Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEPOLISIAN Daerah Jawa Barat meringkus enam pelaku pembuatan video porno yang melibatkan anak-anak. Kepala Polda Jawa Barat Inspektur Jenderal Agung Budi Maryoto mengatakan pelaku utama, Muhamad Faisal Akbar, mengirimkan video porno tersebut kepada pemesan asal Rusia dan Belanda.
"Isinya pelanggaran jenis pencabulan dan eksploitasi anak," kata Agung di Markas Polda Jawa Barat, Senin pekan lalu. Menurut dia, pelaku mendapatkan duit Rp 31 juta dengan mengeksploitasi tiga bocah laki-laki di dalam video.
Eksploitasi seksual terhadap anak-anak pernah diulas majalah Tempo edisi 4 Februari 1989. Dalam tulisan berjudul "Menculik ’Adik-Adik’ Ganteng", disebutkan soal pelaku yang memiliki kelainan seksual, yaitu terangsang oleh anak-anak (pedofilia).
Tiga anak belasan tahun menghilang dari tiga desa di Jawa Barat. Tanpa sadar, mereka berbulan-bulan dibawa menggelandang oleh Dedi Mulyana, saat itu 24 tahun. Dedi konon mempunyai ilmu pelet dan menjadikan anak-anak itu sebagai pemuas nafsu seksnya. Pemuda berwajah memelas, bertubuh kurus, dan berkulit hitam itu juga mempekerjakan bocah-bocah tersebut sebagai buruh pada orang lain.
Agustus 1988, Dedi, yang mengaku berasal dari Bandung, muncul di Kampung Ranca Mumpang, Ujung Berung, Bandung. Karena kasihan, seorang penduduk menampung lelaki berpakaian kumal itu. Tapi esoknya, Dedi menghilang bersama Nanang-bukan nama sebenarnya-14 tahun, siswa kelas II sekolah menengah pertama di desa itu. Nanang dibujuk Dedi sepulang sekolah. "Mau enggak belajar ilmu sakti?" ujar Dedi.
Nanang menolak. Tapi belakangan Nanang menurut setelah Dedi memegang pergelangan tangannya dan memasangkan sebuah cincin ke jari serta kalung ke lehernya. Bahkan, setelah itu, anak sulung Dadang, seorang buruh tani, tersebut lupa pada orang tua dan kampung halamannya.
Dia ternyata dibawa ke Jakarta dengan menumpang kereta pengangkut pasir. Di Ibu Kota, bocah berwajah ganteng itu disuruh Dedi bekerja sebagai tukang cuci piring selain melayani kelainan seksnya. Tak lama di Jakarta, Nanang dibawa ke Cirebon, Jawa Barat. Di kota ini, persisnya di Desa Suci, mereka mengaku bersaudara dan anak yatim.
Kepala Desa Suci, Marta, iba dan menampung mereka. Marta semakin tertarik karena Dedi rajin sembahyang dan bisa mengajar anak-anak mengaji. Seorang murid Dedi, Bandi, 11 tahun, menjadi korban berikutnya. Setelah enam hari berada di desa itu, Dedi kabur bersama Nanang dan Bandi. Warga desa geger. Marta dan ayah Bandi, Tamir, sibuk mencari mereka. "Uang saya Rp 500 ribu hasil utang kiri-kanan habis buat mencari anak saya," kata Tamir. Mereka ternyata kabur ke Jakarta.
Bandi juga "menurut" setelah Dedi memberinya cincin dan kalung. Di Jakarta, misalnya, bocah berwajah manis itu patuh saja disuruh menjadi penggembala bebek dan mencari rumput, kendati upah yang diterimanya diambil Dedi.
Korban terakhir Dedi adalah Nasir, 14 tahun, siswa kelas I madrasah tsanawiyah di Desa Suryabahari, Tangerang, Banten. Pada 18 Januari lalu, saat Nasir asyik menonton orkes di desanya, Dedi mendatangi dan membujuknya. Nasir mengikuti kemauan Dedi setelah lelaki itu mengancam akan membunuhnya dan membuat gila ibunya.
Dedi dan "adik-adiknya" kemudian ditemukan tujuh kilometer dari Desa Suryabahari saat ditampung di rumah Haji Mu’i. Dedi pun kabur. Belakangan, ia ditangkap di pinggir Desa Suryabahari. Sempat dihajar penduduk kampung, Dedi kemudian diserahkan ke Kepolisian Resor Tangerang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo