GUNUNG Merapi di utara Yogya terkenal karena letusannya 1867.
Pemarah yang tingginya 2911 meter ini selalu bikin, gelisah
kalau sudah mulai bertingkah. Menteri Pertambangan dan Energi
Profesor Subroto telah melaporkan kepada Presiden bahwa Merapi
menunjukkan kegiatan yang mengancam 21 desa yang menggendong
enam ribu jiwa di sepanjang Kali Bebeng dan Kali Krasak.
Keadaan darurat telah diumumkan. Syukur keadaan yang tampak
gawat di bulan Januari, mengendor pada bulan berikutnya.
Memasuki Maret ini tidak terjadi hal-hal yang mengkhawatirkan.
"Sekarang sudah mulai agak jinak, tapi kewaspadaan justru
semakin ditingkatkan," ujar Heryono Asmanu, penasehat ahli
gunung Merapi dari dinas Vulkanologi di kantornya di Yogya.
Ada tiga pos besar di Babadan, Ngepos dan Plawangan tempat
nongkrong, para penjaga Merapi. Pos yang lebih kecil tersebar
di Jerakah, Kelincing, Ngluar, Srumbung dan Puntuk. Yang disebut
belakangan ini berfungsi sebagai sumber berita-berita tentang
keadaan gunung itu dari pos utama. Bekerja di dalam pos itu
tidak sulit, kecuali memang harus berani menahan kesepian dan
maut yang bisa muncul tiba-tiba.
Sugiono Hs, kepala pos Babadan 3,5 Km dari puncak Merapi --
malah sempat berkebun jagung di kompleks posnya. Ia menjaga
garis depan itu ditemani Sajad dan Sugiono (kebetulan namanya
sama). Di samping memang benar-benar sepi, kadangkala mereka
terpaksa harus melawan dingin yang melorot sampai 11 derajat
Celcius. Honor yang diterimanya setiap bulan hanya Rp 18 ribu.
Sudah umum diketahui betapa sulitnya mencari tenaga penjaga
gunung sekarang. Dari 128 gunung pemarah yang masih suka kumat
sekarang, baru 25 buah yang diamati secara kontinyu Direktorat
Vulkanologi baru mencatat 296 karyawan. Sampai tahun 1984 masih
dibutuhkan 3 5 orang lulusan SLA sebagai penaga gunung.
Sugiono (27 tahun) adalah lulusan SMA Kanisius, Pandawa,
Muntilan 1970. Kakek dan bapaknya juga bekas penjaga Merapi. Ia
sendiri sebelumnya sempat melenting ke Jakarta, bekerja di PN
Pakin. Hanya setahun, kemudian ikut oomnya berdagang. Tahun 1974
datang panggilan atas lamarannya di dinas Vulkanologi Bandung.
Sejak itu ia mewarisi kerja menjaga lereng Merapi.
Untuk mencapai pos Babatan, ada jalan aspal dari arah Muntilan
(Kabupaten Magelang). Tapi mendekati pos, jalan sudah direbut
oleh rumput, sehingga hanya sopir yang jagoan bisa mencapainya.
Hutannya masih lebat dan berkabut. Barangkali menyadari
kesunyian itu, setahun yang lalu Bupati Magelang mengirim
pesawat tv 12 inci. Juga sebuah sepeda motor dari Gubernur Jawa
Tengah. Dengan demikian Sugiono cs yang biasanya jalan kaki
untuk mencari makan bekal seminggu, sekarang sudah bisa berlagak
di atas motornya.
Peka Terhadap Suara Bel
Juga sejak 6 bulan ini Sugiono tak kesepian lagi. Calon
mertuanya sudah memberikan lampu hijau, sehingga pacarnya
sekali-sekali boleh diajak tidur di pos. "Wah rasanya biarlah
keadaan sepi terus," ujar penjaga gunung itu dengan muka
berseri-seri. Pekerjaannya tidak terganggu, malah tambah mantap.
Jarum pencatat gempa (seismograf) dihubungkan dengan bel sampai
ke tempat tidur. Jika gempa melebihi ukuran, bel itu menjerit
dan Sugiono siap. "Saya peka terhadap suara bel, walau misalnya
sedang tidur sama pacar," katanya tanpa malu-malu. Bulan Mei
nanti ia akan menikah.
Pos Babadan dilengkapi dengan alat yang dinamakan SSB (hubungan
radio jarak jauh) yang dipasang oleh Proyek Merapi. Empat kali
sehari Sugiono melapor dengan SSB. Untuk tugas melapor itu,
setiap penghuni pos dapat honor Rp 3.000 sebulan. Lumayan untuk
tambahan. Belakangan terdengar berita SSB akan ditarik karena
dianggap boros, toh Proyek Merapi sudah dapat laporan bulanan
dari dinas Vulkanologi Bandung. Ini ancaman buat Sugiono sebab
akan kehilangan honor tambahan.
Babadan yang merupakan pos paling depan itu juga dilengkapi
dengan telepon, seiesmograf, serta terowongan penyelamat. Sayang
sekali kadaannya rawan. Telepon sering macet. Terowongan tidak
berfungsi lagi, karena tidak ada persediaan zat asam. Di zaman
kakek dan bapak Sugiono selalu ada zat asam untuk tiga hari. Ini
memang kemunduran yang berbahaya. "Kalau ada bahaya bagaimana
saya bisa membunyikan sirine, kan yang jadi korban pertama
saya," ujarnya "coba kalau ada awan panas mendekati pos, paling
saya lari, lebih celaka lagi karena sirine tak berbunyi dan
masyarakat tidak tahu."
Sugiono mencintai pekerjaannya. Sering datang siswa atau
mahasiswa ke pos untuk riset. "Rasanya saya ini dosen saja,
habis mereka menyebut saya bapak," ujarnya. Tapi pada kesempatan
lain, ia terpaksa berbapak-bapak, karena sering juga berhadapan
dengan Menteri Negara yang meninjau. Yang agak mengganggunya
adalah karena mereka yang riset itu sering datang berpasangan.
"Setelah keluar dari pos ini langsung gelut-gelutan di bawah
pohon itu, karena itulah saya kepingin cepat kawin," ujarnya
berkelakar.
Cinta Tak Cukup
Tapi cinta rupanya tidak cukup. Menjelang pernikahannya, Sugiono
mulai berpikir. Ia menjadi penjaga gunung memang karena ia
sendiri melamar. Tapi setclah 4 tahun, ternyata ia belum juga
diankat jadi pegawai negeri. Harap diingat status pegawai
negeri masih merupakan setidak-tidaknya langit kelima buat orang
pedalaman. "Jadi sudah saya fikir-fikir mau cari kerja lain
dengan gaji yang lebih baik," ujarnya kepada TEMPO.
Retio (24 tahun) di pos Ngepos mengawasi Merapi dengan mata
telanjang. Pos ini terletak di Desa Srumbung, Kabupaten
Magelang. Di sana tidak ada seismograf, karena daerah itu
dilalui kendaraan bermotor. Sebab getaran kendaraan mengganggu
kerja alat pencatat gempa itu. Ditemani Suharto, Retio membuat
pos dalam bilik ukuran 3 kali 3 meter di atas menara setinggi 28
meter. Di sana ada SSB, telepon, kentongan dan bende. "Kalau ada
kabut, puncak Merapi tak kelihatan, ya kami tidur saja," kata
Retio dengan tenang.
Kecamatan Srumbung sudah jadi langganan lahar dingin. Karena
pengalaman, Retio dapat menduga-duga apa yang terjadi dalam
jarak 12 Km. Guguran lava misalnya, pada malam hari akan
merupakan api yang berjatuhan, sedangkan siangnya seperti bidang
putih. Tapi kalau ada kabut ya nggak bisa lihat apa-apa karena
itu Retio ingin sekali punya teropong yang tembus kabut.
Mengenai soal getaran bumi, ia memang tidak bisa kasih info.
Kalau Merapi meradang paling ia cuma main telepon. Bila ada awan
panas menyerang ia akan membunyikan sirine, lalu cepat-cepat
lari. "Bagaimana lagi, di sini tak ada perlindungan," ujarnya.
Retio lulusan SMP, dinas sejak 1975. Statusnya juga honorer
dengan upah Rp 500 sehari. Diambil sebulan sekali. Pernah dua
bulan telat. Tak apa. Posnya toh tidak begitu terpencil. Di
sekitarnya ada perkampungan. Menurut Retio, Merapi sudah normal
lagi. Tetapi segera akan berbahaya lagi kalau ada hujan di
puncak. Diduga 2,8 juta meter kubik material yang menumpuk di
lerengnya bisa tergayut dan melabrak ke bawah.
Pemandangan yang paling molek mungkin ditemukan di pos
Plawangan. Di situ ada Panut (27 tahun) lulusan STM Pakem Pos
ini satu jam perjalanan dari Kaliurang. Dengan ketinggian 1275
meter di atas muka laut, memandang ke barat, terhampar
Magelang. Di selatan tampak Kota Yogya bagaikan bara sekam pada
malam hari. Dari situ terlihat nyala merah di puncak Merapi yang
mengalir ke Gigir Buaya -- lereng barat yang landai -- berakhir
di Kali Krasak. "Justru kalau lama nggak menjulur lidah api bisa
berbahaya, jangan-jangan malah mengumpul, lalu menjadi ledakan,"
kata Panut.
Panut bekerja bersama Tugimin dan Suramto. Ia dinas sejak 1975.
Tapi belum pernah melihat Merapi menyemburkan awan panas. Dengan
sendirinya ia belum pernah membunyikan sirine berhahaya. Kecuali
telepon-telepon rutin. Kalau ada gangguan listrik di gardu induk
Kaliurang, praktis telepon dan elektro seismograf yang menjadi
peralatannya lumpuh. Alat itu, menurut Panut, sampai kini belum
pernah mencatat getaran lebih dari 85 milimeter amplitudo.
Di samping gerakan Merapi, dengan alat itu Panut dapat menangkap
juga kalau ada penebangan atau pencurian kayu. Getaran kayu
yang ditebang berbeda dengan gerakan bumi. "Hanya tidak bisa
menentukan tempatnya di mana," kata Panut. Karena kepekaannya
itu, seismograf di pos Panut juga bisa mengumpulkan getaran
orang-orang yang naik ke Puncak Plawangan. "Kalau hari Minggu
bisa banyak sekali mas," ujarnya.
Berbeda dengan Retio dan Sugiono. Panut sudah pegawai negeri
golongan II A. Menurutnya gaji yang diterimanya cukup untuk
menghidupi seorang isteri dan anak yang baru berusia 8 bulan.
Kedua tanggungannya itu menemaninya hidup di puncak. Panut
jarang turun karena merasa kerasan tinggal di pos. Ia sama
sekali tidak kesepian. Tempatnya memang indah, sehat dan
tenteram. Ia baru turun kalau mengambil gaji, menengok keluarga
atau kalau ada kabar orang meninggal. Praktis sebulan sekali.
Kalau tak penting tidak turun.
"Untuk menambah kesejahteraan isteri saya membuka warung," kata
Panut kepada TEMPOz. Ia menunjuk sebuah warung minum tidak
berapa jauh di bawah pos. Tempat itu sering dimanfaatkan oleh
wisatawan yang cape memanjat Kaliurang. Dua hari sekali
pembantunya turun berbelanja, ia sendiri rupanya memang merasa
cocok tinggal di puncak Plawangan, seperti burung garuda. "Saya
merasa tenteram. Nggak ada godaan macam-macam seperti kalau kita
di kota. Lebih-lebih tugas saya ini mengabdi masyarakat lereng
Merapi dan Pemerintah," kata Panut dengan sungguh-sungguh. "Saya
kerasan betul di sini, kebetulan ada peraturan nggak boleh
meninggalkan pos kosong."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini