Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Rasa tenterem dalam sepi & bahaya

Keadaan sudah jinak tapi kewaspadaan justru ditingkatkan. ada 3 pos besar yang selalu mengawasi kegiatan gunung itu. banyak sarana yang tidak berfungsi lagi, sehingga tak ada perlindungan. (sd)

24 Maret 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GUNUNG Merapi di utara Yogya terkenal karena letusannya 1867. Pemarah yang tingginya 2911 meter ini selalu bikin, gelisah kalau sudah mulai bertingkah. Menteri Pertambangan dan Energi Profesor Subroto telah melaporkan kepada Presiden bahwa Merapi menunjukkan kegiatan yang mengancam 21 desa yang menggendong enam ribu jiwa di sepanjang Kali Bebeng dan Kali Krasak. Keadaan darurat telah diumumkan. Syukur keadaan yang tampak gawat di bulan Januari, mengendor pada bulan berikutnya. Memasuki Maret ini tidak terjadi hal-hal yang mengkhawatirkan. "Sekarang sudah mulai agak jinak, tapi kewaspadaan justru semakin ditingkatkan," ujar Heryono Asmanu, penasehat ahli gunung Merapi dari dinas Vulkanologi di kantornya di Yogya. Ada tiga pos besar di Babadan, Ngepos dan Plawangan tempat nongkrong, para penjaga Merapi. Pos yang lebih kecil tersebar di Jerakah, Kelincing, Ngluar, Srumbung dan Puntuk. Yang disebut belakangan ini berfungsi sebagai sumber berita-berita tentang keadaan gunung itu dari pos utama. Bekerja di dalam pos itu tidak sulit, kecuali memang harus berani menahan kesepian dan maut yang bisa muncul tiba-tiba. Sugiono Hs, kepala pos Babadan 3,5 Km dari puncak Merapi -- malah sempat berkebun jagung di kompleks posnya. Ia menjaga garis depan itu ditemani Sajad dan Sugiono (kebetulan namanya sama). Di samping memang benar-benar sepi, kadangkala mereka terpaksa harus melawan dingin yang melorot sampai 11 derajat Celcius. Honor yang diterimanya setiap bulan hanya Rp 18 ribu. Sudah umum diketahui betapa sulitnya mencari tenaga penjaga gunung sekarang. Dari 128 gunung pemarah yang masih suka kumat sekarang, baru 25 buah yang diamati secara kontinyu Direktorat Vulkanologi baru mencatat 296 karyawan. Sampai tahun 1984 masih dibutuhkan 3 5 orang lulusan SLA sebagai penaga gunung. Sugiono (27 tahun) adalah lulusan SMA Kanisius, Pandawa, Muntilan 1970. Kakek dan bapaknya juga bekas penjaga Merapi. Ia sendiri sebelumnya sempat melenting ke Jakarta, bekerja di PN Pakin. Hanya setahun, kemudian ikut oomnya berdagang. Tahun 1974 datang panggilan atas lamarannya di dinas Vulkanologi Bandung. Sejak itu ia mewarisi kerja menjaga lereng Merapi. Untuk mencapai pos Babatan, ada jalan aspal dari arah Muntilan (Kabupaten Magelang). Tapi mendekati pos, jalan sudah direbut oleh rumput, sehingga hanya sopir yang jagoan bisa mencapainya. Hutannya masih lebat dan berkabut. Barangkali menyadari kesunyian itu, setahun yang lalu Bupati Magelang mengirim pesawat tv 12 inci. Juga sebuah sepeda motor dari Gubernur Jawa Tengah. Dengan demikian Sugiono cs yang biasanya jalan kaki untuk mencari makan bekal seminggu, sekarang sudah bisa berlagak di atas motornya. Peka Terhadap Suara Bel Juga sejak 6 bulan ini Sugiono tak kesepian lagi. Calon mertuanya sudah memberikan lampu hijau, sehingga pacarnya sekali-sekali boleh diajak tidur di pos. "Wah rasanya biarlah keadaan sepi terus," ujar penjaga gunung itu dengan muka berseri-seri. Pekerjaannya tidak terganggu, malah tambah mantap. Jarum pencatat gempa (seismograf) dihubungkan dengan bel sampai ke tempat tidur. Jika gempa melebihi ukuran, bel itu menjerit dan Sugiono siap. "Saya peka terhadap suara bel, walau misalnya sedang tidur sama pacar," katanya tanpa malu-malu. Bulan Mei nanti ia akan menikah. Pos Babadan dilengkapi dengan alat yang dinamakan SSB (hubungan radio jarak jauh) yang dipasang oleh Proyek Merapi. Empat kali sehari Sugiono melapor dengan SSB. Untuk tugas melapor itu, setiap penghuni pos dapat honor Rp 3.000 sebulan. Lumayan untuk tambahan. Belakangan terdengar berita SSB akan ditarik karena dianggap boros, toh Proyek Merapi sudah dapat laporan bulanan dari dinas Vulkanologi Bandung. Ini ancaman buat Sugiono sebab akan kehilangan honor tambahan. Babadan yang merupakan pos paling depan itu juga dilengkapi dengan telepon, seiesmograf, serta terowongan penyelamat. Sayang sekali kadaannya rawan. Telepon sering macet. Terowongan tidak berfungsi lagi, karena tidak ada persediaan zat asam. Di zaman kakek dan bapak Sugiono selalu ada zat asam untuk tiga hari. Ini memang kemunduran yang berbahaya. "Kalau ada bahaya bagaimana saya bisa membunyikan sirine, kan yang jadi korban pertama saya," ujarnya "coba kalau ada awan panas mendekati pos, paling saya lari, lebih celaka lagi karena sirine tak berbunyi dan masyarakat tidak tahu." Sugiono mencintai pekerjaannya. Sering datang siswa atau mahasiswa ke pos untuk riset. "Rasanya saya ini dosen saja, habis mereka menyebut saya bapak," ujarnya. Tapi pada kesempatan lain, ia terpaksa berbapak-bapak, karena sering juga berhadapan dengan Menteri Negara yang meninjau. Yang agak mengganggunya adalah karena mereka yang riset itu sering datang berpasangan. "Setelah keluar dari pos ini langsung gelut-gelutan di bawah pohon itu, karena itulah saya kepingin cepat kawin," ujarnya berkelakar. Cinta Tak Cukup Tapi cinta rupanya tidak cukup. Menjelang pernikahannya, Sugiono mulai berpikir. Ia menjadi penjaga gunung memang karena ia sendiri melamar. Tapi setclah 4 tahun, ternyata ia belum juga diankat jadi pegawai negeri. Harap diingat status pegawai negeri masih merupakan setidak-tidaknya langit kelima buat orang pedalaman. "Jadi sudah saya fikir-fikir mau cari kerja lain dengan gaji yang lebih baik," ujarnya kepada TEMPO. Retio (24 tahun) di pos Ngepos mengawasi Merapi dengan mata telanjang. Pos ini terletak di Desa Srumbung, Kabupaten Magelang. Di sana tidak ada seismograf, karena daerah itu dilalui kendaraan bermotor. Sebab getaran kendaraan mengganggu kerja alat pencatat gempa itu. Ditemani Suharto, Retio membuat pos dalam bilik ukuran 3 kali 3 meter di atas menara setinggi 28 meter. Di sana ada SSB, telepon, kentongan dan bende. "Kalau ada kabut, puncak Merapi tak kelihatan, ya kami tidur saja," kata Retio dengan tenang. Kecamatan Srumbung sudah jadi langganan lahar dingin. Karena pengalaman, Retio dapat menduga-duga apa yang terjadi dalam jarak 12 Km. Guguran lava misalnya, pada malam hari akan merupakan api yang berjatuhan, sedangkan siangnya seperti bidang putih. Tapi kalau ada kabut ya nggak bisa lihat apa-apa karena itu Retio ingin sekali punya teropong yang tembus kabut. Mengenai soal getaran bumi, ia memang tidak bisa kasih info. Kalau Merapi meradang paling ia cuma main telepon. Bila ada awan panas menyerang ia akan membunyikan sirine, lalu cepat-cepat lari. "Bagaimana lagi, di sini tak ada perlindungan," ujarnya. Retio lulusan SMP, dinas sejak 1975. Statusnya juga honorer dengan upah Rp 500 sehari. Diambil sebulan sekali. Pernah dua bulan telat. Tak apa. Posnya toh tidak begitu terpencil. Di sekitarnya ada perkampungan. Menurut Retio, Merapi sudah normal lagi. Tetapi segera akan berbahaya lagi kalau ada hujan di puncak. Diduga 2,8 juta meter kubik material yang menumpuk di lerengnya bisa tergayut dan melabrak ke bawah. Pemandangan yang paling molek mungkin ditemukan di pos Plawangan. Di situ ada Panut (27 tahun) lulusan STM Pakem Pos ini satu jam perjalanan dari Kaliurang. Dengan ketinggian 1275 meter di atas muka laut, memandang ke barat, terhampar Magelang. Di selatan tampak Kota Yogya bagaikan bara sekam pada malam hari. Dari situ terlihat nyala merah di puncak Merapi yang mengalir ke Gigir Buaya -- lereng barat yang landai -- berakhir di Kali Krasak. "Justru kalau lama nggak menjulur lidah api bisa berbahaya, jangan-jangan malah mengumpul, lalu menjadi ledakan," kata Panut. Panut bekerja bersama Tugimin dan Suramto. Ia dinas sejak 1975. Tapi belum pernah melihat Merapi menyemburkan awan panas. Dengan sendirinya ia belum pernah membunyikan sirine berhahaya. Kecuali telepon-telepon rutin. Kalau ada gangguan listrik di gardu induk Kaliurang, praktis telepon dan elektro seismograf yang menjadi peralatannya lumpuh. Alat itu, menurut Panut, sampai kini belum pernah mencatat getaran lebih dari 85 milimeter amplitudo. Di samping gerakan Merapi, dengan alat itu Panut dapat menangkap juga kalau ada penebangan atau pencurian kayu. Getaran kayu yang ditebang berbeda dengan gerakan bumi. "Hanya tidak bisa menentukan tempatnya di mana," kata Panut. Karena kepekaannya itu, seismograf di pos Panut juga bisa mengumpulkan getaran orang-orang yang naik ke Puncak Plawangan. "Kalau hari Minggu bisa banyak sekali mas," ujarnya. Berbeda dengan Retio dan Sugiono. Panut sudah pegawai negeri golongan II A. Menurutnya gaji yang diterimanya cukup untuk menghidupi seorang isteri dan anak yang baru berusia 8 bulan. Kedua tanggungannya itu menemaninya hidup di puncak. Panut jarang turun karena merasa kerasan tinggal di pos. Ia sama sekali tidak kesepian. Tempatnya memang indah, sehat dan tenteram. Ia baru turun kalau mengambil gaji, menengok keluarga atau kalau ada kabar orang meninggal. Praktis sebulan sekali. Kalau tak penting tidak turun. "Untuk menambah kesejahteraan isteri saya membuka warung," kata Panut kepada TEMPOz. Ia menunjuk sebuah warung minum tidak berapa jauh di bawah pos. Tempat itu sering dimanfaatkan oleh wisatawan yang cape memanjat Kaliurang. Dua hari sekali pembantunya turun berbelanja, ia sendiri rupanya memang merasa cocok tinggal di puncak Plawangan, seperti burung garuda. "Saya merasa tenteram. Nggak ada godaan macam-macam seperti kalau kita di kota. Lebih-lebih tugas saya ini mengabdi masyarakat lereng Merapi dan Pemerintah," kata Panut dengan sungguh-sungguh. "Saya kerasan betul di sini, kebetulan ada peraturan nggak boleh meninggalkan pos kosong."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus