Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dugaan Golfrid dibunuh menguat karena berbagai kejanggalan yang menyiratkan ia “dihabisi” sebelum mayatnya ditemukan di jalan -layang Simpang Pos, Medan. Golfrid adalah aktivis yang mengadvokasi perlindungan orang utan di ekosistem Batangtoru, Sumatera Utara.
Direktur Walhi Sumatera Utara Dana Tarigan mengatakan Golfrid sempat menerima ancaman lewat telepon, memintanya menghentikan gugatan terhadap pemerintah yang tengah ia tangani. Riwayat pembunuhan aktivis terentang sangat panjang. Pada 1980-an, kita mengenal pembunuhan aktivis buruh Marsinah. Dalam laporan Tempo edisi 5 Maret 1994, terekam alotnya pengusutan kematiannya.
Dalam kasus tersebut, polisi menyatakan dalang pembunuhan tak lain Yudi Susanto, pemilik pabrik PT Catur Putra Surya (CPS) di Porong, Jawa Timur, tempat Marsinah bekerja. Dalam skenario yang disusun itu, Marsinah dihabisi karena terlalu vokal membela pemogokan buruh di perusahaan tersebut. Skenario yang tertuang dalam berita acara pemeriksaan (BAP) polisi ini dibantah habis-habisan oleh Yudi.
Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Surabaya, Yudi mengatakan polisilah yang membuat laporan saat ia ditahan di Komando Daerah Militer V Brawijaya. “Kami dalam keadaan takut. Jangankan harus mengaku membunuh satu orang Marsinah, harus mengaku membunuh seratus orang Marsinah pun, apa boleh buat, saya mau. Siapa yang tahan disiksa terus-menerus seperti itu.”
Suwono, kepala satuan pengamanan yang menjadi tersangka bersama Yudi dan tujuh karyawan pabrik, di depan hakim Pengadilan Surabaya mengaku disiksa agar membuat laporan palsu. Suwono sempat membuka baju di hadapan para hakim dan memperlihatkan bekas-bekas luka penyiksaan yang ia terima agar mau menandatangani BAP yang dibuat polisi. “Saya tegaskan, itu (isi BAP) tidak benar,” katanya.
Dalam skenario yang tertuang di BAP sembilan tersangka, Marsinah disebutkan diculik pada 5 Mei 1993. Ia lalu dibawa ke rumah Yudi Susanto di Jalan Puspita, Surabaya. Di sana, Marsinah dikatakan disekap di kamar pembantu. Namun, menurut Yudi, sebagai pemilik perusahaan, ia baru mengetahui kematian Marsinah dari kar-yawannya pada 11 Mei 1993, dua hari setelah Marsinah ditemukan tewas di Nganjuk, Jawa Timur.
Ia lantas meminta perwakilan perusahaan datang melayat dan memberikan san-tunan kepada keluarga Marsinah. Trimoelja, pengacara Yudi, mengatakan para tersangka diciduk Detasemen Intelijen Kodam V Brawijaya, lalu disiksa, dianiaya, dan dipaksa mengaku, serta harus menandatangani BAP.
Sementara itu, jaksa Wisnusubroto meminta kisah tragis Marsinah, buruh kecil yang menuntut perbaikan nasib yang akhirnya terkapar berkalang tanah, direnungkan. Ia mengatakan betapa naifnya jika kasus panjang yang melibatkan banyak bukti dan saksi ini dianggap hasil rekayasa. “Pembelotan para terdakwa itu alasan yang dibuat-buat.”
Skenario pembunuhan Marsinah ini berasal dari model penanganan yang kacau sejak awal, yang berakibat melibatkan orang-orang yang tak tahu-menahu dan dipaksakan supaya cocok. Sebaliknya, yang terlibat dalam skenario ini bersikap seolah-olah tak terlibat. Skenario ini berawal dari terciduknya Kapten Kusaeri, Komandan Komando Rayon Militer Porong.
Menurut Kusaeri, kematian Marsinah dirancang sebagai shock therapy untuk memberikan pelajaran, bukan untuk membunuh, karena aktivis ini ngotot memainkan peran di balik pemogokan PT CPS. “Sialnya, ia telanjur tewas,” kata Kusaeri. Ia membantah ada rapat-rapat untuk membunuh Marsinah seperti yang disebutkan dalam BAP. Jadi benar bahwa Yudi Susanto, si pemilik perusahaan, tidak memimpin rapat itu.
Fakta ini tak berarti menggugurkan namanya sebagai orang yang terlibat. Rencana memberi Marsinah pelajaran berasal dari Yudi, yang merasa gerah atas pergerakan Marsinah yang sangat vokal terhadap kebijakan perusahaan.
Adapun Mutiari, yang menjabat Kepala Bagian Personalia PT CPS, salah satu nama yang tak tahu-menahu tentang peristiwa ini tapi dimasukkan ke skenario agar pas. Sebagai satu-satunya perempuan dalam barisan terdakwa, Mutiari disebut terlibat merencanakan pembunuhan dengan memimpin rapat kedua, yang sebenarnya tak pernah terjadi.
Artikel lengkap terdapat dalam Tempo edisi 26 Januari 1974. Dapatkan arsip digitalnya di:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo