Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kutipan & Album

Penghargaan

8 Agustus 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"The Order of Sikatuna Rank of Rajah", sebuah penghargaan tertinggi yang bisanya diberikan pemerintah Filipina kepada kepala negara sahabat, kali ini diberikan kepada Menteri Luar Negeri Indonesia, Ali Alatas. Penghargaan itu diberikan oleh Presiden Filipina Joseph Ejercito Estrada di Istana Malacanang, Manila, 9 Agustus 1999.

Mengapa Ali Alatas layak menerimanya? Menurut Presiden Estrada, itu karena Ali Alatas berjasa memperkukuh hubungan Indonesia-Filipina. Diplomat karir ini juga sangat berperan dalam perundingan damai di Filipina selatan, pada 1996, serta mendorong upaya diplomasi guna mencegah timbulnya konflik di Laut Cina Selatan.

Dalam pidatonya, Alatas mengatakan, "Sebagai diplomat Indonesia, saya diberi mandat oleh konstitusi untuk berpartisipasi dalam membentuk dunia yang lebih baik, damai, adil, dan makmur."

***

PRESIDEN B.J. Habibie, 16 Agustus lalu, memberikan tanda kehormatan Republik Indonesia kepada sejumlah tokoh yang dianggap telah berjasa untuk negeri ini. Kegiatan dalam rangka memperingati hari kemerdekaan RI ini, antara lain, menganugerahkan tanda jasa kepada istri proklamator, almarhumah Fatmawati Sukarno dan Rahmi Hatta. Selain semua menteri kabinet Habibie, Ketua DPR/MPR Harmoko termasuk penerima penghargaan itu.

Namun, dua di antara yang dianugerahi, wartawan senior Goenawan Mohamad dan Sabam P. Siagian, menolak menerimanya. Menurut sumber TEMPO, Sabam, yang sedang prihatin dengan situasi yang dihadapi bangsa ini, mengaku waktunya tidak tepat untuk menerima penghargaan itu.


Meninggal

HABIB Umar bin Hoed Alatas, ulama besar dari Jakarta, menghadap Al-Khalik pada usia 108 tahun, Rabu lalu, 11 Agustus 1999. Ribuan murid dan pengikutnya, baik yang ada di Indonesia, Malaysia, Singapura, maupun Brunei Darussalam, bertakziah di rumah duka, Jalan Condet Raya, Jakarta Timur. Habib Umar dimakamkan keesokan harinya di Pemakaman Wakaf Al Hawi, tak jauh dari rumah Almarhum.

Kesehatan ulama karismatis ini menurun sejak menghadiri peringatan Maulid Nabi Muhammad di Cipayung, Jakarta Timur, Juli 1999 lalu. Sebuah kegiatan yang rutin dilakukannya dan biasanya diikuti puluhan ribu jemaah, baik dari dalam maupun luar negeri. Ketika itu fisiknya sangat lemah. Ia hanya berada di kamar, tidak menyampaikan ceramah sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, selanjutnya ia tak sadarkan diri.

Dalam kehidupan sehari-hari, beliau sangat dekat dengan semua lapisan masyarakat. Mayjen (Purn.) Edi Nalapraya adalah salah seorang yang sangat dekat dengan Almarhum, termasuk juga Sultan Johor, Malaysia, Teungku Mahmudsyah, yang beberapa kali berkunjung. Artis Elvie Sukaesih, Muchsin Alatas, dan Titiek Sandora termasuk yang rajin bersilaturahmi. ”Hidupnya tidak neko-neko. Beliau menyiarkan ajaran Islam, takwa kepada Allah, serta selalu menghindari sifat-sifat buruk,” ujar Abu Bakar Alatas, salah seorang cucunya. Habib ditinggalkan istrinya, Syarifah Roqayah binti Abu Bakar Alatas, yang meninggal pada 1972.

Ulama asal Hadramaut, Yaman Selatan, ini sejak muda sudah melakukan dakwah. Ia meninggalkan tanah airnya sejak usia enam tahun menuju Indonesia untuk bertemu orang tuanya. Saat menginjakkan kakinya di Indonesia, beliau menetap di Kwitang, Jakarta Pusat. Di samping berdakwah, ia berdagang pakaian di Pasar Tanahabang, Jakarta.

***

SALAH satu anggota delegasi Indonesia dalam Perjanjian Meja Bundar di Den Haag, Belanda, Prof. Mr. Teng Tjian Leng, meninggal dunia pada usia 93 tahun di Ujungpandang, Jumat, 6 Agustus 1999. Selepas misa requiem di Gereja Katedral Ujungpandang, penerima penghargaan dari Paus Johanes Paulus II—Bintang Ordo Sancii Gregorii—ini dimakamkan di Pekuburan Katolik Bolangi, Ujungpandang.

Semasa perjuangan, Mr. Teng menjadi pembela Robert Wolter Monginsidi, pahlawan nasional, ketika dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan Belanda. Namun, grasi yang ia ajukan ke Gubernul Jenderal Van Mook ditolak. Nasib Wolter Monginsidi berakhir di ujung bedil.

Pada masa tuanya, pendiri Universitas Hasanuddin ini hidup dari pensiunnya sebagai anggota DPRS dan pengacara. ”Papi menyibukkan diri dengan koleksi benda antik dan perangkonya,” kata putri bungsunya, Hanny Nangoy.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum