KERJANYA tidak banyak. Cukup satu kali dalam seminggu di hari
Kamis sore. Cara kerjanya pun ringan jalan-jalan seputar Kraton
Surakarta. Itu saja.
Tugas lainnya hanya dilakukan setahun sekali. Yang ini juga
enteng. Dalam upacara peringatan Satu Asyura, misalnya, dia
berjalan paling depan. Publik biasanya mengelu-elukan. Karena
begitu dia muncul, ini pertanda bahwa arak-arakan pusaka kraton
akan lewat. Dan upacara arak-arakan ini -- disebut kirab tosan
wesiaji -- adalah puncak acara dari peringatan Satu Asyura.
Dan dia -- orang-orang menyebutnya Kiayi Slamet -- dengan tenang
berjalan sambil melenggang menyelusuri beberapa jalan di seputar
kota.
Semua dilakukannya dengan gaya santai. Artinya, langkahnya tidak
perlu seperti serdadu sedang baris-berbaris. Bahkan kalau timbul
hasrat buang air kecil atau besar, tidak ada yang melarangnya
untuk tidak melakukan hal itu.
Hidup Kiayi Slamet juga cukup terjamin. Isterinya ada beberapa,
dan sebuah rumah dalam lingkungan yang telah ditunjuk kraton
tersedia baginya, komplit dengan seorang pengasuhnya.
Mahesaprawira
Kiayi Slamet tidak lebih dari hanya seekor kerbau. "Kiayi Slamet
sudah ada sejak zaman Paku Buwono II," ujar Sekretaris Dalem
Kraton Sala, KRT. Sastrodiningrat kepada Kastoyo Ramelan dari
TEMPO. Tentu saja, Kiayi Slamet yang sekarang merupakah
kelanjutan Kiayi Slamet sebelumnya. Sebab kalau sang kiayi yang
tua telah meninggal, biasanya diangkat Kiayi Slamet baru. Tanpa
menjelaskan silsilah keturunan Kiayi Slamet, KRT.
Sastrodiningrat hanya berucap: "Yang sekarang ini, hanyalah
keturunan Kiayi Slamet sebelumnya." Nama "Slamet" dengan doa dan
harapan, agar kraton, isi kraton dan rakyatnva, hidup dengan
selamat. Karena itu dialah yang mengepalai kirab tosa wesiaji,
dengan harapan yang sama.
Karena Kiayi Slamet dianggap bukan binatang sembarangan, pihak
kraton mengangkat seorang yang khusus mengurus segala keperluan
hewan ini. Srati atau orang yang mengurus binatang tertentu
diserahkan kepada Giyono Kromodihardjo. Jabatan ini dipegangnya
sejak 1953, menggantikan ayahnya yang telah bertugas juga
sebagai srati terhadap Kiayi Slamet yang terdahulu. Kraton telah
memberi anugerah nama kepada Pak Kromo dengan Mahesaprawira.
Bersama isteri dan 6 orang anaknya Pak Kromo mendapat rumah yang
menempel di kandang Kiayi Slamet. Kandang si kiayi dan rumah Pak
Kromo tak jauh berbeda. Bahkan sama sederhana, karena terbuat
dari papan dan tanaman bambu.
Walaupun telah berusia 60 tahun, Pak Kromo alias Mahesaprawira
tetap memiliki otot kencang. Tentu saja, sebab selain mengangon
Kiayi Slamet, dia toh harus menyambi kerja sebagai buruh. "Ya
mengecat rumah, bantu-bantu bikin lemari," ujarnya "atau kalau
ada pasar malam, jadi penjaga malam." Sementara itu isterinya
jadi Nkang masak di sebuah restoran.
Bisa membaca huruf Jawa tetapi buta aksara Latin, Pak Kromo
digaji kraton Rp 2.000 setiap bulan. Jangan heran. Sebab jabatan
ini lebih cenderung dianggap sebagai satu kehormatan yang tak
bisa dinilai dengan uang. Apalagi karena pihak kraton telah
berkenan menganugerahkan nama untuknya sebagai Mahesaprawira.
Jadi Rp 2.000 tidak apalah, biarpun tanpa beras atau keperluan
dapur lainnya. Gaji sekian itu toh masih dipotong Rp 50, untuk
keperluan kesehatan. Tugasnya tidak dirasakan berat, karena
sebelum Pak Kromo resmi diangkat jadi srati, ketika usianya
belasan tahun, sudah sering membantu ayahnya momong Kiayi
Slamet.
Pak Kromo bekerja mulai subuh. "Waktu Allahu Akbar terdengar,
saya sudah mulai tugas," ujarnya. Rumahnya memang dekat Masjid
Besar Kraton. Pertama kali yang dilakukannya membuka palang
pintu kandang si kiayi. Kemudian binatang ini dituntunnya ke
Alun-alun Selaan. Sampai matahari merekah, Kiayi Slamet sarapan
rumput yang masih berembun di alun-alun itu.
Selanjutnya Pak Kromo membawanya ke kampung Nusupan di tepi
Sungai Bengawan Sala. Di tempat ini Kiayi Slamet makan rumput,
menyenang-nyenangkan diri dan baru setelah matahari condong ke
barat, ia dijemput pulang ke kandang.
Tugas rutin lain dari Pak Kromo ialah puasa sebulan penuh
menjelang Kiai Slamet akan diarak dalam kirab tosan wesiaji. Di
hari terakhir Pak Kromo puasa ngebleng. Artinya "Saya tidak
makan, tidak minum dan tidur di atas kandang. Setelah itu saya
harus keramas dengan air bunga." Keesokan harinya waktu upacara
dia harus mengantar Kiayi Slamet mengitari kota dari empat
penjuru angin.
Ada satu hal yang sangat membanggakan hatinya: selama upacara di
tubuhnya melekat pakaian hitam-hitam atau putih-putih dengan
selendang kuning yang melilit di dada. Di tangan kanannya tak
lupa sebuah cemeti, untuk dia pasang aksi. Bayangkan ribuan
pasang mata melayangkan pandangan ke dirinya.
Tetapi tak jarang tingkah Kiayi Slamet membuatnya pusing. Yaitu
kalau sang kiayi minggat tanpa setahunya, karena dia tidak boleh
diikat. Untung penduduk seputar situ tetap menganggap Kiayi
Slamet bukan kerbau sembaranan Dia raja yang berujud hewan.
Karena itu bila Kiayi Slamet masuk kampung, orang-orang
menyambutnya dengan memberi salam, memberi minuman kopi,
mengulurkan pisang raja yang konon jadi kegemarannya.
Namun tidak jarang, Kiayi Slamet sanggup berjalan kaki sampai ke
Madiun. "Saya tahu di mana kiayi berada," kata Pak Kromo
"biasanya kiayi memberi tahu saya lewat mimpi."
Pernah suatu ketika Kiayi Slamet mengamuk. Sawah petani
diporak-porandakan Pak Kromo harus membujuknya agar tenang.
Sialnya kali ini tidak mempan dengan kata-kata halus. Walhasil
jalan kekerasan harus ditempuh. Pak Kromo dan Kiayi Slamet
bergelut seru. Akibatnya di samping Pak Kromo harus bertengkar
dengan pemilik sawah, juga tubuhnya babak belur.
Pemilik sawah minta ganti rugi kepada kraton sebesar Rp 12.000.
Tak berapa lama Bendahara Kraton KRT. Priyodiningrat dengan
surat resmi kepada Pak Kromo alias Mahesaprawira minta agar
membayar ganti rugi yang Rp 12.000 itu. Dengan isak lirih ganti
rugi itu dipikulnya dengan cara mencicil Rp 1000 sebulan. Juli
tahun ini barulah cicilan itu selesai dan selama setahun dia
hanya menerima gaji Rp 950.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini