Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Fidai

Pada 16 Oktober 1092, seorang pembunuh yang menyamar sebagai sufi tua menikam mati Perdana Menteri Nizam-ul-Muluk.

12 Oktober 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Fidai

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tak urung, Kesultanan Seljuk yang bertakhta di Bagdad pun guncang. Sejarah persengketaan dalam politik Islam yang berlumur darah berlanjut. Kaum Ismaili sedang hendak dibasmi Khalifah Abbasiah yang ditopang sultan-sultan Seljuk dari Turki, dan Nizam-ul-Muluk, yang merancang pembersihan itu, harus dihabisi.

Lewat tengah hari itu, Wazir Agung ini sedang dalam tandu menuju haremnya, ketika seorang sufi mendekat dan berteriak, “Keadilan, Yang Mulia, keadilan!” Nizam mendengar. Ia melarang pengawalnya menghalang-halangi orang tua itu menghampirinya. Ia terkecoh: sufi tua yang membawa selembar petisi itu sebenarnya Abu Tahir Ariani, pemuda berumur 20-an tahun. Begitu mendekat, Abu Tahir menghunjamkan pisaunya ke jantung Nizam. Pemuda ini segera tertangkap. Tubuhnya dicincang.

Tahir seorang fidai, pengikut setia Hasan-i-Sabah, pemimpin Ismaili yang bersembunyi di Bukit Alamut, tokoh perlawanan yang tak terkalahkan sampai mati.

Dari Bukit Alamut itu—di Provinsi Kaspia Selatan di wilayah Rudbar di Iran—Hasan sesekali mengirim seorang atau lebih fidai menyamar, untuk membunuh musuh politiknya. Membunuh dengan cara efektif dan efisien: dari dekat dan siap mati. Merekalah para “asasin” yang termasyhur dalam sejarah Islam.

Cerita keberanian dan fanatisme para asasin ini jadi legenda yang berkembang dari mulut ke mulut.

Menarik mengutip yang diceritakan Marco Polo, pengelana dunia dari Venezia, yang di tahun 1273 ada di Persia. Dalam ceritanya, “Orang Tua dari Gunung”, Hasan-i-Sabah, membangun sebuah kebun pelbagai jenis buah, juga “paviliun dan istana yang paling elegan yang dapat dibayangkan orang”. Di dalam bangunan itu ada parit tempat “anggur, susu, madu, dan air mengalir”. Juga perempuan-perempuan cantik yang pandai bermain musik, menyanyi, dan menari.

Tampak, Hasan-i-Sabah ingin mengesankan bahwa itulah Firdaus. Ia rekrut sejumlah anak muda berusia 12 sampai 20 tahun yang punya hasrat jadi prajurit, dilatih menggunakan senjata, menyamar, dan berbahasa asing. Secara bergilir enam orang dari mereka boleh masuk ke taman Firdaus itu, setelah mencicipi hashish, hingga terbius tertidur. Dengan perhitungan, ketika terbangun, mereka akan menyaksikan keindahan dan merasakan kenikmatan di sekitarnya—kemewahan yang akan mereka rasakan seterusnya jika mereka bersedia membunuh siapa saja yang dikehendaki Sang Penguasa Surga....

Marco Polo tampaknya mengambil cerita itu dari imajinasi orang lain. Ali Mohammad Rajput, dalam Hasan-i-Sabbah: His Life and Thought (2013), menunjukkan gambaran yang berbeda sama sekali. Hasan-i-Sabah adalah seorang alim yang keras. Ia tak akan mengizinkan orang di sekitarnya bernikmat-nikmat. Ia bahkan menghukum mati anaknya sendiri ketika ketahuan minum anggur.

Dengan disiplin yang ditegakkan seperti itu, ia berhasil membentuk pasukan yang patuh dan tahan bertempur ketika digempur tentara Abbasiah. Digabung dengan wibawanya sebagai tokoh yang menyatakan keyakinannya sebagai Islam yang paling murni, Hasan menyiapkan sejumlah fidai yang fanatik, gesit membunuh, dan berani mati—menjangkau Surga.

Tapi sejarah mencatat, Hasan-i-Sabah tak pernah bisa merebut tampuk kekhalifahan untuk kaum Ismaili. Ia memang tak terkalahkan, benteng Alamut tak tertembus, dan Hasan wafat karena sakit tua. Riwayat hidupnya mengisahkan perlawanan yang teguh dan total terhadap sultan-sultan Seljuk dan seluruh kepemimpinan Sunni, tapi yang dicapainya hanya kronologi kemenangan-kemenangan kecil. Wilayah kaum Ismaili terdiri atas lokasi-lokasi yang terpisah, terbatas, meskipun pengaruh keyakinannya menyebar dan di suatu saat mencapai India. Perpecahan umat Islam—yang tak lain adalah perebutan siapa yang patut dianggap sah memegang kekhalifahan—tak pernah bisa diatasi.

Makin tajam perpecahan itu, makin kuat tiap-tiap pihak menyatakan diri sebagai pewaris tradisi yang benar. Bersama itu, makin hilang daya jangkau universalnya. Tiap-tiap “sekte” kian terasing. Dan ini tampak di antara tahun 1255 dan 1265, ketika tentara Mongol, dipimpin cucu Jenghis Khan, Hulagu, datang dan melikuidasi kekuasaan Sunni dan Syiah di seantero wilayah itu.

Benteng Alamut jatuh. Musuh-musuh lama Hasan dan pembenci kaum Ismaili bersorak atas kejatuhan itu. Tapi dua tahun kemudian Hulagu menggebuk mereka yang bersukacita itu di pusat khalifah, di Kota Bagdad. Sang Khalif ditangkap, dimasukkan ke gulungan selimut, dan diinjak-injak sampai mati. Sekitar 800 ribu penduduk dibantai. Tak kurang hancur adalah khazanah ilmu, filsafat, dan sastra, yang hampir seluruhnya dibasmi.

Mungkin trauma itu juga awal hilangnya sumber-sumber keterbukaan pikiran dan kreativitas di dunia Islam—prestasi yang pernah menyumbang kemajuan Eropa. Yang kini dikenang orang, dan agaknya diteruskan sebagian orang Islam, akhirnya hanyalah keyakinan ala fidai: defensif, keras, sempit, dan merasa terancam dalam paranoia panjang. Di beberapa sudut, berdiri kembali Alamut-alamut baru.

Dengan keterpencilan.

GOENAWAN MOHAMAD

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus