Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Pak Kromo Alias Si Srati

Puncak acara peringatan satu Asyura di Keraton Surakarta adalah Kirab Tosan Wesiaji, di mana seekor kerbau (Kiai slamet) dielu-elukan masyarakat. Pak Kromo yang merawatnya digaji Rp 2.000,-. (ils)

24 Maret 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KERJANYA tidak banyak. Cukup satu kali dalam seminggu di hari Kamis sore. Cara kerjanya pun ringan jalan-jalan seputar Kraton Surakarta. Itu saja. Tugas lainnya hanya dilakukan setahun sekali. Yang ini juga enteng. Dalam upacara peringatan Satu Asyura, misalnya, dia berjalan paling depan. Publik biasanya mengelu-elukan. Karena begitu dia muncul, ini pertanda bahwa arak-arakan pusaka kraton akan lewat. Dan upacara arak-arakan ini -- disebut kirab tosan wesiaji -- adalah puncak acara dari peringatan Satu Asyura. Dan dia -- orang-orang menyebutnya Kiayi Slamet -- dengan tenang berjalan sambil melenggang menyelusuri beberapa jalan di seputar kota. Semua dilakukannya dengan gaya santai. Artinya, langkahnya tidak perlu seperti serdadu sedang baris-berbaris. Bahkan kalau timbul hasrat buang air kecil atau besar, tidak ada yang melarangnya untuk tidak melakukan hal itu. Hidup Kiayi Slamet juga cukup terjamin. Isterinya ada beberapa, dan sebuah rumah dalam lingkungan yang telah ditunjuk kraton tersedia baginya, komplit dengan seorang pengasuhnya. Mahesaprawira Kiayi Slamet tidak lebih dari hanya seekor kerbau. "Kiayi Slamet sudah ada sejak zaman Paku Buwono II," ujar Sekretaris Dalem Kraton Sala, KRT. Sastrodiningrat kepada Kastoyo Ramelan dari TEMPO. Tentu saja, Kiayi Slamet yang sekarang merupakah kelanjutan Kiayi Slamet sebelumnya. Sebab kalau sang kiayi yang tua telah meninggal, biasanya diangkat Kiayi Slamet baru. Tanpa menjelaskan silsilah keturunan Kiayi Slamet, KRT. Sastrodiningrat hanya berucap: "Yang sekarang ini, hanyalah keturunan Kiayi Slamet sebelumnya." Nama "Slamet" dengan doa dan harapan, agar kraton, isi kraton dan rakyatnva, hidup dengan selamat. Karena itu dialah yang mengepalai kirab tosa wesiaji, dengan harapan yang sama. Karena Kiayi Slamet dianggap bukan binatang sembarangan, pihak kraton mengangkat seorang yang khusus mengurus segala keperluan hewan ini. Srati atau orang yang mengurus binatang tertentu diserahkan kepada Giyono Kromodihardjo. Jabatan ini dipegangnya sejak 1953, menggantikan ayahnya yang telah bertugas juga sebagai srati terhadap Kiayi Slamet yang terdahulu. Kraton telah memberi anugerah nama kepada Pak Kromo dengan Mahesaprawira. Bersama isteri dan 6 orang anaknya Pak Kromo mendapat rumah yang menempel di kandang Kiayi Slamet. Kandang si kiayi dan rumah Pak Kromo tak jauh berbeda. Bahkan sama sederhana, karena terbuat dari papan dan tanaman bambu. Walaupun telah berusia 60 tahun, Pak Kromo alias Mahesaprawira tetap memiliki otot kencang. Tentu saja, sebab selain mengangon Kiayi Slamet, dia toh harus menyambi kerja sebagai buruh. "Ya mengecat rumah, bantu-bantu bikin lemari," ujarnya "atau kalau ada pasar malam, jadi penjaga malam." Sementara itu isterinya jadi Nkang masak di sebuah restoran. Bisa membaca huruf Jawa tetapi buta aksara Latin, Pak Kromo digaji kraton Rp 2.000 setiap bulan. Jangan heran. Sebab jabatan ini lebih cenderung dianggap sebagai satu kehormatan yang tak bisa dinilai dengan uang. Apalagi karena pihak kraton telah berkenan menganugerahkan nama untuknya sebagai Mahesaprawira. Jadi Rp 2.000 tidak apalah, biarpun tanpa beras atau keperluan dapur lainnya. Gaji sekian itu toh masih dipotong Rp 50, untuk keperluan kesehatan. Tugasnya tidak dirasakan berat, karena sebelum Pak Kromo resmi diangkat jadi srati, ketika usianya belasan tahun, sudah sering membantu ayahnya momong Kiayi Slamet. Pak Kromo bekerja mulai subuh. "Waktu Allahu Akbar terdengar, saya sudah mulai tugas," ujarnya. Rumahnya memang dekat Masjid Besar Kraton. Pertama kali yang dilakukannya membuka palang pintu kandang si kiayi. Kemudian binatang ini dituntunnya ke Alun-alun Selaan. Sampai matahari merekah, Kiayi Slamet sarapan rumput yang masih berembun di alun-alun itu. Selanjutnya Pak Kromo membawanya ke kampung Nusupan di tepi Sungai Bengawan Sala. Di tempat ini Kiayi Slamet makan rumput, menyenang-nyenangkan diri dan baru setelah matahari condong ke barat, ia dijemput pulang ke kandang. Tugas rutin lain dari Pak Kromo ialah puasa sebulan penuh menjelang Kiai Slamet akan diarak dalam kirab tosan wesiaji. Di hari terakhir Pak Kromo puasa ngebleng. Artinya "Saya tidak makan, tidak minum dan tidur di atas kandang. Setelah itu saya harus keramas dengan air bunga." Keesokan harinya waktu upacara dia harus mengantar Kiayi Slamet mengitari kota dari empat penjuru angin. Ada satu hal yang sangat membanggakan hatinya: selama upacara di tubuhnya melekat pakaian hitam-hitam atau putih-putih dengan selendang kuning yang melilit di dada. Di tangan kanannya tak lupa sebuah cemeti, untuk dia pasang aksi. Bayangkan ribuan pasang mata melayangkan pandangan ke dirinya. Tetapi tak jarang tingkah Kiayi Slamet membuatnya pusing. Yaitu kalau sang kiayi minggat tanpa setahunya, karena dia tidak boleh diikat. Untung penduduk seputar situ tetap menganggap Kiayi Slamet bukan kerbau sembaranan Dia raja yang berujud hewan. Karena itu bila Kiayi Slamet masuk kampung, orang-orang menyambutnya dengan memberi salam, memberi minuman kopi, mengulurkan pisang raja yang konon jadi kegemarannya. Namun tidak jarang, Kiayi Slamet sanggup berjalan kaki sampai ke Madiun. "Saya tahu di mana kiayi berada," kata Pak Kromo "biasanya kiayi memberi tahu saya lewat mimpi." Pernah suatu ketika Kiayi Slamet mengamuk. Sawah petani diporak-porandakan Pak Kromo harus membujuknya agar tenang. Sialnya kali ini tidak mempan dengan kata-kata halus. Walhasil jalan kekerasan harus ditempuh. Pak Kromo dan Kiayi Slamet bergelut seru. Akibatnya di samping Pak Kromo harus bertengkar dengan pemilik sawah, juga tubuhnya babak belur. Pemilik sawah minta ganti rugi kepada kraton sebesar Rp 12.000. Tak berapa lama Bendahara Kraton KRT. Priyodiningrat dengan surat resmi kepada Pak Kromo alias Mahesaprawira minta agar membayar ganti rugi yang Rp 12.000 itu. Dengan isak lirih ganti rugi itu dipikulnya dengan cara mencicil Rp 1000 sebulan. Juli tahun ini barulah cicilan itu selesai dan selama setahun dia hanya menerima gaji Rp 950.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus