BUKAN hanya Merapi yang harus diawasi dengan teliti. Gunung
Kelud (1731 m) dan Semeru (3676 m) kedua-duanya di Jawa Timur,
juga sering naik pitam. Semeru pernah muntah 1976, menewaskan
160 warga Lumajang. Gunung yang tertinggi di Indonesia ini
diawasi tiga serangkai: Billah, Ngatani dan Surip.
Surip (54 tahun) sebenarnya waktu itu sudah tahu sebelum Semeru
itu sempat membantai rakyat. Tapi lantaran komunikasi tidak
beres, apa yang diketahuinya tidak segera dapat ditangkap oleh
penduduk di sekitarnya. Menjelang bencana, dengan celana hitam
dan sarung melilit leher, Surip mengawasi alat yang bernama
meinca di pos Argosuko. Terlihat coret-coretan yang semrawut,
ini tanda akan ada gerakan ang membahayakan. Sementara waktu
sudah menunjuk pukul 18.00. Langit yang mendung pun mulai
meneteskan hujan.
Surip meneruskan berita itu ke pos Gading (Malang Selatan).
Gading meneruskannya ke Malang untuk ditembuskan ke Surabaya.
Lantas dari Surabaya akan memberitahukan pos Lumajang lewat
kantor telepon Probolinggo. Memang seperti muter-muter nggak
karuan, maklum birokrasi. Padahal dua jam sesudah Surip kirim
berita, lahar dingin sudah ganas menubruk Desa Kebondeli,
Jugosari dan Tempusari. Adapun berita Surip baru kecsokan
harinya sampai di Lumajang.
Sejak itu Surip gencar mengusulkan adanya hubungan langsung ke
Lumajang. Tapi sampai sekarang tetap nihil.
Orang tua ini sudah 22 tahun menunggu Semeru. Mula-mula di pos
Gunung Sawur. Baru 9 tahun terakhir ini ia ditempatkan di
Argosuko. Pos ini termasuk bagian barat daya, dengan
bangunanyang permanen. Surip tinggal di situ bersama isterinya.
Di sana ia menanam sayur dan kentang untuk dimakan sendiri,
seperti juga keluarga Billah dan Ngatani. Bila Semeru sedang
ayem, keluarga ini bergiliran turun ke desa. Surip akan pergi ke
Pasirian tempat 4 orang anaknya tinggal dan sekolah .
Siti Keludiyah
Lubang lava Semeru hanya 8,5 km dari Argosuko. Setiap hari
tercatat 50 getaran. Bisa mencapai 100 kali kalau Semeru binal.
Malam hari terlihat 4 sampai 5 meter kubik lava berpijar-pijar
di mulut kepundan dengan suhu 750 derajat Celcius. "Berada 100
meter dari lava itu langsung mati, jantung terbakar," kata
Surip. Ia sendiri pernah mendekati sampai jarak 200 meter dalam
rangka pengintipan.
Setahun lagi Surip pensiun. Dinas Vulkanologi meminta pegawai
negeri golongan II ini mau bekerja harian. Tapi Surip menolak.
Kenapa? "Yah, saya mau istirahat, sudah tua kok. Perlu kumpul
dengan anak-anak, masak saya harus menghabiskan umur di sini?"
ujarnya.
Berbeda dengan Surip yang sudah capek, gunung Kelud dijaga oleh
seorang leiaki muda berusia 27 tahn yang masih bersemangat.
Namanya M. Yusuf. Ia lulusan STM. Lantaran gembira karena
lamarannya diterima sebagai penjaga gunung, Yusuf langsung kawin
dengan Rohana. Dan tatkala setahun kemudian lahir anaknya yang
pertama diberinya nama istimewa: Siti Keludiyah.
Di puncak Kelud ada kawah seperti danau yang sering dikunjungi
orang. Kalau Minggu muda-mudi bermobil selalu berdatangan,
sehingga Yusuf tak pernah merasa sepi. Tapi suatu ketika waktu
TVRI menyiarkan bahwa Kelud harus diawasi karena suhunya
meningkat, ia sempat tersirap. Maklum pengalamannya masih
sedikit. Yusuf cepat mengendarai motor dinasnya ke puncak. Ia
membenamkan alat pengukur panas ke dalam kawah yang menampung
air 21,5 juta meter kubik itu. Ternyata masih tetap 36,8 derajat
Celcius. Yusuf pun tercengang. "Saya sendiri kaget mendengar
berita itu. Laporan dari siapa, ya? Padahal angka di direktorat
geologi datang dari saya," ujarnya kepada TEMPO.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini