Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Saya ingin pegang stir

Suka duka pengalaman para tukang cuci mobil dipelbagai daerah. pekerjaan ini tidak menitikberatkan pada usia tukang cucinya. semuanya pukul rata.(sd)

18 Maret 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ATURANNYA bulan-bulan ini masih dikekep oleh musim lumpur. Tapi nyatanya administrasi hujan sudah sedemikian ngawur. Langit lebih banyak terang, sehingga tidak ada lagi lumpur yang perlu disikat dari tubuh kendaraan-kendaraan bermotor. Yang penasaran adalah para tukang memandikan mobil. "Doa kami memang nakal. Kami selalu berdoa semoga banyak hujan dan lumpur," kata Misrani, tukang cuci mobil di Guntung Alaba, sebuah desa terpencil sebelum Kota Martapura. "Kalau banyak mobil ke mari, berarti kami banyak rezeki." Kalau hujan tidak lancar, berarti anak muda yang berusia 20 tahun ini akan kehilangan masa panen. Ia telah menjadi tukang cuci mobil sejak usia 5 tahun jadi sudah sejak 15 tahun yang lalu. Musim hujan adalah saat ia menerima persen dari kerja yang tak menyajikan masa depan itu. Humus Kenapa orang memilih kerjaan sebagai tukang cuci mobil, agaknya menarik untuk difikirkam Mungkin sekali ada semacam kebanggaan untuk menyentuh tubuh benda itu. Barangkali juga kegairahan untuk memiliki mobil satu ketika dapat dikurangi dengan jalan menyentuhnya. Atau ini demi uang semata-mata, karena pekerjaan tersebut tidak memerlukan keahlian. Asal berani pegang air dan tak jijik dilepoti lumpur serta kadangkala oli. Misrani tinggal di Guntun Alaban ini sampai rusak sekolahnya karena keanjingan memandikan mobil. Mula-mula karena alasan lingkungan. Rumahnya kebetulan bertetangga dengan lokasi mandi mobil. Waktu itu - 15 tahun yang lalu--mobil dan truk sedang ributnya mengurus keperluan "Proyek Riam Kanan", "Projakal" dan "Proyek Besi Baja Kalimantan". Mesin-mesin pengangkut ini pada saat istirahatnya dibawa ke perbatasan kota Martapura dan Banjarbaru. Di sana ada tempat bernama "Guntung Alaban". "Guntung" adalah sungai di perbukitan yang sumbernya berasal dari endapan bunga tanah --humus. Guntung Alaban itu berjarak 500 meter dari jalan protokol. Daerah tersebut langka bangunan. Jadi cukup pantas untuk menderetkan mobil untuk kemudian diceburkan ke air sampai mulus kembah. Di dekat daerah inilah rumah Misrani. Mula-mula ia jadi penonton. Memandangi bagaimana para kenek dengan sigap meloncat dari perut truk, langsung masuk keselangkanya membawa ember dan lap basah. Beberapa anak-anak yang lain juga mula-mula hanya memandang dan mengagumi alat angkutan yang kokoh dan tak kenal lelah itu. Dari rasa ingin tahu, timbul keisengan. Anak-anak itu kemudian tidak cukup hanya menonton. Tak sengaja mereka turun tangan. Membantu-bantu tanpa di minta, menyiramkan air kepinggang truk. Tentu saja mula-mula hanya mencoba-coba. Tapi tatkala para kenek itu tidak melarang, merekapun ikut memandikan mobil. Tak berapa lama kemudian keisengan itu berubah menjadi bantuan yang bisa berakhir dengan persen. Anak-anak itu jadi senang sekali. Setiap hari Selasa, Jumat dan Minggu makin panjang saja mobil berderet. Anak-anakpun makin banyak keluar dari kampung berkerumun membantu membereskan. Apalagi kalau hujan lebat, mobil-mobil itu harus ditangani dengan sungguh-sungguh agar benar-benar bebas dari lumpur. Agaknya para kenek sudah merasa perlu untuk menyerahkan tugas itu pada anak-anak. Maka munculah mata pencaharian sebagai tukang cuci mobil di Guntung Alaban. Ia benar-benar merupakan masa keemasan bagi anak-anak tatkala proyek-proyek itu sedang gencar-gencarnya. Tapi akibat buruknya anak seperti Misrani misalnya sampai kehilangan konsentrasi untuk menamatkan SD. Ia berhenti mengejar ilmu, karena ia mau praktis saja, yaitu: mengejar duit. Chairil Anwar Tukang cuci mobil yang lain, bernama Tajuddin Noor. Sekarang usianya 21 tahun. Ia menuliskan sejarah hidup yang sama dengan Misrani. Yakni mengorbankan sekolah untuk merebut duit dari lumpur-lumpur mobil, dengan hanya mengandalkan tenaganya ia menyusup ke bawah truk, dan herhasil juga memikat hati seorang gadis. Inilah kelebihannya dari Misrani. Ia telah memiliki seorang isteri dan dua orang anak. Isi dapurnya semua datang dari Guntung Alaban. Ia boleh bangga karena ini, meskipun terus terang, pendapatan tukang cuci mobil tidak selamanya mencukupi. "Yah, dipada-padakan. Waktu banyak perolehan makan lumayan. waktu sepi, belanja diirit ya sedikit-sedikit oleh mertua," ujarnya pada Rahmat Marlim dari TEMPO. Tidak ada tarif resmi di Guntung laban. Tapi pada umumnya kalau anda mau jadi tukang cuci mobil di sana, anda akan menerima Rp 300 untuk sebuah colt. Asal dicuci sampai bersih dan mengkilap. Ini penting sekali. Kalau tidak, kenek dan sopir-sopir akan melotot matanya dan main umpat-umpatan. Lalu untuk sebuah "stasion wagon" upahnya Rp 400. Sementara truk merupakan raja yang bisa menghasilkan uang Rp 500 sampai Rp 600, tergantung buncit tidaknya ukuran kendaraan tersebut. nipun tidak diterima sendiri. Galibnya mencuci mobil dilakukan oleh 2 orang. Waktu yang dimakan antara 1 sampai 2 jam. Dua orang tukang cuci yang baik, kuat dan rajin, paling banter mencuci antara 4 sampai 5 buah mobil setiap hari. Jadi maximum yang mungkin diterima dalam perhitungan kira-kira ini--oleh satu orang--hanya Rp 1.500. Sambil mengingat bahwa peralatan cuci seperti sabun misalnya, harus disediakan oleh tukang cuci sendiri. Ada juga memang tukang cuci yang tak mengenal siang atawa malam. Misalnya saja Chairil Anwar yang masih berusia 16 tahun. Tak ada hubungannya dengan Chairil Anwar penyair pelopor angkatan 45. Chairil Anwar yang tukang cuci ini, sudah memutuskan sekolah waktu masih di kelas V SD. Ia seorang penyair dalam soal cuci mobil, karena ia melakukan tugasnya itu malam hari, tanpa penerangan. "Tak pakai lampu atau senter pun jari tangan saya entah mengapa bagai sudah punya mata sendiri," ujar Chairil. Seperti Buaya Dengan tangan pakai tato gambar "kalajengking", Chairil Anwar punya tarif istimewa. Sambil menikmati kerja dengan tenang dan santai, ia boleh menerima upah 2 kali dari tarif siang hari. Langganannya memang terurama orang-orang yang butuh. Sebab kalau tidak buat apa buang-buang duit. Chairil seperti hanya apotik malam, yang kini banyak dijumpai buka 24 jam di Jakarta, sudah bikin Guntung Alaban mapan sebagai tempat mandi mobil yang tersedia menerima pekerjaan non stop. Antara para Sopir dan tukang cuci timbul aliran persahabatan. Kemudian kembali menjadi kepercayaan. Tak heranlah kalau kunci kontali seringkali dibiarkan begitu saja. Para sopir dengan sanainya melepaskan lelah di warung. Mereka biarkan saja orang-orang seperti Misrani, menaikkan mobil kembali ke atas tebing. Bahkan mereka biarkan saja mobil mereka digiring sampai ke jalan protokol. Akibatnya dengan tidak sengaja tempat euei mobil itu menjadi arena laihan nyupir. Berkat coba-eoba sekali dua kali hanyak tukang euei jadi mahir. Bahkan supir-supir yang ada di sana dapat menyebutkan bebcrapa orang tukang euci yang kemudian menaikkan harkatnya jadi supir. Lihatlah misalnya, seorang tukang cuci sudah berani jalan mundur tanpa melihat sama sekali pada kaca spion. Seluruh daerah cuci itu sudah mereka hapal di luar kepala, lebih dari supir-supir itu sendiri. Tapi suatu kali, karena keberanian ditunggangi oleh kengawuran, sebuah mobil ringsek bagian depannya. Yang dipersalahkan adalah seorang anak yang usianya masih tanggung. Ia memang sudah berusaha untuk menggeser mobil yang sedang dicucinya, tahu-tahu kena betot truk yang sedang turun dari tebing. Melihat ini sopir jadi berang, ia tarik krah baju anak itu dan menyeretnya ke hadapan pemilik mobil. Anak itu pucat pasi, setengah mati ketakutan. Bayangkan bagaimana jadinya kalau disuruh mengganti. Untunglah pemilik mobil tidak ikut naik pitam. Anak itu disuruh pulang begitu saja. Ia hanya menegur sedikit supirnya sendiri, agar lain kali jangan dengan. Baiknya, hatinya. Tukang cuci mobil entah kenapa makin kecil makin sigap. Ukuran tubuh yang kecil menyebabkan ia gesit dan ringan ke sana-ke mari di seluruh tubuh mobil. Pasangan tukang cuci yang sangat kompak antara lain adalah Taufan dan Syamsuri. Keduanya masih berusia 13 tahun. Masih bertahan di kelas VI SD. Mereka mengaku nyuci mobil hanya waktu senggang atau kalau lagi-liburan. Tapi justru kedua amatir ini tampak sangat lihai. Sambil menyelam mereka menyusup ke perut mobil dan mengosok-gosok dengan tehnik ambil nafas yang bikin bengong. Mereka beitu akrab pada air, seperti buaya. Caranya mencuci sekaligus menjadi tontonan yang mengasyikkan. Masa Depan Mereka berdua mengaku akan meneruskan sekolah. Uang perolehan mereka langsung diteruskan kepada ibu mereka sendiri. Dengan begitu mereka mampu bayar SPP, beli buku pelajaran dan apa vang dinamakan sekarang pakaian seragam. Jadi sebenarnya mata pencaharian ini mungkin tidak begitu mengancam hasrat untuk meneruskan sekolah. Kalau memang anak-anaknya masih kepingin maju. Bapak Syamsuri yang sopir truk mungkin menginginkan anaknya tidak cuma jadi tukanK cuci atau nupir. Sedangkan orang tua Taufan yang membuka warung kopi di muara Guntang Alaban, tidak semata-mata menitik-beratkan dapur pada cucur keringat anaknya. "Yah ketimbang jalan-jalan tak menentu," ujarnya. Pekerjaan cuci mobil tidak menitik beratkan pada usia tukang cucinya. Juga tidak dihargai berdasarkan cepat lambatnya pekerjaan. Semuanya pukul rata. Jadi benar-benar lebih menguntungkan anak-anak. Apalagi godaan "warung" banyak merampas jumlah pendapatan tukang cuci yang sudah dewasa. Sehingga meskipun mereka tetap rajin bekerja, uang yang berhasil disisakan untuk rumah akan tetap sedikit. "Karena selalu berendam di air, perut lapar oom, jadi sering ke warung," ujar Misrani. Ia menerangkan bukan tidak mengekang dirinya. Sudah dicoba, tapi warung-warung itu bagai mengandung magnit. "Lagi pula kalau siangnya kerja keras, malamnya kan perlu hiburan untuk melupakan kecapean, nonton bioskop misbar." Masih beruntung orang seperti Tajuddin yang sudah berkeluarga. Ingatan pada anak bininya, membuat ia selalu mengarahkan kaki ke rumah kalau lapar. Ia dapat menghindari daya pukau warung dan bioskop. Tapi Misrani, ia sibuk menikmati hari-harinya sebagai tukang cuci. Sama sekali tak punya tabungan. Untung saja ia tak pernah sakit. Apakah orang seperti Misrani ini masih perlu ditanyai tentang masa depan? "Yah, saya cuma ingin bisa pegang stiran, jadi sopir seperti mereka," ujarnya sambil menunjuk para sopir yang sedang beristirahat dengan santai di warung.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus