Sudah beberapa tahun saya menyaksikan pelecehan terhadap tanda lalu lintas di dua tempat tanpa pernah melihat adanya tindakan dari yang berwenang. Tampaknya, keadaan itu dijadikan ''ladang penghasilan''. Pelecehan pertama terjadi di Jalan Iskandarsyah Raya, Kebayoran Baru, Jakarta, persisnya di depan Wisma Iskandarsyah. Di sepanjang jalan itu terpancang jelas beberapa tanda larangan berhenti dan larangan parkir. Tapi, setiap kali Wisma Iskandarsyah itu digunakan untuk pertemuan, misalnya pesta perkawinan, mobil-mobil tamu dengan seenaknya parkir di sepanjang jalan itu, bahkan sampai dua lapis, dan tak pernah ada tindakan apa pun dari yang berwenang. Hal serupa terjadi di Jalan Jenderal S. Parman, di Jakarta juga, yakni di seputar Universitas Trisakti. Di sini tak jarang kendaraan parkir sampai empat lapis. Lebih anehnya, aparat yang berwenang menertibkan sebenarnya ada di sekitar tempat itu. Biaya parkirnya Rp 1.000, jauh di atas tarif resmi. Mengapa mahal? Jawaban tukang parkir kurang etis untuk saya paparkan lewat tulisan ini. Adalah ironis bila keadaan ini didiamkan begitu saja, mengingat akan diberlakukannya UULLAJ. Ada dua alternatif untuk menyelesaikan masalah itu, yakni: 1. Tanda-tanda itu dicabut saja. Toh, kalau dilanggar juga, tak ada tindakan apa-apa. Jadi, buat apa dipasang. Itu hanya akan menurunkan citra aparat keamanan. Bahkan, akan membiasakan masyarakat menganggap sepi aturan lalu lintas. 2. Bila kepentingan masyarakat dinomorsatukan, artinya kelancaran jalan dijaga, tanda-tanda lalu lintas itu biarkan saja tetap pada tempatnya. Tapi, si pelanggar harus ditindak. H.K.S. Bogor
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini