Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kutipan & Album

Ketika Petugas Obral Pelor

TEMPO DOELOE  5 September 1981

12 Desember 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Penembakan oleh Polisi di era Orde Baru

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Penembakan anggota FPI oleh polisi menuai kontradiksi.

  • Baik polisi maupun FPI memiliki versi masing-masing mengenai kronologi penembakan itu.

  • Di zaman Orde Baru, banyak kasus polisi yang menembak warga sipil.

KEPOLISIAN Daerah Metropolitan Jakarta Raya menyatakan polisi menembak mati enam anggota Front Pembela Islam pada 7 Desember 2020 di kilometer 50 jalan tol Cikampek dalam upaya membela diri dari serangan senjata api dan senjata tajam. Sementara itu, versi Sekretaris Umum FPI Munarman, enam anggota laskar tersebut diculik sebelum polisi mengeksekusinya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) meminta Kepolisian RI mengusut pembunuhan itu secara terbuka dan adil. Saat ini, Divisi Profesi dan Pengamanan Polri telah membentuk tim untuk menyelidiki apakah penembakan anggota FPI itu sesuai dengan prosedur atau tidak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di era Orde Baru, banyak kasus polisi yang menembak warga sipil. Majalah Tempo edisi 5 September 1981 berjudul “Korban-korban Petugas Ngoboi” mengulas kelakuan polisi mengobral pelornya. Tiga orang tewas akibat tembakan petugas bulan ini.

Suratmi, gadis kecil 11 tahun, salah satunya. Ia ditembak Kapten Infanteri S. Sibero ketika mengambil kelapa sawit di perkebunan Mayang, PTP VII Sumatera Utara. Sore itu, di kebun sawit milik PTP VII, Bahjambi, sekitar 90 kilometer dari Pematangsiantar, Sumatera Utara, terdengar pekik ketakutan anak-anak. Tak berapa lama disusul dua bunyi tembakan.

Tiga jam kemudian, di sebuah jurang di kebun itu, ditemukan sesosok tubuh mayat seorang anak perempuan. Suratmi tewas dengan luka akibat peluru yang menembus ubun-ubun sampai bagian bawah telinganya. Tangan dan kakinya terikat sobekan kain. Suratmi tewas di tangan Sibero setelah bocah itu bersama teman-temannya mengumpulkan buah kelapa sawit yang tercecer di tanah.

Sibero yang muncul tiba-tiba berteriak, “Apa yang kalian lakukan, mencuri buah sawit, ya!” Tiba-tiba terdengar letusan. Bocah-bocah itu menjerit-jerit sambil bubar ketakutan. Mereka lari beradu cepat sambil menangis. Namun seorang di antaranya, Suratmi, belum sempat lari sudah terjatuh dengan teriakan “aduh”. “Mi, ayo lari, dia membawa senjata,” kata Misiah, 10 tahun, teman Suratmi.

Karena ketakutan, Misiah meninggalkan Suratmi. Ia lalu memberi tahu orang tua Suratmi, Sarman, 35 tahun. Sarman segera mencari anaknya ke tempat kejadian, tapi dia tidak menemukan Suratmi, kecuali sebuah bakul berisi beberapa butir kelapa sawit yang ia kenal milik anaknya. Sarman mengira anaknya tertangkap, karena itu ia datangi pos Pertahanan Sipil perkebunan.

Begitu pula ketika Sarman menemui Perwira Pengaman Perkebunan, Kapten Infanteri S. Sibero. “Tidak ada orang yang kami tangkap sore ini,” jawab Sibero tenang. Di kantor polisi, barulah Sarman tahu anaknya sudah tiada. Malam itu juga penduduk mendatangi Sibero. Tapi perwira ini sudah “diselamatkan” dan diserahkan kepada Komando Distrik Militer 0201, Simalungun.

Dalam pemeriksaan, Sibero mengaku menembak bocah itu. Sibero, berperawakan tinggi, besar, dan buncit, memang dikenal keras terhadap bawahan ataupun orang yang dianggapnya salah. Menurut seorang anggota Hansip bawahannya, P. Sitepu, perwira itu paling senang membuang peluru. Pernah senjatanya diletuskan hanya untuk membangunkan seorang anggota Hansip yang tertidur ketika bertugas. Oleh anak buahnya, Sibero disebut “Koboi Sibero”.

Di Sidikalang, Kabupaten Dairi, 200 kilometer dari Medan, polisi juga menembak Walter Pandiangan, 30 tahun. Ia tewas ditembak Kopral Satu P.W. Sinaga ketika polisi itu menggerebek perjudian “Jekker”, sejenis permainan dadu. Hari itu Sinaga berusaha menangkap penjudi-penjudi yang sedang asyik main. Tapi mereka keburu lari, kecuali Walter Pandiangan, yang mengumpulkan uang hasil judi.

Kasus penembakan oleh petugas terjadi pula di Lumajang, Jawa Timur, 14 Agustus 1981. Chudori Soekarto tewas tertembak oleh Sersan Satu Polisi Totok Soekarto yang mengejar gembong pencuri sapi bernama Selam. Sayangnya, peluru Totok malah menembus tubuh Chudori, yang saat itu mengendarai sepeda motor sehabis menghadiri halalbihalal ranting Nahdlatul Ulama Runuwurung.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus