Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Penghuni-penghuni mbeteng pendem

Benteng pendem, ambarawa dijadikan puslatram (pusat latihan ketrampilan). 301 gabungan anak-anak liar masuk puslatram. mereka ini adalah sebagian dari pelaku-pelaku peristiwa anti cina di ja-teng. (ils)

14 Maret 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEKITAR 2 km di tenggara Kota Ambarawa, ada sebuah gedung tua. Temboknya tebal, pintunya tinggi dengan jendela yang besar-besar. Cat asli gedung tersebut putih. Tapi karena usia, di sana-sini mengelupas, sehingga susunan batu bata jelas terlihat. Di salah satu ruang bagian dalam, pada temboknya, ada coretan tahun 1830. Pada tembok yang lain, tahun 1845. Pada tahun 1830 diduga adalah saat pemancangan tembok pertama dan tahun 1845 mulai berfungsi. Penduduk Ambrawa menyebut gedung kuno itu sebagai "mBeteng Pendem", karena pernah terpendam oleh timbunan tanah. Penduduk percaya, bahwa gedung itu cukup angker. Ada pula yang menyebutnya sebagai benteng Ambarawa, karena memang terletak tak jauh dari Kota Ambarawa. Tetapi pemerintah kolonial dulu, menamakan benteng serdadu ini Fort Willem I, nama pangeran dari keluarga Oranje Nassau yang jadi raja Belanda. Kemudian benteng ini sebagian dijadikan Lembaga Pemasyarakatan. Sayapnya yang lain, pernah dijadikan Inrehab, tahanan untuk orang-orang G.30.S/PKI. Kini setelah penghuni Inrehab tak ada lagi, sebuah papan nama yang cukup besar terpampang di depannya: Puslatram Ambarawa. Artinya, pusat latihan ketrampilan. Dan sejak 17 Februari lalu, Puslatram resmi berpenghuni. Dalam suatu upacara khusus, saat itu Kasdam VII/Diponegoro (selaku Laksusda Ja-Teng/DIY Brigjen. Sawarno, menyerahkan 301 orang calon penghuni Puslatram kepada Soeparno, Sekwilda Ja-Teng, yang mewakili Pemda Provinsi Jawa Tengah. Mereka ini (301 orang), yang biasanya disebut "gali", singkatan dari gabungan anak-anak liar, dalam tempo tiga sampai enam bulan mendapat latihan ketrampilan. Bukan Tahanan Ke-301 orang itu cuma sebagian kecil dari sekitar 4.000 orang yang terlibat kerusuhan anti-Cina di Jawa Tengah akhir 1980. "Mereka ini adalah orang yang sedang menyandang masalah sosial," ujar Dirjen Kehabilitasi dan Pelayanan Sosial Departemen Sosial yang mewakili Menteri Sosial dalam upacara sederhana tersebut. Artinya mereka itu perlu bekal untuk kelanjutan hidup mereka. Para gali yang dipuslatramkan itu dipanggil "peserta" atau "pelajar" dan bukan "tahanan". "Betul, mereka ini bukan tahanan," tutur Kapten Sarwono M.S. pengawas Puslatram. Mereka adalah orang yang dianggap bersalah, tapi tidak jelas kesalahannya. Tapi bukan pula orang hukuman, karena sebelumnya tanpa vonnis dari pengadilan. Mereka ditempatkan dalam kamar-kamar besar. Masing-masing mendapat sebuah bantal dan dipan beralas tikar tebal. Poliklinik, bahkan rumah sakit disediakan bagi yang sakit. Selama latihan, ketrampilan apa saja yang ingin mereka pelajari dapat diberikan. "Bahkan Pemerintah akan mencoba membantu menyalurkan lewat instansi tenaga kerja, kalau setelah selesai pendidikan sulit mendapat pekerjaan," tambah Sarwono. Ide untuk mendidik para gali ini datang dari Gubernur Jawa Tengah, Soeparjo. Sejak mereka di Ambarawa, selama dua minggu pertama diberi latihan disiplin. Terutama disiplin berasrama, yang diberikan setiap hari mulai dari 07.00 sampai 21.00 -- hanya terputus untuk makan dan mandi. Di hari Minggu, mereka diperkenankan menerima kunjungan keluarga masing-masing. Awal Maret, mereka memasuki pelajaran dasar, meliputi pelajaran Agama, PMP (Pendidikan Moral Pancasila), Tata tertib/Disiplin, Ketransmigrasian, Koperasi dan masalah-masalah sosial lainnya. Setelah itu, baru mereka masuk ke tahap pelajaran pokok. Yaitu teori praktek tentang montir mobil, bertukang, pertanian, elektronika, sopir, menjahit pakaian dan memangkas rambut. Kemudian pelajaran pelengkap: Olahraga, Kesenian, Kewiraswastaan. Seluruh kurikulum akan memakan waktu 1.416 jam pelajaran. Tidak kurang dari 100 orang guru khusus didatangkan untuk keperluan ini, sesuai dengan mata pelajaran yang diberikan. Proyek ini sedikit tertutup, sehingga sulit untuk berhubungan langsung dengan para penghuninya. Tapi bukan berarti para peserta pendidikan tak punya keluhan. "Saya diberi makan di sini, tapi bagaimana anak istri saya?" keluh seorang gali kepada tim Ahli Ilmu Jiwa. Gerutu yang lain "Apakah anak saya nanti tidak jadi gali lagi? Apakah istri saya malah tidak jadi pelacur?' Semua keluhan ini ditampung oleh sebuah tim khusus untuk dicarikan jalan keluar. Peserta Puslatram terdiri dari 60 orang buta huruf, 192 orang pernah mengecam pendidikan SD, 38 orang SLP dan 11 orang tamat SMA. Ada 26 orang yang berusia di bawah 20 tahun, 195 orang antara 21 sampai 40 tahun dan 52 orang berusia 41 sampai 60 tahun. Jadi sesungguhnya mereka lebih tepat disebut goli, gabungan orang-orang liar. Jumlah penghuni Puslatram yang 301 orang tadi, kini telah susut menjadi 230 orang. Yang lainnya? Minggat! Menurut Humas Pemda Jawa Tengah, Drs. Pusoko Semedi, telah dua kali terjadi percobaan melarikan diri. Sebagian besar berhasil. Yang pertama, 19 Februari, jam 05.00 pagi, enam orang lari dengan cara menjebol trali besi kamar mandi. Kemudian, 25 Februari yang lalu, 57 orang minggat ketika yang lain sedang asyik latihan karawitan. Dalam pelarian besar-besaran ini, 27 orang berhasil ditangkap kembali. Tetapi seorang pegawai LP yang tinggal di sekitar situ punya catatan lain. Katanya, telah empat kali terjadi pelarian penghuni Puslatram. Yang pertama, enam orang minggat, tertangkap kembali empat orang. Kemudian dua orang, tapi tertangkap semua. Yang ketiga, 51 orang, berhasil dibekuk 36 orang dan yang terakhir, di penghujung Februari, 21 orang minggat, kembali tertangkap 18 orang. Biasanya, mereka yang mencoba minggat dari tertangkap lagi, tidak dikembalikan di tempat yang sama, tapi ditampung di suatu tempat, entah di mana. "Dan yang ada di Puslatram sekarang ini adalah yang sungguh-sungguh mau belajar," kata Sarwono. Mereka juga telah menentukan pilihan bidang ketrampilan yang mereka senangi. Ada 77 orang yang memilih bidang sopir. Sebanyak 34 orang memilih jurusan tukang jahit. Lainnya ingin menjadi tukang kayu, tukang cukur, ahli perlistrikan, ahli reparasi radio, montir mobil, montir sepeda motor. Bidang pertanian mendapat paling banyak peminat: 115 orang. Setiap peserta diberi pakaian, asrama gratis dengan biaya makan seharinya bernilai Rp 600/orang. "Tapi mengajar disiplin memang sulit," kata Sarwono, "karena mereka biasa bebas."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus