Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Seorang pembaca dikirimi 200 eksemplar majalah Tempo dari seorang ibu yang tak mau identitasnya terungkap.
Pembaca yang lain memberikan masukan soal IKN.
Enam T yang perlu menjadi acuan utama bagi pemimpin agar mumpuni dan bertanggung jawab.
CINTAKU kepada Tempo tidak bisa dirahasiakan. Semua orang tahu, terutama tetanggaku. Istriku kadang sampai cemburu karena aku lebih asyik memeluk Tempo. Pernah aku menulis Surat Pembaca di majalah Tempo yang sebagian isinya, sejujurnya, ingin berlangganan majalah Tempo selama satu tahun, tapi kondisi saat ini belum memungkinkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nah, hasrat saya yang menggebu demi memiliki Tempo ini ditangkap seorang ibu di Jakarta yang kebetulan tidak mau menyebutkan nama dan alamat lengkapnya. Ibu ini dengan penuh keikhlasan mengirimi saya majalah Tempo dua dus berjumlah hampir 200 eksemplar edisi 2018-2024. Bagaimana perasaanku? Seperti kejatuhan durian runtuh, seperti anak kecil dibelikan baju untuk Lebaran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lewat surat ini aku ucapkan beribu terima kasih kepada ibu anonim itu. Semoga Allah membalas kebaikan Ibu dengan berkali-kali lipat. Terima kasih buat kekasihku yang enak dibaca dan perlu, Tempo.
Muhisom Setiaki
Temanggung, Jawa Tengah
Masalah IKN
JAKARTA memang terlampau melelahkan dan tidak nyaman untuk menjadi pusat pemerintahan. Kota ini juga merupakan pusat bisnis, budaya, sosial, politik, transportasi, dan manufaktur. Namun, setelah Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan mulai dibangun, muncul berbagai masalah. Di antaranya perpindahan personel pemerintahan dan kelembagaan yang tidak sederhana dan mahal.
Tentu berbagai aspek harus dipertimbangkan. Kondisi tanahnya harus stabil untuk mendukung berbagai bangunan, bukan daerah yang rawan banjir atau bencana lain. Secara sosial, perlu dipilih daerah yang angka kriminalitasnya rendah serta masyarakatnya terbiasa berkolaborasi dan bertoleransi.
Dalam aspek geografis, sebaiknya lokasinya tidak terlalu jauh dari Jakarta sehingga proses pemindahan personel bisa lebih sederhana. Pulau Jawa memang sudah terlalu padat penduduk. Namun apabila terdapat lokasi yang masih memungkinkan, seperti Karawang yang dekat dengan Jakarta, Demak yang dekat dengan Semarang, atau Tuban yang dekat dengan Surabaya, daerah itu bisa dikaji untuk menjadi alternatif.
Kita bisa becermin pada pembangunan Washington, DC, di Amerika Serikat dan Canberra di Australia. Sebaiknya IKN berfokus mewujudkan pusat pemerintahan. Harus dihindari niat menjadikannya pusat bisnis atau manufaktur.
Dr Soen’an Hadi Poernomo
Pasar Minggu, Jakarta Selatan
Kisruh Pemerintahan
PADA awal 2015, masyarakat dikejutkan oleh kenaikan tarif pajak. Namun kemudian ada koreksi bahwa kenaikan pajak hanya diberlakukan untuk barang mewah. Presiden Prabowo Subianto pernah menyatakan akan mencari koruptor sampai ke ujung dunia. Namun kemudian ia juga mengimbau koruptor diampuni asalkan mengembalikan uang hasil korupsinya. Yang terbaru, muncul kebijakan bahwa liquefied petroleum gas atau elpiji 3 kilogram hanya bisa dibeli di agen utama. Namun dikoreksi bahwa elpiji 3 kilogram tetap bisa dibeli di pengecer yang dianggap sebagai sub-agen.
Beberapa peristiwa tersebut mencerminkan bahwa peraturan yang dibuat belum meyakinkan dan mantap sehingga saat direalisasi mendapat banyak komplain dan tantangan. Pemeo Jawa mengatakan “esuk dele, sore tempe”, pagi masih berupa kedelai, sore sudah menjadi tempe. Ini mengacu pada kondisi yang cepat berubah. Istilah kasarnya mencla-mencle.
Pantang seorang pemimpin bersikap mencla-mencle. Pemimpin yang berhadapan dengan kehendak rakyat harus tata, titi, titis, tutus, tetes, dan tatas. Ini falsafah Jawa yang patut dijadikan teladan.
Tata berarti harus mahir menata rakyat. Kebijakan pemimpin mesti berpihak kepada rakyat, bukan yang lain, apalagi pengusaha. Titi adalah faktor kecermatan dan paham akan kebutuhan rakyat. Pemimpin wajib berempati dan bersimpati kepada rakyat. Titis berarti kebijakan pemimpin harus tepat. Pemimpin tidak boleh salah menentukan kebijakan. Salah sedikit, bisa dianggap lalim. Adapun tutus berarti pemimpin harus menjadi tali dan simpul. Pemimpin mesti menjadi tali bagi keinginan rakyat dan perwujudannya. Tetes bermakna pemimpin mesti menjadi penetas atau pewujud. Hal yang dijanjikan bukan hanya kata-kata, tapi wajib direalisasi. Tatas adalah tanggap terhadap masalah yang muncul. Pemimpin wajib memberikan solusi bagi masyarakat agar tercipta masyarakat yang tata tentrem kerta raharja, yang tenteram dan makmur.
Enam T tersebut perlu menjadi acuan utama untuk seorang pemimpin yang mumpuni dan bertanggung jawab.
Kosmantono
Banyumas, Jawa Tengah
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo