarik untuk difikirkam Mungkin sekali ada semacam kebanggaan
untuk menyentuh tubuh benda itu. Barangkali juga kegairahan
untuk memiliki mobil satu ketika dapat dikurangi dengan jalan
menyentuhnya. Atau ini demi uang semata-mata, karena pekerjaan
tersebut tidak memerlukan keahlian. Asal berani pegang air dan
tak jijik dilepoti lumpur serta kadangkala oli.
Misrani tinggal di Guntun Alaban ini sampai rusak sekolahnya
karena keanjingan memandikan mobil. Mula-mula karena alasan
lingkungan. Rumahnya kebetulan bertetangga dengan lokasi mandi
mobil. Waktu itu - 15 tahun yang lalu--mobil dan truk sedang
ributnya mengurus keperluan "Proyek Riam Kanan", "Projakal" dan
"Proyek Besi Baja Kalimantan". Mesin-mesin pengangkut ini pada
saat istirahatnya dibawa ke perbatasan kota Martapura dan
Banjarbaru. Di sana ada tempat bernama "Guntung Alaban".
"Guntung" adalah sungai di perbukitan yang sumbernya berasal
dari endapan bunga tanah --humus.
Guntung Alaban itu berjarak 500 meter dari jalan protokol.
Daerah tersebut langka bangunan. Jadi cukup pantas untuk
menderetkan mobil untuk kemudian diceburkan ke air sampai mulus
kembah. Di dekat daerah inilah rumah Misrani. Mula-mula ia jadi
penonton. Memandangi bagaimana para kenek dengan sigap meloncat
dari perut truk, langsung masuk keselangkanya membawa ember dan
lap basah. Beberapa anak-anak yang lain juga mula-mula hanya
memandang dan mengagumi alat angkutan yang kokoh dan tak kenal
lelah itu.
Dari rasa ingin tahu, timbul keisengan. Anak-anak itu kemudian
tidak cukup hanya menonton. Tak sengaja mereka turun tangan.
Membantu-bantu tanpa di minta, menyiramkan air kepinggang truk.
Tentu saja mula-mula hanya mencoba-coba. Tapi tatkala para kenek
itu tidak melarang, merekapun ikut memandikan mobil. Tak berapa
lama kemudian keisengan itu berubah menjadi bantuan yang bisa
berakhir dengan persen. Anak-anak itu jadi senang sekali.
Setiap hari Selasa, Jumat dan Minggu makin panjang saja mobil
berderet. Anak-anakpun makin banyak keluar dari kampung
berkerumun membantu membereskan. Apalagi kalau hujan lebat,
mobil-mobil itu harus ditangani dengan sungguh-sungguh agar
benar-benar bebas dari lumpur. Agaknya para kenek sudah merasa
perlu untuk menyerahkan tugas itu pada anak-anak. Maka munculah
mata pencaharian sebagai tukang cuci mobil di Guntung Alaban.
Ia benar-benar merupakan masa keemasan bagi anak-anak tatkala
proyek-proyek itu sedang gencar-gencarnya. Tapi akibat buruknya
anak seperti Misrani misalnya sampai kehilangan konsentrasi
untuk menamatkan SD. Ia berhenti mengejar ilmu, karena ia mau
praktis saja, yaitu: mengejar duit.
Chairil Anwar
Tukang cuci mobil yang lain, bernama Tajuddin Noor. Sekarang
usianya 21 tahun. Ia menuliskan sejarah hidup yang sama dengan
Misrani. Yakni mengorbankan sekolah untuk merebut duit dari
lumpur-lumpur mobil, dengan hanya mengandalkan tenaganya ia
menyusup ke bawah truk, dan herhasil juga memikat hati seorang
gadis. Inilah kelebihannya dari Misrani. Ia telah memiliki
seorang isteri dan dua orang anak. Isi dapurnya semua datang
dari Guntung Alaban. Ia boleh bangga karena ini, meskipun terus
terang, pendapatan tukang cuci mobil tidak selamanya mencukupi.
"Yah, dipada-padakan. Waktu banyak perolehan makan lumayan.
waktu sepi, belanja diirit ya sedikit-sedikit oleh mertua,"
ujarnya pada Rahmat Marlim dari TEMPO.
Tidak ada tarif resmi di Guntung laban. Tapi pada umumnya kalau
anda mau jadi tukang cuci mobil di sana, anda akan menerima Rp
300 untuk sebuah colt. Asal dicuci sampai bersih dan mengkilap.
Ini penting sekali. Kalau tidak, kenek dan sopir-sopir akan
melotot matanya dan main umpat-umpatan. Lalu untuk sebuah
"stasion wagon" upahnya Rp 400. Sementara truk merupakan raja
yang bisa menghasilkan uang Rp 500 sampai Rp 600, tergantung
buncit tidaknya ukuran kendaraan tersebut. nipun tidak diterima
sendiri. Galibnya mencuci mobil dilakukan oleh 2 orang. Waktu
yang dimakan antara 1 sampai 2 jam.
Dua orang tukang cuci yang baik, kuat dan rajin, paling banter
mencuci antara 4 sampai 5 buah mobil setiap hari. Jadi maximum
yang mungkin diterima dalam perhitungan kira-kira ini--oleh satu
orang--hanya Rp 1.500. Sambil mengingat bahwa peralatan cuci
seperti sabun misalnya, harus disediakan oleh tukang cuci
sendiri. Ada juga memang tukang cuci yang tak mengenal siang
atawa malam. Misalnya saja Chairil Anwar yang masih berusia 16
tahun. Tak ada hubungannya dengan Chairil Anwar penyair pelopor
angkatan 45. Chairil Anwar yang tukang cuci ini, sudah
memutuskan sekolah waktu masih di kelas V SD. Ia seorang penyair
dalam soal cuci mobil, karena ia melakukan tugasnya itu malam
hari, tanpa penerangan. "Tak pakai lampu atau senter pun jari
tangan saya entah mengapa bagai sudah punya mata sendiri," ujar
Chairil.
Seperti Buaya
Dengan tangan pakai tato gambar "kalajengking", Chairil Anwar
punya tarif istimewa. Sambil menikmati kerja dengan tenang dan
santai, ia boleh menerima upah 2 kali dari tarif siang hari.
Langganannya memang terurama orang-orang yang butuh. Sebab kalau
tidak buat apa buang-buang duit. Chairil seperti hanya apotik
malam, yang kini banyak dijumpai buka 24 jam di Jakarta, sudah
bikin Guntung Alaban mapan sebagai tempat mandi mobil yang
tersedia menerima pekerjaan non stop.
Antara para Sopir dan tukang cuci timbul aliran persahabatan.
Kemudian kembali menjadi kepercayaan. Tak heranlah kalau kunci
kontali seringkali dibiarkan begitu saja. Para sopir dengan
sanainya melepaskan lelah di warung. Mereka biarkan saja
orang-orang seperti Misrani, menaikkan mobil kembali ke atas
tebing. Bahkan mereka biarkan saja mobil mereka digiring sampai
ke jalan protokol. Akibatnya dengan tidak sengaja tempat euei
mobil itu menjadi arena laihan nyupir. Berkat coba-eoba sekali
dua kali hanyak tukang euei jadi mahir. Bahkan supir-supir yang
ada di sana dapat menyebutkan bebcrapa orang tukang euci yang
kemudian menaikkan harkatnya jadi supir. Lihatlah misalnya,
seorang tukang cuci sudah berani jalan mundur tanpa melihat sama
sekali pada kaca spion. Seluruh daerah cuci itu sudah mereka
hapal di luar kepala, lebih dari supir-supir itu sendiri.
Tapi suatu kali, karena keberanian ditunggangi oleh kengawuran,
sebuah mobil ringsek bagian depannya. Yang dipersalahkan adalah
seorang anak yang usianya masih tanggung. Ia memang sudah
berusaha untuk menggeser mobil yang sedang dicucinya, tahu-tahu
kena betot truk yang sedang turun dari tebing. Melihat ini sopir
jadi berang, ia tarik krah baju anak itu dan menyeretnya ke
hadapan pemilik mobil. Anak itu pucat pasi, setengah mati
ketakutan. Bayangkan bagaimana jadinya kalau disuruh mengganti.
Untunglah pemilik mobil tidak ikut naik pitam. Anak itu disuruh
pulang begitu saja. Ia hanya menegur sedikit supirnya sendiri,
agar lain kali jangan dengan. Baiknya, hatinya.
Tukang cuci mobil entah kenapa makin kecil makin sigap. Ukuran
tubuh yang kecil menyebabkan ia gesit dan ringan ke sana-ke
mari di seluruh tubuh mobil. Pasangan tukang cuci yang sangat
kompak antara lain adalah Taufan dan Syamsuri. Keduanya masih
berusia 13 tahun. Masih bertahan di kelas VI SD. Mereka mengaku
nyuci mobil hanya waktu senggang atau kalau lagi-liburan. Tapi
justru kedua amatir ini tampak sangat lihai. Sambil menyelam
mereka menyusup ke perut mobil dan mengosok-gosok dengan tehnik
ambil nafas yang bikin bengong. Mereka beitu akrab pada air,
seperti buaya. Caranya mencuci sekaligus menjadi tontonan yang
mengasyikkan.
Masa Depan
Mereka berdua mengaku akan meneruskan sekolah. Uang perolehan
mereka langsung diteruskan kepada ibu mereka sendiri. Dengan
begitu mereka mampu bayar SPP, beli buku pelajaran dan apa vang
dinamakan sekarang pakaian seragam. Jadi sebenarnya mata
pencaharian ini mungkin tidak begitu mengancam hasrat untuk
meneruskan sekolah. Kalau memang anak-anaknya masih kepingin
maju. Bapak Syamsuri yang sopir truk mungkin menginginkan
anaknya tidak cuma jadi tukanK cuci atau nupir. Sedangkan orang
tua Taufan yang membuka warung kopi di muara Guntang Alaban,
tidak semata-mata menitik-beratkan dapur pada cucur keringat
anaknya. "Yah ketimbang jalan-jalan tak menentu," ujarnya.
Pekerjaan cuci mobil tidak menitik beratkan pada usia tukang
cucinya. Juga tidak dihargai berdasarkan cepat lambatnya
pekerjaan. Semuanya pukul rata. Jadi benar-benar lebih
menguntungkan anak-anak. Apalagi godaan "warung" banyak merampas
jumlah pendapatan tukang cuci yang sudah dewasa. Sehingga
meskipun mereka tetap rajin bekerja, uang yang berhasil
disisakan untuk rumah akan tetap sedikit. "Karena selalu
berendam di air, perut lapar oom, jadi sering ke warung," ujar
Misrani. Ia menerangkan bukan tidak mengekang dirinya. Sudah
dicoba, tapi warung-warung itu bagai mengandung magnit. "Lagi
pula kalau siangnya kerja keras, malamnya kan perlu hiburan
untuk melupakan kecapean, nonton bioskop misbar."
Masih beruntung orang seperti Tajuddin yang sudah berkeluarga.
Ingatan pada anak bininya, membuat ia selalu mengarahkan kaki ke
rumah kalau lapar. Ia dapat menghindari daya pukau warung dan
bioskop. Tapi Misrani, ia sibuk menikmati hari-harinya sebagai
tukang cuci. Sama sekali tak punya tabungan. Untung saja ia tak
pernah sakit. Apakah orang seperti Misrani ini masih perlu
ditanyai tentang masa depan? "Yah, saya cuma ingin bisa pegang
stiran, jadi sopir seperti mereka," ujarnya sambil menunjuk para
sopir yang sedang beristirahat dengan santai di warung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini