Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada awal 1971, polisi mengungkap modus pemalsuan dokumen bank yang mengakibatkan kerugian dana nasabah hingga ratusan juta rupiah. Majalah Tempo merekam kejadian itu lewat artikel panjang berjudul “Komplotan Kerah Putih Beroperasi di Bank”.
Pembobolan itu terungkap sepuluh hari sebelum Jenderal Hoegeng Imam Santoso diganti. Markas Besar Kepolisian RI melansir berita penipuan oleh komplotan penggangsir dana nasabah. Otak pelakunya seorang residivis bernama Thio Tjang Djen. Namun penjelasan polisi kala itu tak cukup menjelaskan bukti yang bisa dipakai untuk menjerat para tersangka.
Beberapa jam setelah konferensi pers, Drs Sukardjo, SH, Kepala Tim Polisi Khusus (TPK) Bank, mengirim surat tertutup kepada M.T. Pulungan, kepala kantor bank yang tertipu. Rupanya, polisi sedang mencari sejumlah bukti tambahan. Di antaranya enam cek palsu yang digunakan pelaku untuk menggasak uang nasabah sebesar Rp 445 juta.
Sial, cek itu hilang. Meski cek tak lagi ter-arsip dalam dokumen bank, polisi berkeyakinan masih bisa menyeret Thio. Enam lembar cek itu, menurut Sekretaris TPK E. Siregar, hanyalah bukti pelengkap. Indikasi keterlibatan Thio sesungguhnya sudah diakui tersangka lain. “Saya hakulyakin bukti yang ada akan memberatkan dia,” ujarnya.
Sosok Thio memang terkenal licin. Sebelum kasus ini mencuat, ia sudah dua kali diajukan ke pengadilan. Namun kedua upaya itu gugur oleh palu hakim. Mungkin karena itulah ia bisa meremehkan polisi. Ketika dihadapkan kepada Sukardjo, Thio meminta kasusnya ditutup. “Sebab, kalau saya bebas lagi, nanti Bapak yang malu,” ucap seorang sumber di kepolisian.
Kasus ini bermula dari laporan Soerjadi, Kepala Tata Usaha Perusahaan Umum (Perum) Telekomunikasi, Maret 1971. Ia meminta polisi mengusut jejak uang perusahaan yang hilang dari saldo rekening BNI 46 cabang Senayan sebesar Rp 445 juta. Dari keterangan pihak bank ia mengetahui uang itu telah dicairkan menggunakan sejumlah cek.
Percobaan menggangsir uang paling besar terjadi pada Februari-Maret. Seseorang berusaha mencairkan simpanan Perum menggunakan surat penerimaan uang (SPU), meski kemudian mengembalikannya. Soerjadi menilai transaksi itu fiktif. Sebab, ia tak pernah menandatangani SPU tersebut. Berbekal laporan itulah penyidikan dimulai.
Radar polisi menyorot Sutiono, bawahan Soerjadi, yang sehari-hari bertugas mengerjakan transaksi kliring. Sutiono dikenal sebagai sosok penurut dan tak banyak bergaul. Tapi pembawaannya yang datar itu bertolak belakang dengan temuan polisi. Belakangan diketahui dialah yang menyiapkan stempel dan tanda tangan palsu.
Aksi Sutiono, yang disebut-sebut bersekongkol dengan koleganya, Sutarto, dan beberapa pegawai bank, bertujuan menerbitkan kredit gelap. Seorang polisi yang bertugas di BNI Senayan diduga ikut terlibat. Ia diduga bermain mata dengan salah seorang anggota komplotan yang ditugasi- mencuri enam lembar cek. Cek itu lalu ia serahkan kepada Thio.
Kepada polisi, Sutarto mengakui uang sebesar Rp 135 juta yang pertama kali dicairkan ia pinjamkan kepada Thio. Penjelasan ihwal identitas orang itu tak cukup jelas. Ia hanya mengenal Thio sebagai warga di Petak Sembilan, Jakarta Kota. Tiga warga Petak Sembilan bernama Thio ditangkap polisi. Tapi siapa Thio yang dimaksud Sutarto?
Thio pertama dikenal dengan nama Thio A Nam. Ia dikenal sebagai bandar judi dan pernah dibui selama tujuh tahun. Lalu ada Thio A Wi, warga Jalan Rajawali. Polisi juga menangkap Thio Tjang Djen alias Bambang Gunardi, pembalap sepeda motor pada 1950-an. Ia pernah terseret kasus penipuan di BNI dan Bank of America.
Ketika diminta mengenali ketiga Thio, telunjuk Sutarto mengarah pada Thio Tjang Djen. Thio tak menampik pengakuan itu. Begitu pun istrinya. Meski begitu, sang istri menilai mustahil uang sebanyak itu dinikmati sendiri oleh suaminya. Semua kesaksian tersebut dicatat penyidik Faisal, yang memeriksa para tersangka di kamar 106 Mabak.
Thio mudah saja lancar berbicara, berkata jujur kepada polisi saat pemeriksaan. Tapi bukan berita lagi bahwa di pengadilan orang lumrah membantah apa yang di-akuinya di depan polisi. Dengan demikian, mustahil tidak timbul spekulasi bahwa kali ini pun Thio akan divonis bebas.
Artikel lengkap terdapat dalam Tempo edisi 30 Oktober 1971. Dapatkan arsip digitalnya di:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo