PRESIDEN Megawati pernah menyatakan soal ?pemerintahan keranjang sampah? dalam sebuah acara pembukaan Rapat Koordinasi Pendayagunaan Aparatur Negara Tingkat Nasional (Rakorpannas) di Jakarta, 11 Februari 2002.
Istilah ?pemerintahan keranjang sampah? ini dua hari kemudian mendapatkan komentar dari elite politik yang berseliweran dan membuat arah pembicaraan Presiden Megawati menjadi terkesan tersimpangkan dari maksud sebenarnya, yang menurut pendapat saya tidak demikian.
Telah hampir dua tahun saya mengikuti dengan agak cermat kiprah Presiden Megawati sejak beliau masih menjadi wakil presiden. Istilah keranjang sampah oleh beliau sebenarnya telah beberapa kali dicetuskan, baik dalam forum resmi secara sambil lalu maupun pada waktu menjamu tamu yang berkunjung, paling tidak lebih dari tiga kali sewaktu masih menjabat wakil presiden.
Ungkapan istilah itu menjadi fokus perhatian beberapa elite politik setelah beliau menyatakan ulang dalam posisinya sebagai presiden, yang sebenarnya sangat relevan dalam konteks pembinaan aparatur negara. Dalam tangkapan saya, yang dimaksud dengan ?keranjang sampah? adalah bahwa beliau memikul dan mengelola keranjang yang isinya sebagian besar sampah. Dalam konteks ungkapan pemerintahan saya adalah ?pemerintahan keranjang sampah?, beliau sepertinya ingin menjelaskan bahwa kabinet beliau beserta jajarannya ibarat suatu keranjang yang ternyata isinya bukanlah ?aneka buah dan sayuran segar yang siap diolah untuk selanjutnya dihidangkan kepada rakyat dalam wujud makanan yang lezat dan sehat?, melainkan sampah melulu.
Lalu, siapa yang membuat ?sampah?? Beliau kelihatannya berpendapat bahwa sampah-sampah ini adalah hasil karya pemerintah pendahulunya, khususnya pemerintahan masa Orde Baru. Pesannya kepada semua aparatur negara pada masa pemerintahan beliau sekarang adalah supaya jangan sampai meneruskan kebiasaan masa lalu sebagai produsen sampah agar tidak lebih menyengsarakan rakyat di belakang hari dan mempersulit pemerintahan atau ?keranjang? mendatang.
Beberapa penyebab dihasilkannya ?sampah-sampah? sekarang, beliau menyebutkan akibat begitu banyaknya para birokrat yang pada waktu lalu tidak mau turun ke lapangan dan hanya menyodorkan hal-hal yang baik saja dan menutupi hal-hal yang buruk. Untuk itu, beliau ingin menerima laporan-laporan yang sebenarnya, termasuk yang buruk, agar dapat dipecahkan bersama.
Secara teoretis, peryataan praktis seperti itu menunjukkan dengan lebih jelas bahwa dimensi kepemimpinan bukanlah hanya ?kemampuan?, tetapi juga berdimensi ?proses?, yaitu proses saling mempengaruhi antara pimpinan dan yang dipimpin dalam mencapai tujuan bersama. Dengan demikian, yang perlu dibongkar adalah sampah beserta penyebabnya, dan bukan keranjangnya. Mudah-mudahan yang saya duga tidak meleset.
WAHYUDI R.
Kebayoran Baru
Jakarta Selatan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini