Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Untuk pertama kalinya dalam sejarah pariwisata Indonesia, nama Bali yang magnetis tidak dibawa-bawa. Dan untuk pertama kalinya pula nama Indonesia menjadi "resmi" diperdagangkan dalam promosi wisata pada 1971.
Laporan Utama Majalah Tempo edisi 22 Mei 1971 menyoroti geliat pariwisata di Indonesia. Ketika itu, Indonesia akan menjadi tuan rumah konferensi Pacific Area Travel Association (PATA) di Jakarta dan Bali pada 1974. Promosi pariwisata itu mulai dilancarkan dengan biaya Rp 50 juta setahun, hampir satu persen dari devisa dari turis ke Indonesia pada 1970.
Sementara Singapura menyebut dirinya Instant Asia dan Thailand mengaku sebagai The Land of Smiles, Indonesia enggan berpadu dengan kata klise "zamrud khatulistiwa" atau "negeri nyiur melambai". Agaknya khazanah bahasa terlalu miskin untuk melukiskan Indonesia dalam dua-tiga patah kata, sehingga perumusan tepat diserahkan bulat-bulat ke turis. Maka, sebelum berpikir dua kali, dengan manis dan sedikit malu kita pun berkata "mampirlah ke Indonesia" tanpa menduga bahwa turis akan mampir berbondong-bondong.
Pada 1966, perbondongan itu meliputi 20 ribu turis, pada 1968 menjadi 86 ribu, dan pada 1970 meningkat sampai 129 ribu orang. Jumlah ini belum apa-apa kalau dibandingkan dengan 800 ribu turis yang membanjiri Hong Kong dan Makao serta 600 ribu lagi yang melongok Jepang. Bahkan angka itu lebih tidak berarti kalau dibandingkan dengan 6 juta turis yang mengerumuni Hungaria, seperti pernah dikatakan duta besarnya.
Kenaikan jumlah turis di Indonesia adalah kenaikan tertinggi dalam lingkungan pariwisata Asia Timur. Menggembirakan tapi juga mengejutkan. Direktur Eksekutif PATA Mervin Plake berkata kepada Direktur Jenderal Pariwisata Prajogo, "It is still too much, too soon"—terlalu banyak terlalu cepat. Mengapa? Rombongan turis yang mampir ke Indonesia—kebanyakan ke Bali dan Jakarta—justru memperlihatkan ketidaksiapan Indonesia menerima mereka.
Ketika itu, dua hotel bertaraf internasional, Hotel Indonesia dan Bali Beach, tiap hari rata-rata menolak 30 persen dari jumlah tamu yang datang. Maskapai penerbangan Qantas terpaksa membatasi kegiatannya ke Bali mengingat jumlah kamar hotel di sana tidak sampai seribu. Resident Manager HI Peter J. Soehardjo dengan berat hati menyewakan kamar kerja US$ 10 satu malam tanpa servis dan kamar mandi.
Semuanya terasa menyesakkan napas. Prajogo orang yang mungkin betul-betul sesak napasnya: "Problemnya, dalam tempo secepat mungkin harus mengejar secepat mungkin. Pada tur Jakarta-Yogya-Bali kita kewalahan. Kita ketinggalan sepuluh tahun."
Kelemahan di sektor perhotelan dipertajam oleh kelemahan bidang tarif, servis, dan telekomunikasi. Sekretaris Direktorat Jenderal Pariwisata J.W. Adnan mengatakan Indonesia dianggap sebagai negara termahal antara lain dengan tarif hotel yang 30 persen lebih tinggi dan tarif taksi dua kali lebih mahal daripada Singapura dan Hong Kong. Tarif US$ 21 per hari kiranya tak akan dirasakan mahal oleh turis asalkan saja mereka mendapat fasilitas kolam renang, air panas, telepon, dan kamar berpenyejuk udara.
Jelaslah bahwa persoalannya tidak sesederhana dan semudah mengatakan "Your next destination: Indonesia". Slogan ini tidak hanya harus ditunjang oleh rakyat yang hangat bersahabat, alam indah, serta kebudayaan yang mengagumkan dari ujung barat sampai timur. Hampir sama mutlaknya dengan itu adalah fasilitas yang diberikan industri dan usaha jasa perjalanan untuk para turis. Industri pariwisata adalah, "Industri paling murah dari industri-industri yang ada," kata Prajogo.
Industri "murah" ternyata tidak mendapat kemurahan hati dari orang-orang yang bisa memberikannya—kendati banyak hal menggembirakan bisa ditampilkan, seperti penambahan izin maskapai penerbangan asing, perbaikan dan pembukaan lapangan terbang, mulus dan lebih tepat waktunya angkutan darat, peletakan batu pertama pembangunan hotel internasional, serta penutupan lubang-lubang di jalan raya. Banyak usaha yang menimbulkan semangat, tapi belum menjamin bahwa Indonesia siap menyambut tamunya secara terhormat dan layak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo