SEKITAR 2 km di tenggara Kota Ambarawa, ada sebuah gedung tua.
Temboknya tebal, pintunya tinggi dengan jendela yang
besar-besar. Cat asli gedung tersebut putih. Tapi karena usia,
di sana-sini mengelupas, sehingga susunan batu bata jelas
terlihat.
Di salah satu ruang bagian dalam, pada temboknya, ada coretan
tahun 1830. Pada tembok yang lain, tahun 1845. Pada tahun 1830
diduga adalah saat pemancangan tembok pertama dan tahun 1845
mulai berfungsi.
Penduduk Ambrawa menyebut gedung kuno itu sebagai "mBeteng
Pendem", karena pernah terpendam oleh timbunan tanah. Penduduk
percaya, bahwa gedung itu cukup angker. Ada pula yang
menyebutnya sebagai benteng Ambarawa, karena memang terletak tak
jauh dari Kota Ambarawa. Tetapi pemerintah kolonial dulu,
menamakan benteng serdadu ini Fort Willem I, nama pangeran dari
keluarga Oranje Nassau yang jadi raja Belanda.
Kemudian benteng ini sebagian dijadikan Lembaga Pemasyarakatan.
Sayapnya yang lain, pernah dijadikan Inrehab, tahanan untuk
orang-orang G.30.S/PKI. Kini setelah penghuni Inrehab tak ada
lagi, sebuah papan nama yang cukup besar terpampang di depannya:
Puslatram Ambarawa. Artinya, pusat latihan ketrampilan. Dan
sejak 17 Februari lalu, Puslatram resmi berpenghuni.
Dalam suatu upacara khusus, saat itu Kasdam VII/Diponegoro
(selaku Laksusda Ja-Teng/DIY Brigjen. Sawarno, menyerahkan 301
orang calon penghuni Puslatram kepada Soeparno, Sekwilda
Ja-Teng, yang mewakili Pemda Provinsi Jawa Tengah. Mereka ini
(301 orang), yang biasanya disebut "gali", singkatan dari
gabungan anak-anak liar, dalam tempo tiga sampai enam bulan
mendapat latihan ketrampilan.
Bukan Tahanan
Ke-301 orang itu cuma sebagian kecil dari sekitar 4.000 orang
yang terlibat kerusuhan anti-Cina di Jawa Tengah akhir 1980.
"Mereka ini adalah orang yang sedang menyandang masalah sosial,"
ujar Dirjen Kehabilitasi dan Pelayanan Sosial Departemen Sosial
yang mewakili Menteri Sosial dalam upacara sederhana tersebut.
Artinya mereka itu perlu bekal untuk kelanjutan hidup mereka.
Para gali yang dipuslatramkan itu dipanggil "peserta" atau
"pelajar" dan bukan "tahanan". "Betul, mereka ini bukan
tahanan," tutur Kapten Sarwono M.S. pengawas Puslatram. Mereka
adalah orang yang dianggap bersalah, tapi tidak jelas
kesalahannya. Tapi bukan pula orang hukuman, karena sebelumnya
tanpa vonnis dari pengadilan. Mereka ditempatkan dalam
kamar-kamar besar. Masing-masing mendapat sebuah bantal dan
dipan beralas tikar tebal. Poliklinik, bahkan rumah sakit
disediakan bagi yang sakit.
Selama latihan, ketrampilan apa saja yang ingin mereka pelajari
dapat diberikan. "Bahkan Pemerintah akan mencoba membantu
menyalurkan lewat instansi tenaga kerja, kalau setelah selesai
pendidikan sulit mendapat pekerjaan," tambah Sarwono. Ide untuk
mendidik para gali ini datang dari Gubernur Jawa Tengah,
Soeparjo.
Sejak mereka di Ambarawa, selama dua minggu pertama diberi
latihan disiplin. Terutama disiplin berasrama, yang diberikan
setiap hari mulai dari 07.00 sampai 21.00 -- hanya terputus
untuk makan dan mandi. Di hari Minggu, mereka diperkenankan
menerima kunjungan keluarga masing-masing.
Awal Maret, mereka memasuki pelajaran dasar, meliputi pelajaran
Agama, PMP (Pendidikan Moral Pancasila), Tata tertib/Disiplin,
Ketransmigrasian, Koperasi dan masalah-masalah sosial lainnya.
Setelah itu, baru mereka masuk ke tahap pelajaran pokok. Yaitu
teori praktek tentang montir mobil, bertukang, pertanian,
elektronika, sopir, menjahit pakaian dan memangkas rambut.
Kemudian pelajaran pelengkap: Olahraga, Kesenian,
Kewiraswastaan.
Seluruh kurikulum akan memakan waktu 1.416 jam pelajaran. Tidak
kurang dari 100 orang guru khusus didatangkan untuk keperluan
ini, sesuai dengan mata pelajaran yang diberikan.
Proyek ini sedikit tertutup, sehingga sulit untuk berhubungan
langsung dengan para penghuninya. Tapi bukan berarti para
peserta pendidikan tak punya keluhan. "Saya diberi makan di
sini, tapi bagaimana anak istri saya?" keluh seorang gali kepada
tim Ahli Ilmu Jiwa. Gerutu yang lain "Apakah anak saya nanti
tidak jadi gali lagi? Apakah istri saya malah tidak jadi
pelacur?' Semua keluhan ini ditampung oleh sebuah tim khusus
untuk dicarikan jalan keluar.
Peserta Puslatram terdiri dari 60 orang buta huruf, 192 orang
pernah mengecam pendidikan SD, 38 orang SLP dan 11 orang tamat
SMA. Ada 26 orang yang berusia di bawah 20 tahun, 195 orang
antara 21 sampai 40 tahun dan 52 orang berusia 41 sampai 60
tahun. Jadi sesungguhnya mereka lebih tepat disebut goli,
gabungan orang-orang liar.
Jumlah penghuni Puslatram yang 301 orang tadi, kini telah susut
menjadi 230 orang. Yang lainnya? Minggat! Menurut Humas Pemda
Jawa Tengah, Drs. Pusoko Semedi, telah dua kali terjadi
percobaan melarikan diri. Sebagian besar berhasil. Yang pertama,
19 Februari, jam 05.00 pagi, enam orang lari dengan cara
menjebol trali besi kamar mandi. Kemudian, 25 Februari yang
lalu, 57 orang minggat ketika yang lain sedang asyik latihan
karawitan. Dalam pelarian besar-besaran ini, 27 orang berhasil
ditangkap kembali.
Tetapi seorang pegawai LP yang tinggal di sekitar situ punya
catatan lain. Katanya, telah empat kali terjadi pelarian
penghuni Puslatram. Yang pertama, enam orang minggat, tertangkap
kembali empat orang. Kemudian dua orang, tapi tertangkap semua.
Yang ketiga, 51 orang, berhasil dibekuk 36 orang dan yang
terakhir, di penghujung Februari, 21 orang minggat, kembali
tertangkap 18 orang. Biasanya, mereka yang mencoba minggat dari
tertangkap lagi, tidak dikembalikan di tempat yang sama, tapi
ditampung di suatu tempat, entah di mana.
"Dan yang ada di Puslatram sekarang ini adalah yang
sungguh-sungguh mau belajar," kata Sarwono. Mereka juga telah
menentukan pilihan bidang ketrampilan yang mereka senangi. Ada
77 orang yang memilih bidang sopir. Sebanyak 34 orang memilih
jurusan tukang jahit. Lainnya ingin menjadi tukang kayu, tukang
cukur, ahli perlistrikan, ahli reparasi radio, montir mobil,
montir sepeda motor. Bidang pertanian mendapat paling banyak
peminat: 115 orang.
Setiap peserta diberi pakaian, asrama gratis dengan biaya makan
seharinya bernilai Rp 600/orang. "Tapi mengajar disiplin
memang sulit," kata Sarwono, "karena mereka biasa bebas."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini