Sebuah komentar telah dibuat oleh Hartono (TEMPO, 19 Oktober), atas kolom saya tentang demokrasi (TEMPO, 19 Oktober). Sesungguhnya ketika menulis kolom itu saya sudah menduga keras akan adanya komentar seperti yang dibuat oleh Hartono mengingat bahwa dalam kolom saya itu ada kutipan dari Ibn Taymiyyah yang bagi kebanyakan orang Islam tentu cukup mengagetkan. Yaitu kutipan pernyataannya bahwa "Tuhan mendukung kekuasaan yang adil meskipun kafir, dan tidak mendukung kekuasaan yang zalim meskipun Islam," dan, "Dunia akan tetap bertahan dengan keadilan sekalipun kafir, dan tidak akan bertahan dengan kezaliman sekalipun Islam." Hartono patut sekali mempertanyakan dari mana pernyataan Ibn Taymiyyah itu saya kutip. Saya sendiri sebenarnya ingin mencantumkan sumber kutipan itu, tetapi sebuah kolom bukanlah tulisan akademis sehingga akan terasa sedikit janggal kalau sumber sebuah kutipan dimuat lengkap. Kutipan itu saya buat dari risalah Ibn Taymiyyah berjudul Al-Amr bi al Ma'ruf wa al-Nahy 'an al-Munkar. Risalah itu telah diterbitkan dalam dua edisi. Yang pertama ialah suntingan Dr. Shalah al-Din al-Munjid (Beirut: Dar al-Kitab al-Jadid, 1396 H/1976 M). Kutipan saya itu dari halaman 40. Yang kedua ialah suntingan Abu 'Abd-Allah Muhammad ibn Sa'id Ibn Raslan (Kairo, Mesir: Dar al-Ulum al-Islamiyyah, dan Buraydah, Saudi Arabia: Dar al-Bukhari, 1409 H/1989 M). Dalam edisi ini, kutipan saya tersebut dari halaman 64-65. Dalam kedua edisi itu terdapat catatan kaki yang amat bermanfaat. Edisi yang kedua juga memuat komentar beberapa sarjana Islam terkemuka. Maka berkenaan dengan pernyataan Ibn Taymiyyah yang "mengagetkan" itu, dikutip komentar Syaikh Muhammad Hamid al-Faqi dari kitabnya, Syadzarat al-Balatin (1:365), bahwa "Ibn Taymiyyah bermaksud menunjuk (hanya) kepada segi lahiriah syariat Islam. Adapun Islam yang benar secara ilmiah, amaliah, dan akidah, maka tentu tidak akan mengandung kezaliman," katanya. Komentar itu tepat sekali. Jika dipandang dari segi "apa yang seharusnya" (normatif), Islam yang mengandung kezaliman akan merupakan kontradiksi "in terminus". Tetapi justru Ibn Taymiyyah sering melihat sesuatu tidak hanya menurut apa yang seharusnya saja, melainkan juga menurut kenyataannya dalam sejarah. Sebagai pembela paham Suni yang bersemangat, ia mengatakan bahwa kaum Suni harus selalu melihat kenyataan dalam sejarah itu (lihat, a.l., Minhaj al-Sunnah, 1:194). Ia sering menegaskan "Hakikat ada dalam kenyataan luar, tidak dalam pikiran" (a.l. Ibid., 1:243, 254). Karena itu, banyak sarjana modern, seperti Iqbal dan Sulayman al-Nadvi, memandang Ibn Taymiyyah sebagai penganjur empirisisme, jauh sebelum para pemikir Eropa Barat. Karena empirisismenya itu, Ibn Taymiyyah tidak begitu saja menilai suatu pemerintahan Islam tentu akan menegakkan keadilan. Ia sendiri menyaksikan betapa pemerintahan Islam di zamannya jelas-jelas menjalankan kezaliman, justru dengan bantuan dan dukungan para ulama. Inilah yang menyebabkan ia terlibat dalam berbagai polemik yang sengit dengan para ulama dan tokoh pemerintahan Islam, yang untuk itu ia harus meringkuk di dalam penjara, dan bahkan akhirnya meninggal di dalam penjara. Juga karena empirisismenya itu Ibn Taymiyyah masih melihat kemungkinannya suatu pemerintahan menjalankan keadilan meskipun bukan Islam. Dari sudut pandangan inilah ia membuat pernyataan seperti saya kutip, yaitu bahwa bagi Tuhan, menurut dia, keadilan, meskipun disertai kekafiran lebih baik daripada kezaliman, meskipun disertai keislaman. Menurut Ibn Taymiyyah, dalam pernyataan selanjutnya, "Demikian itu karena keadilan adalah aturan (nidham, sistem) segala sesuatu. Jika urusan dunia ditegakkan dengan keadilan, ia akan tegak meskipun pelakunya di akhirat nanti tidak mendapatkan apa-apa (karena kafir), dan bila tidak ditegakkan dengan keadilan, urusan dunia itu juga tidak akan tegak meskipun pelakunya mempunyai keimanan yang akan mendapatkan pahala nanti di akhirat." Dengan perkataan lain Ibn Taymiyyah hendak menegaskan bahwa keadilan adalah sunnatullah, suatu hukum dari Tuhan yang obyektif (tidak bergantung atau terpengaruh oleh keadaan pribadi seseorang seperti iman atau kafir) dan tidak akan berubah (immutable). Maka, sama halnya dengan semua sunnatullah seperti dipahami oleh para ulama dan pemikir Islam, siapa saja menempuh keadilan, dia akan jaya, tidak peduli kafir atau Islam dan siapa saja melanggarnya, dia akan binasa, juga tidak peduli kafir atau Islam. Dengan alur argumennya itu Ibn Taymiyyah tidaklah bermaksud membenarkan pemerintahan kafir atas umat Islam, tetapi memperingatkan bahwa jika harus memilih, keadilan, siapa pun yang melakukannya, lebih baik daripada kezaliman, juga siapa pun yang melakukan. Keadilan itu sejalan dengan sunnatullah, dan sunnatullah itulah pengertian generik syariah atau hukum Allah. Jadi, tetap ada dalam kerangka menjalankan syariah. Dan sesuai dengan teori politik Suni, bagi Ibn Taymiyyah kezaliman yang terbesar ialah memberontak kepada pemerintah. Ia mengutip hadis, "Tidak ada dosa yang lebih cepat mendapat azab daripada memberontak dan memutuskan persaudaraan." Sebab, "Pemberontak (harus) ditindas di dunia meskipun (mungkin) dia akan mendapat ampun dan rahmat di akhirat (karena imannya)," katanya. Hartono menyebut-nyebut Deliar Noer berkenaan dengan kritiknya atas buku Menteri Munawir Sjadzali, lalu mengatakan bahwa Deliar tidak menemukan sumber kutipan Menteri Munawir tentang hal yang sama. Dan kitab Ibn Taymiyyah satu-satunya yang disebut ialah Al-Siyasat al-Sayar'iyyah. Dalam hal ini, saya rasa tidak adil mengharap Deliar mengetahui, apalagi memahami, banyak kitab klasik (kitab "kuning", kata orang), karena bukan bidang keahliannya. Deliar besar di bidang yang lain, sebagai seorang ahli politik modern, dan biarkanlah ia bekerja dan berjasa di bidang yang menjadi wewenangnya. Siapa saja yang mempunyai aspirasi menjadi ahli dalam teori politik Islam, ia mempunyai kewajiban moral dan akademis untuk mempelajari warisan intelektual Islam di bidang itu yang sangat kaya. Maka, sebagai misal, membatasi pengetahuan tentang teori politik Ibn Taymiyyah hanya kepada satu kitabnya saja adalah suatu bencana. Sebab, Ibn Taymiyyah memaparkan teorinya secara bertebaran praktis di semua karyanya yang jumlahnya ratusan, besar dan kecil, berbentuk sejak dari risalah beberapa halaman sampai kepada kitab berjilid-jilid. Saya tahu pasti bahwa Menteri Munawir membaca berbagai karya itu. Terima kasih. NURCHOLISH MADJID 3485, rue McTavish Street, Suite 319 Montreal, PQ, Canada H3A 1Y1
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini