KETIKA di sebelah selatan Muangthai bersama Malaysia sibuk
melakukan operasi bersama terhadap gerombolan komunis, di
perbatasan utara tiba-tiba bangkit tragedi besar. Sejumlah 34
penduduk sipil serta beberapa polisi perbatasan, dalam waktu
beberapa jam saja telah dibantai pasukan Khmer Merah tanggal 28
Januari yang lalu. Desa-desa Ban Nong Dor, Ban Klong Kor dan Ban
Noi Parai, diserbu untuk kemudian dimusnahkan rata bumi oleh
para penyerbu yang diperkirakan berkekuatan 300 orang. Serangan
yang berlangsung secara amat mendadak pada malam buta itu sama
sekali tidak memberi kesempatan kepada pihak Muangthai untuk
memberi bantuan secukupnya kepada pasukan pengawal perbatasan
yang terkepung.
Ketika mayat-mayat - kebanyakan anak kecil dan perempuan yang
sebagian besar mati disembelih - belum lagi disucikan, protes
pemerintah Muangthai sudah ditolak oleh pihak Kamboja lewat
kepala pasukan mereka di perbatasan, Kepada wartawan Mitcherd
Booncherd, si kepala pasukan, berkata: "Kejadian ini tidak
dilakukan oleh pasukan Kamboja. Saya juga tak tahu siapa yang
melakukannya". Booncherd malahan menyatakan kekesalannya kepada
pers Muangthai. "Pemberitaan pers Muangthai amat mengecewakan
kami, sebab kami sama sekali tidak ada hubungan dengan kejadian
tersebut".
Wakil Perdana Menteri Muangthai, Jenderal Boonchai meninjau
desa-desa yang hancur itu tiga hari setelah penyerbuan. Pembesar
Muangthai ini menduga serbuan itu dilakukan dengan niat utama
mendapat bahan makanan yang kini amat dibutuhkan Kamboja. Dengan
marah, Boonchai berkata: "Tidak ada tentara di dunia bertindak
sebrutal tentara Kamboja yang menyembelih anak kecil dan
menganiaya perempuan hamil". Sembari menyebut penyerbuan
tersebut sebagai bertentangan dengan semangat pernyataan bersama
Kamboja-Muangthai tanggal 31 Oktober 1975, Boonchai -- yang
menjanjikan kompensasi sebesar Rp 42.000 kepada keluarga yang
kehilangan warganya - juga mengirimkan ancaman ke arah Kamboja.
"Pemerintah akan memerintahkan serangan balasan jika Kamboja
masih melakukan serangan ke wilayah kita", kata Boonchai ketika
meninjau desa-desa yang musnah itu.
Meskipun pasukan-pasukan Kamboja tidak mempunyai personil dan
persenjataan sekuat yang dimiliki Muangthai, tapi jaminan bahwa
ancaman Boonchai akan menghentikan penyerbuan mereka hampir
tidak bisa diperoleh. Soal utamanya adalah tapal batas. Hingga
kini batas yang jelas antara Muangthai dan Kamboja tidak pernah
bisa ditunjuk pasti. Orang-orang Kamboja bahkan yakin bahwa
sebagian dari wilayah mereka kini "diduduki" Muangthai.
Akan halnya keadaan di tiga desa yang jadi korban serbuan
mendadak itu, berikut ini laporan pandangan mata wartawan surat
kabar Bangkok Post, Aroon Larnule, yang berada di tempat
peristiwa hanya beberapa jam setelah penyerbuan berdarah.
Dengan mata kepala saya sendiri, kemarin saya menyaksikan
mayat-mayat perempuan dan anak-anak yang dibantai secara amat
brutal oleh tentara Khmer Merah yang menyerbu masuk wilayah
Muangthai Jum'at malam. Sejumlah 34 orang Muangthai terbunuh,
termasuk seorang pasukan pengawal perbatasan. Saya juga
menyaksikan desa-desa yang dimusnahkan. Pembantaian yang
betul-betul mengerikan.
Saya terbang ke Aranyaprathet dengan Jenderal Polisi Montchai
Pankongchuen direktur jenderal kepolisian, dan Letnan Jenderal
Polisi Angkoon Thattanon, komisioner polisi perbatasan.
Mula-mula kami mengunjungi Muban Chadoh, tempat bermarkasnya
kompi pertama polisi perbatasan. Dengan menumpang kendaraan
berlapis baja yang dikawal dua jip bersenjata lengkap - satu di
belakang, yang lain di depan - kami melewati jalan penting
antara Klong Luek dan Pah Rai. Di Ban Klong Kor, 5 kilometer
dari Muban Chadoh, kami singgah. Dengan dikawal oleh pasukan
pengawal perbatasan yang mengamankan radius 500 meter, kami
bergerak hati-hati ke desa yang baru saja dihancurkan.
Sejumlah ranjau darat masih terlihat bergeletakan di mana-mana,
dan kami harus berjalan hati-hati sesuai dengan petunjuk polisi
pengawal perbatasan. Ketika mendekati desa yang baru
dimusnahkan, asap masih terlihat mengepul, dan 8 mayat -
kebanyakan wanita dan anak-anak - masih berada di sana jelas
sekali mayat-mayat itu merupakan korban sembelihan pada
tenggorokan. Bekas sembelihan kelihatan kasar, menandakan bahwa
pisau yang dipakai amat tumpul. Juga bekas pukulan bisa
ditemukan pada tubuh mereka.
Tidak ada lagi penduduk di sana. Sejumlah anak anjing
berkeliaran. Beberapa ekor anak ayam kelihatan mendekam di
tanah. Ayam-ayam dan kerbau dibawa pergi oleh para penyerbu.
Tempat-tempat penampungan air dimusnahkan. Jenderal Montchai
memerintahkan kepada pengawal perbatasan untuk memelihara anak
anjing dan anak-anak ayam yang ditinggal induk mereka.
Kami kemudian melanjutkan perjalanan ke desa Ban Nong Dor, 3
kilometer dari desa pertama. Setelah berjalan satu setengah
kilometer dari jalan raya, barulah ketahuan bahwa di desa ini 13
rumah telah musnah dan rata dengan bumi. Pasukan pengawal
perbatasan berjalan di depan untuk mendeteksi ranjau darat atau
pasukan penghadang. Kami berjalan membungkuk di antara
semak-semak dan pepohonan. Setelah beberapa saat, kami menemukan
tubuh seorang wanita hamil dan seoran anak baru berumur 2
tahun. Kemungkinan besar anak-beranak. Keduanya mati
tersembelih. Bekas pukulan juga terlihat di kepala keduanya.
Lima meter dari kedua mayat ini, ada lagi mayat seorang wanita
dalam kondisi yang sama. Sejumlah 22 mayat - kebanyakan wanita
dan anak-anak - tertemukan di desa ini.
Dari desa ini kami melanjutkan perjalanan melewati jalan utama
sepanjang dua setengah kilometer ke markas peleton 219 pasukan
penjaga perbatasan. Peleton ini berkekuatan 15 orang, dan
bekerja dengan bantuan polisi setempat yang berkekuatan 18 orang
ketika terjadi serbuan pada Jum'at malam. Penduduk di sekitar
itu sudah diungsikan sebelumnya, setelah pada tanggal 7 Januari
tersiar ancaman Khmer Merah untuk merebut wilayah tersebut.
Pengungsian mulai dilakukan ketika terlihat tanda-tanda adanya
pemusatan pasukan Khmer Merah di Poipet.
Laporan mengenai adanya serangan Khmer Merah dikirimkan oleh
polisi perbatasan pada pukul 10.0 malam hari Jumat 8 Januari.
Pada saat itu sekitar 100 tentara Kamboja telah mengepung desa
sembari menembakkan senjata jenis M-16 dan M-79. Sambil maju
mereka juga melemparkan granat tangan. Pasukan pengawal
perbatasan yang jumlahnya amat kecil itu melakukan tembakan
balasan secara hemat mengingat persediaan peluru yang amat
terbatas.
Pernyataan bahaya lewat radio segera dikirimkan ke Kolonel
Somnuek di Aranyaprathet. Kolonel dari pasukan pengawal
perbatasan ini kemudian memberitahukan kepada saya bahwa ia
sangat mengharapkan bantuan dari kompi tentara yang ditempatkan
di Araynprathet tapi sama sekali tidak ada reaksi dari komandan
kompi tersebut. Dalam keadaan terdesak, ia memerintahkan
pesawat jenis Pilatus Porter No. 1603, milik pengawal perbatasan
untuk melibatkan diri. Pesawat tua ini biasanya cuma dipakai
untuk menerbangkan suplai pada siang hari.
Pesawat tolak landas dari Aranyaprathet pukul 11.45, Jum'at
malam. Sebuah senjata jenis M-60 dipasang di tubuh pesawat,
sedang para awak membawa senjata M-16 serta sejumlah senjata
otomatis lainnya. Dan pesawat Pilatus yang terlarang terbang
malam itu, saat itu terpaksa terbang dalam kegelapan yang
sempurna.
Pilot dituntun oleh radio dari pasukan pengawal perbatasan yang
sedang terlibat pertempuran serta oleh api yang membakar desa.
Di darat, sebuah kendaraan lapis baja yang mencoba menerobos
kepungan tentara Kamboja dihancurkan oleh para penyerbu dengan
senjata RPG-40. Bannya meletus, dan 4 penumpaugnya segera
terlibat pertempuran dengan para penghadang. Pada saat yang
sama, di desa, kepala pengawas penjara, Bhirom Kaewphana,
tertembak mati. Pesawat melayang di atas desa sembari menembaki
para penyerbu yang tidak bisa melihat pesawat yang memang tidak
punya lampu itu.
Polisi-polisi dalam pesawat itu menembakkan lebih dari 2000
peluru sebelum senjata M0-60 lumpuh. Pesan radio segera
dikirimkan ke lapangan terbang agar lampu dinyalakan untuk
persiapan pendaratan. Setelah M-60 diperbaiki pesawat Pilatus
itu terbang kembali ke medan tempur. Lewat tengah malam, pasukan
penyerbu mundur. Dari 18 polisi yang ditempatkan di desa itu, 10
orang mengalami luka parah.
Jam 7 pagi besoknya, pesawat Porter itu terbang kembali
mengitari bekas wilayah pertempuran. Di saat yang sama sebuah
helikopter sibuk mengangkut korban-korban. Mereka yang luka
mengisahkan pengalaman mereka dengan bom yang dilemparkan ke
dalam desa yang menyebabkan mereka mual. Dengan bertiarap sambil
menutup hidung, mereka bisa terhindar dari siksaan bom tersebut.
"Kami selalu ingat pada Raja, karena itu kami bisa selamat",
kata salah seorang dari mereka.
Pasukan pengawal perbatasan yang luka itu mengaku melihat
pasukan Kamboja mundur sambil mengangkut tubuh 10 orang rekan
mereka sendiri. Kendati demikian, mayat seorang pasukan penyerbu
itu ternyata tidak sempat dibawa pulang. Mayat yang jelas
menggunakan pasukan seragam tentara Khmer Merah itu disimpan
di markas pengawal perbatasan di Aranyaprathet, untuk
membuktikan bahwa memang pasukan Kamboja-lah yang menyerbu ke
wilayah Muangthai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini