Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KOMISI Pemberantasan Korupsi hendaknya menerapkan pasal pencucian uang untuk menelisik aliran suap ekspor benur mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo. Penerapan status tersangka tak boleh berhenti pada Edhy, staf khusus, serta pegawai Kementerian Kelautan dan Perikanan. Kuat diduga uang besel juga mengalir kepada teman dekat Edhy dan petinggi Gerindra, partai tempat Edhy bernaung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penuntasan kasus ini akan menguji komitmen pemerintah Joko Widodo terhadap pemberantasan korupsi. Sejak tahun lalu, ruang gerak Komisi dibatasi pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat lewat revisi Undang-Undang KPK. Operasi senyap sejumlah penyidik Komisi menelusuri perkara ini layak diacungi jempol.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski demikian, kelanjutan pengusutan akan sangat dipengaruhi oleh kemauan Ketua KPK Firli Bahuri, tokoh antagonis yang selama ini diragukan independensinya. Apalagi, lewat revisi undang-undang, KPK telah menjadi lembaga yang berada di bawah badan eksekutif. Pernyataan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan agar KPK tak berlebihan memeriksa Edhy adalah isyarat bahwa kasus ini tak akan bergerak ke mana-mana.
Saat ini, penyidik sudah mencokok Suharjito, Direktur PT Dua Putra Perkasa, yang diduga menyuap Edhy serta pegawai Kementerian Kelautan dan Perikanan. Namun masih ada 43 perusahaan lain yang ikut menyetor besel. Ini menguatkan dugaan Edhy tak bekerja sendirian. Uang hasil praktik rente ini disinyalir turut dinikmati para politikus di belakang Edhy.
Edhy diduga menggunakan setoran dari berbagai perusahaan pengekspor benur untuk menjalankan gaya hidup mewah. Ia disinyalir pernah memberikan mobil, apartemen, dan barang mahal lain kepada sejumlah relasi. KPK menangkap Edhy sepulang kunjungan ke Hawaii, Amerika Serikat. Di Honolulu, Edhy membeli jam tangan Rolex serta tas Tummi dan Luis Vuitton menggunakan uang suap.
Gaya hidup glamor dan korupsi memang telah menjadi dua sisi dalam mata uang yang sama. Dalam tiap kasus yang ditangani KPK, terungkap bahwa para pelaku menggunakan uang suap untuk membiayai gaya hidup yang berlebih-lebihan. Pada tiap penangkapan, penyidik umumnya menemukan barang-barang mewah hasil suap. Hampir tiap bulan KPK menggelar lelang barang hasil rampasan.
Kewajiban melaporkan harta kekayaan belum menjadi instrumen yang baik untuk mengerem perilaku buruk pejabat itu. Meski penyelenggara negara wajib mengisi Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara, tidak ada sanksi tegas kepada mereka yang lalai. Laporan itu pun kerap disulap untuk memberi kesan sang pejabat tak berharta.
Sejumlah instansi diketahui mencegah korupsi dengan cara melarang pejabatnya bergaya hidup mewah, termasuk memamerkan kekayaannya kepada publik. Markas Besar Kepolisian RI, misalnya, pada tahun lalu mengeluarkan aturan yang melarang semua personel mempertontonkan gaya hidup mewah, khususnya di media sosial. Tapi kita tahu aturan itu omong kosong belaka. Tak memamerkan kekayaan adalah satu hal, mendapatkan kekayaan secara halal adalah hal lain. Keduanya bisa tak berhubungan sama sekali. Dengan kata lain, aturan itu tak lebih dari gincu untuk mengesankan Kepolisian peduli terhadap pemberantasan korupsi.
Hanya dengan penegakan hukum korupsi dapat diberantas. Selebihnya adalah imbauan agar para pejabat belajar dari pendiri bangsa: Mohammad Hatta, yang tetap berperilaku sederhana meski berstatus mantan wakil presiden, dan Haji Agus Salim, yang tak punya rumah pribadi meski pernah menjadi menteri luar negeri.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo