Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Sihir Camus

Sebuah buku terjemahan tentang pemikiran Albert Camus diluncurkan. Sebuah adikarya yang layak ditengok.

8 Agustus 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MITE SISIFUS: Pergulatan dengan Absurditas
Oleh: Albert Camus
Penerjemah: Apsanti
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama, 1999 Apa arti Camus dan Mite Sisifus bagi kita saat ini? Kita tahu, eksistensialisme, di samping marxisme, memang pernah menjadi suatu gerakan pemikiran dan kesenian yang begitu menggugah. Gerakan pemikiran dan kesenian ini mulai menggugah saat pada paruh pertama abad ini optimisme rasionalitas modern terkoyak-koyak menghadapi fenomena yang justru irasional: fasisme dan perang dunia. Dalam situasi seperti itu, tema eksistensialisme, seperti "absurditas" dan "nihilisme", lantas menjadi begitu populer. Nama Jean Paul Sartre dan Albert Camus seakan punya sihir tersendiri di mata publik intelektual dan seniman sejagat. Di Indonesia, jejak-jejak eksistensialisme membayang jelas dalam novel Iwan Simatupang, skripsi Ari ef Budiman tentang Chairil Anwar, dan beberapa esai Goenawan Mohamad. Eksistensialisme adalah humanisme karena yang diperjuangkan adalah kehidupan konkret manusia "di sini" dan "kini", yang selama ini diabaikan oleh filsafat. Filsafat modern, terutama idealisme Hegelian, selalu merumuskan manusia sebagai subyek-pusat-dunia, tapi dalam kategori yang sangat abstrak dan esensialistis, seakan esensi manusia mendahului eksistensinya. Menurut eksistensialisme, justru eksistensi manusialah, yakni tubuh, bau keringat, dan darahnya yang unik dan konkret, yang mendahului esensinya. Dan Mite Sisifus adalah salah satu buku-esai yang menjadi milestone bagi eksistensialisme. Seperti dikatakan oleh Camus sendiri, persoalan pokok yang hendak ia jawab adalah kenapa hidup ini absurd dan manusia tidak (perlu) bunuh diri. Absurditas ini menggema kala manusia menyadari bahwa hidup ini menafikan adanya nilai, makna, dan harapan karena Tuhan dan Dewa tidak ada lagi. Absurditas juga mencuat begitu seseorang seperti terkesiap bahwa dirinya ternyata berada dalam tubir jurang yang menganga, yakni rutinitas dan nasib, yang hadir sebagai kuasa dari luar dirinya, yang harus selalu dijalani terus-menerus tanpa tahu kenapa dan untuk apa. Menghadapi absurditas, sikap yang diusulkan Camus bukanlah melarikan diri atau menyandarkan diri pada moralitas di luar diri manusia (misalnya agama), melainkan menjalaninya dengan semangat amor fati Nietzschean: berkata "ya" kepada hidup yang nihilistis. Camus juga berkata "ya" kepada hidup yang absurd, sebagaimana Sisifus berkata "ya" kepada batu nasibnya. Sisifus dihukum dewa untuk terus-menerus mendorong sebuah batu besar ke sebuah puncak gunung, lalu batu itu menggelundung ke bawah oleh beratnya sendiri, dan Sisifus harus mendorongnya lagi untuk kemudian jatuh lagi, begitu selamanya. Dari luar, kelihatannya Sisifus menderita dan tragis. Tapi, dari sudut pandang Sisifus sendiri, belum tentu. Sisifus bisa saja melihat batu nasibnya sebagai dunia yang ditinggalkan dewa, dan karena itu harus ia ciptakan sendiri maknanya sehingga ia berani berkata "ya" kepada nasibnya. Kata Camus, "Kita harus membayangkan Sisifus bahagia". Tafsir Camus yang sangat orisinal terhadap Sisifus ini, yang teruntai dalam esai yang indah (sayang, penerjemahannya ke bahasa Indonesia kurang berhasil mempertahankan keindahan itu), tampaknya masih tetap mewarnai fase pemikirannya selanjutnya. Dalam tafsir itu tersirat suatu sikap "moralis" tanpa Tuhan, yang melihat hidup sebagai anugerah dan cukup indah untuk dijalani. Kredonya yang terkenal, "Aku memberontak, maka aku ada", lebih merupakan penegasan terhadap modus eksistensi (cara mengada) manusia ketimbang sebagai pekik revolusi. Dan penerimaannya terhadap hidup sebagai anugerah yang indah ini menjadi dasar bagi pembelaannya terhadap manusia konkret berhadapan dengan ide, sistem, ataupun dogma apa pun. Dalam pernyataannya ketika menerima hadiah Nobel 1957, Camus menegaskan, "Saya percaya pada keadilan, tapi saya akan mempertahankan ibu saya di hadapan keadilan." Bagi Camus, manusia konkret, apalagi yang sangat kita kenal dan sayangi, seperti ibunya yang tinggal di Aljazair, tidak boleh dikorbankan demi sesuatu yang abstrak, sekalipun itu ide keadilan. Rute eksistensialisme Camus ini memang sempat membuat dirinya tidak populer di kalangan "kiri" pada zamannya. Ia juga lalu bertengkar dengan Sartre, yang secara jelas bersimpati terhadap komunisme dan bisa menyetujui kekerasan sebagai bagian integral perjuangan kelas. Tapi, tatkala eksistensialisme memudar dan pascastrukturalisme (Foucault dan Derrida) naik daun, ternyata bukan posisi macam Sartre yang kuat gaungnya. Yang masih terasa relevan ternyata adalah pandangan eksistensialisme model Camus, yang menghargai manusia konkret. Sebab, penerimaan terhadap kekonkretan ini berimplikasi pada perayaan terhadap "perbedaan" dan "pluralitas", dua kata yang saat ini menjadi idaman kalangan pascastrukturalis. Jadi, meskipun penerjemahannya agak terlambat (mestinya awal 1970-an), buku Camus ini tetaplah layak ditengok lagi. Ahmad Sahal

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus