Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dulu setiap warga negara berhak mencalonkan diri sebagai presiden melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat. Salah seorang di antara yang mengambil kesempatan itu adalah Rusmania, 57 tahun, dari Bandung. Pada 24 Oktober 1986, ia melayangkan surat kepada presiden, wakil presiden, dan Ketua DPR/MPR, yang antara lain menyatakan: "... apabila Bapak Soeharto menghendaki masa pensiun, kami bersedia diberi pelimpahan kepresidenan tersebut melalui MPR."
Setahun kemudian, sekali lagi ia menulis surat, ditujukan kepada rakyat Indonesia, para wakil rakyat di DPR/MPR, Badan Koordinasi Intelijen Negara, dan ABRI. Tapi tawaran Rusmania yang kedua itu menurun. Kalau bukan presiden, wakil presiden ya bolehlah. "Bilamana MPR RI menghendaki saya sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia, keputusan demikian itu saya junjung tinggi," tulisnya.
Siapa Rusmania? Ia mengaku keturunan Pangeran Diponegoro dari pihak ayah, sedangkan dari pihak ibu keturunan Sunan Muria—salah seorang dari Wali Songo. Lalu ia mengangkat diri sebagai Pangeran Diponegoro VI. Ayah lima anak yang berpenampilan kalem ini mengaku lulusan sebuah akademi di Yogya pada 1955 dan bekerja di sebuah perusahaan kontraktor di Jakarta.
"Saya mencalonkan diri sekadar melaksanakan amanat Pangeran Diponegoro, leluhur saya," katanya di rumahnya di Jalan Supratman, Bandung. Lalu lelaki kelahiran Kudus, Jawa Tengah, itu bercerita. Suatu malam, April 1982, ia seperti dibangunkan leluhurnya, diperintahkan keluar dari rumah. "Ketika itu saya sadar, jadi bukan mimpi," tuturnya.
Seperti ada yang membimbing, ia mendongak ke langit, dan matanya terasa pedih, terkena debu. Ia masuk rumah dan termenung. Ketika itulah, kata dia, Pangeran Diponegoro muncul lagi dan memberi amanat, "Bangkit dan majulah. Perbaiki nasib rakyat, jadilah pemimpin bangsa melanjutkan kepemimpinan dan keberhasilan Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto." Ketika ia terbangun keesokan harinya, ternyata Gunung Galunggung meletus, dan abunya mengenai mata....
Rusmania, yang di masa revolusi fisik mengangkat senjata di daerah Pati, sempat menyandang pangkat letnan dua. Dia salah seorang yang menjawab tantangan Bung Karno pada 1966. Ketika itu, Bung Karno menantang siapa yang sanggup menurunkan harga akan diangkat jadi menteri. Waktu itu yang menjawab secara terbuka adalah Hadely Hasibuan. Tapi Rusmania mengaku ia juga mengajukan diri, bahkan sempat dipanggil Waperdam II Leimena pada 2 Februari 1966 dan dipertemukan dengan Bung Karno.
Ia juga mengaku sempat diangkat sebagai menteri negara. Bahkan kemudian Bung Karno menjanjikan akan mengangkatnya sebagai Waperdam III menggantikan Chaerul Saleh pada 15 Maret 1966. Tapi ia urung dilantik, keburu lahir Supersemar pada 11 Maret 1966. Benar-tidaknya, wallahualam, meski dalam catatan sejarah RI tidak pernah terdengar ada menteri negara yang bernama Rusmania.
Pencalonan diri Rusmania itu sempat membikin Ketua MPR/DPR Kharis Suhud terpingkal-pingkal. Meski begitu, ia menganggap hal itu perlu ditampung. "Lho, kan kewajiban majelis untuk menampung segala macam? Gol-tidaknya nanti, itu soal lain. Lagi pula, itu juga hak dia, kan? Tapi dia itu orang bener apa ndak, ya? Ha-ha-ha…," katanya lagi, sembari terbahak-bahak.
Dalam sejarah Orde Baru, ada tiga orang yang berusaha mencalonkan diri sebagai kepala negara. Pada 1976, muncul Sawito Kartowibowo—mengaku sebagai Ratu Adil—lalu "melancarkan perebutan kekuasaan secara spiritual". Dua tahun kemudian tampil Darius Marpaung, bekas anggota DPRGR dan MPRS dan tokoh Kesatuan Aksi Buruh Indonesia pada 1966. Dan kini giliran Rusmania.
Yang menarik, semuanya berlatar belakang mistik. Sawito, sang Ratu Adil, merasa mendapat "wangsit". Bagaimana dengan Marpaung? Bekas pemimpin Kesatuan Pegawai Kristen Republik Indonesia itu "hanya melaksanakan apa yang muncul dalam doa".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo