Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Anak-anak dibantai di perbatasan

34 penduduk serta beberapa polisi perbatasan utara muangthai dibantai pasukan khmer merah. pihak kamboja tidak mengakui.

12 Februari 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETIKA di sebelah selatan Muangthai bersama Malaysia sibuk melakukan operasi bersama terhadap gerombolan komunis, di perbatasan utara tiba-tiba bangkit tragedi besar. Sejumlah 34 penduduk sipil serta beberapa polisi perbatasan, dalam waktu beberapa jam saja telah dibantai pasukan Khmer Merah tanggal 28 Januari yang lalu. Desa-desa Ban Nong Dor, Ban Klong Kor dan Ban Noi Parai, diserbu untuk kemudian dimusnahkan rata bumi oleh para penyerbu yang diperkirakan berkekuatan 300 orang. Serangan yang berlangsung secara amat mendadak pada malam buta itu sama sekali tidak memberi kesempatan kepada pihak Muangthai untuk memberi bantuan secukupnya kepada pasukan pengawal perbatasan yang terkepung. Ketika mayat-mayat - kebanyakan anak kecil dan perempuan yang sebagian besar mati disembelih - belum lagi disucikan, protes pemerintah Muangthai sudah ditolak oleh pihak Kamboja lewat kepala pasukan mereka di perbatasan, Kepada wartawan Mitcherd Booncherd, si kepala pasukan, berkata: "Kejadian ini tidak dilakukan oleh pasukan Kamboja. Saya juga tak tahu siapa yang melakukannya". Booncherd malahan menyatakan kekesalannya kepada pers Muangthai. "Pemberitaan pers Muangthai amat mengecewakan kami, sebab kami sama sekali tidak ada hubungan dengan kejadian tersebut". Wakil Perdana Menteri Muangthai, Jenderal Boonchai meninjau desa-desa yang hancur itu tiga hari setelah penyerbuan. Pembesar Muangthai ini menduga serbuan itu dilakukan dengan niat utama mendapat bahan makanan yang kini amat dibutuhkan Kamboja. Dengan marah, Boonchai berkata: "Tidak ada tentara di dunia bertindak sebrutal tentara Kamboja yang menyembelih anak kecil dan menganiaya perempuan hamil". Sembari menyebut penyerbuan tersebut sebagai bertentangan dengan semangat pernyataan bersama Kamboja-Muangthai tanggal 31 Oktober 1975, Boonchai -- yang menjanjikan kompensasi sebesar Rp 42.000 kepada keluarga yang kehilangan warganya - juga mengirimkan ancaman ke arah Kamboja. "Pemerintah akan memerintahkan serangan balasan jika Kamboja masih melakukan serangan ke wilayah kita", kata Boonchai ketika meninjau desa-desa yang musnah itu. Meskipun pasukan-pasukan Kamboja tidak mempunyai personil dan persenjataan sekuat yang dimiliki Muangthai, tapi jaminan bahwa ancaman Boonchai akan menghentikan penyerbuan mereka hampir tidak bisa diperoleh. Soal utamanya adalah tapal batas. Hingga kini batas yang jelas antara Muangthai dan Kamboja tidak pernah bisa ditunjuk pasti. Orang-orang Kamboja bahkan yakin bahwa sebagian dari wilayah mereka kini "diduduki" Muangthai. Akan halnya keadaan di tiga desa yang jadi korban serbuan mendadak itu, berikut ini laporan pandangan mata wartawan surat kabar Bangkok Post, Aroon Larnule, yang berada di tempat peristiwa hanya beberapa jam setelah penyerbuan berdarah. Dengan mata kepala saya sendiri, kemarin saya menyaksikan mayat-mayat perempuan dan anak-anak yang dibantai secara amat brutal oleh tentara Khmer Merah yang menyerbu masuk wilayah Muangthai Jum'at malam. Sejumlah 34 orang Muangthai terbunuh, termasuk seorang pasukan pengawal perbatasan. Saya juga menyaksikan desa-desa yang dimusnahkan. Pembantaian yang betul-betul mengerikan. Saya terbang ke Aranyaprathet dengan Jenderal Polisi Montchai Pankongchuen direktur jenderal kepolisian, dan Letnan Jenderal Polisi Angkoon Thattanon, komisioner polisi perbatasan. Mula-mula kami mengunjungi Muban Chadoh, tempat bermarkasnya kompi pertama polisi perbatasan. Dengan menumpang kendaraan berlapis baja yang dikawal dua jip bersenjata lengkap - satu di belakang, yang lain di depan - kami melewati jalan penting antara Klong Luek dan Pah Rai. Di Ban Klong Kor, 5 kilometer dari Muban Chadoh, kami singgah. Dengan dikawal oleh pasukan pengawal perbatasan yang mengamankan radius 500 meter, kami bergerak hati-hati ke desa yang baru saja dihancurkan. Sejumlah ranjau darat masih terlihat bergeletakan di mana-mana, dan kami harus berjalan hati-hati sesuai dengan petunjuk polisi pengawal perbatasan. Ketika mendekati desa yang baru dimusnahkan, asap masih terlihat mengepul, dan 8 mayat - kebanyakan wanita dan anak-anak - masih berada di sana jelas sekali mayat-mayat itu merupakan korban sembelihan pada tenggorokan. Bekas sembelihan kelihatan kasar, menandakan bahwa pisau yang dipakai amat tumpul. Juga bekas pukulan bisa ditemukan pada tubuh mereka. Tidak ada lagi penduduk di sana. Sejumlah anak anjing berkeliaran. Beberapa ekor anak ayam kelihatan mendekam di tanah. Ayam-ayam dan kerbau dibawa pergi oleh para penyerbu. Tempat-tempat penampungan air dimusnahkan. Jenderal Montchai memerintahkan kepada pengawal perbatasan untuk memelihara anak anjing dan anak-anak ayam yang ditinggal induk mereka. Kami kemudian melanjutkan perjalanan ke desa Ban Nong Dor, 3 kilometer dari desa pertama. Setelah berjalan satu setengah kilometer dari jalan raya, barulah ketahuan bahwa di desa ini 13 rumah telah musnah dan rata dengan bumi. Pasukan pengawal perbatasan berjalan di depan untuk mendeteksi ranjau darat atau pasukan penghadang. Kami berjalan membungkuk di antara semak-semak dan pepohonan. Setelah beberapa saat, kami menemukan tubuh seorang wanita hamil dan seoran anak baru berumur 2 tahun. Kemungkinan besar anak-beranak. Keduanya mati tersembelih. Bekas pukulan juga terlihat di kepala keduanya. Lima meter dari kedua mayat ini, ada lagi mayat seorang wanita dalam kondisi yang sama. Sejumlah 22 mayat - kebanyakan wanita dan anak-anak - tertemukan di desa ini. Dari desa ini kami melanjutkan perjalanan melewati jalan utama sepanjang dua setengah kilometer ke markas peleton 219 pasukan penjaga perbatasan. Peleton ini berkekuatan 15 orang, dan bekerja dengan bantuan polisi setempat yang berkekuatan 18 orang ketika terjadi serbuan pada Jum'at malam. Penduduk di sekitar itu sudah diungsikan sebelumnya, setelah pada tanggal 7 Januari tersiar ancaman Khmer Merah untuk merebut wilayah tersebut. Pengungsian mulai dilakukan ketika terlihat tanda-tanda adanya pemusatan pasukan Khmer Merah di Poipet. Laporan mengenai adanya serangan Khmer Merah dikirimkan oleh polisi perbatasan pada pukul 10.0 malam hari Jumat 8 Januari. Pada saat itu sekitar 100 tentara Kamboja telah mengepung desa sembari menembakkan senjata jenis M-16 dan M-79. Sambil maju mereka juga melemparkan granat tangan. Pasukan pengawal perbatasan yang jumlahnya amat kecil itu melakukan tembakan balasan secara hemat mengingat persediaan peluru yang amat terbatas. Pernyataan bahaya lewat radio segera dikirimkan ke Kolonel Somnuek di Aranyaprathet. Kolonel dari pasukan pengawal perbatasan ini kemudian memberitahukan kepada saya bahwa ia sangat mengharapkan bantuan dari kompi tentara yang ditempatkan di Araynprathet tapi sama sekali tidak ada reaksi dari komandan kompi tersebut. Dalam keadaan terdesak, ia memerintahkan pesawat jenis Pilatus Porter No. 1603, milik pengawal perbatasan untuk melibatkan diri. Pesawat tua ini biasanya cuma dipakai untuk menerbangkan suplai pada siang hari. Pesawat tolak landas dari Aranyaprathet pukul 11.45, Jum'at malam. Sebuah senjata jenis M-60 dipasang di tubuh pesawat, sedang para awak membawa senjata M-16 serta sejumlah senjata otomatis lainnya. Dan pesawat Pilatus yang terlarang terbang malam itu, saat itu terpaksa terbang dalam kegelapan yang sempurna. Pilot dituntun oleh radio dari pasukan pengawal perbatasan yang sedang terlibat pertempuran serta oleh api yang membakar desa. Di darat, sebuah kendaraan lapis baja yang mencoba menerobos kepungan tentara Kamboja dihancurkan oleh para penyerbu dengan senjata RPG-40. Bannya meletus, dan 4 penumpaugnya segera terlibat pertempuran dengan para penghadang. Pada saat yang sama, di desa, kepala pengawas penjara, Bhirom Kaewphana, tertembak mati. Pesawat melayang di atas desa sembari menembaki para penyerbu yang tidak bisa melihat pesawat yang memang tidak punya lampu itu. Polisi-polisi dalam pesawat itu menembakkan lebih dari 2000 peluru sebelum senjata M0-60 lumpuh. Pesan radio segera dikirimkan ke lapangan terbang agar lampu dinyalakan untuk persiapan pendaratan. Setelah M-60 diperbaiki pesawat Pilatus itu terbang kembali ke medan tempur. Lewat tengah malam, pasukan penyerbu mundur. Dari 18 polisi yang ditempatkan di desa itu, 10 orang mengalami luka parah. Jam 7 pagi besoknya, pesawat Porter itu terbang kembali mengitari bekas wilayah pertempuran. Di saat yang sama sebuah helikopter sibuk mengangkut korban-korban. Mereka yang luka mengisahkan pengalaman mereka dengan bom yang dilemparkan ke dalam desa yang menyebabkan mereka mual. Dengan bertiarap sambil menutup hidung, mereka bisa terhindar dari siksaan bom tersebut. "Kami selalu ingat pada Raja, karena itu kami bisa selamat", kata salah seorang dari mereka. Pasukan pengawal perbatasan yang luka itu mengaku melihat pasukan Kamboja mundur sambil mengangkut tubuh 10 orang rekan mereka sendiri. Kendati demikian, mayat seorang pasukan penyerbu itu ternyata tidak sempat dibawa pulang. Mayat yang jelas menggunakan pasukan seragam tentara Khmer Merah itu disimpan di markas pengawal perbatasan di Aranyaprathet, untuk membuktikan bahwa memang pasukan Kamboja-lah yang menyerbu ke wilayah Muangthai.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus